Indonesia Bukan Yunani
Arif Havas Oegroseno ; Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, Uni
Eropa,
Sept 2010-Januari 2015
|
KOMPAS,
16 Juli 2015
Dalam "Menjadi seperti Yunani" (Kompas, 11/7),
Anggoro Budi Nugroho berpandangan bahwa Indonesia dapat menjadi Yunani dengan
sejumlah skenario, dengan asumsi dasar bahwa krisis Yunani bermula dari
krisis subprime mortgage 2008. Asumsi ini tidak lengkap sehingga arah
kesimpulannya tidak tepat.
Krisis Yunani disebabkan dua hal fundamental jauh sebelum 2008,
yaitu fiscal profligacy dan
keanggotaan Yunani di zona euro (Eurozone).
Sebagai bagian dari tradisi politik yang mengakar, pemerintah dan
politisi yang berkuasa terus memberikan gula- gula politik kepada semua
pekerja, baik buruh, swasta atau pun pegawai negeri sipil, berbagai
kenikmatan dan fasilitas yang akhirnya menimbulkan pemborosan luar biasa
keuangan negara atau fiscal profligacy.
Semua pekerja Yunani menerima gaji ke-13 dan 14. Mereka juga menerima
gaji penuh pada saat liburan akhir tahun, separuh gaji pada saat liburan
Paskah dan separuh gaji pada saat liburan musim panas. Gaji mereka naik
setiap tahun secara otomatis.
Para pengemudi di sektor publik, selain menerima gaji
bulanan juga menerima bonus tambahan pada saat mereka menghidupkan mesin
mobil yang dikendarainya. Seseorang
dapat mengajukan pensiun pada usia 45 tahun dengan menerima berbagai jaminan
kesehatan dan juga tunjangan penuh.
Pekerja salon yang setiap hari menangani bahan kimia berbahaya,
seperti hair spray dan zat pewarna rambut dapat mengajukan pensiun pada usia
50. Pegawai sektor pariwisata setiap tahunnya menerima tunjangan pengangguran
selama tiga bulan pada saat sepi turis pada waktu musim dingin.
Jumlah pegawai sektor publik mencapai 1 juta orang dari 11
juta penduduk. Menteri Keuangan George Papaconstantinou bahkan tak mengetahui
berapa sebenarnya jumlah pekerja sektor publik di Yunani, dan secara
konstitusional, 1 juta pekerja ini sama sekali tidak bisa diberhentikan.
Sementara itu, penghindaran pajak telah dikatakan menjadi
suatu national sport dan black market
economy mencapai 30 persen. Produktivitas sangat rendah, ekonomi tak
kompetitif, dan pemborosan merajalela. Yunani berutang untuk membiayai super
social welfare ini. Pada tahun 2000, rasio utang dan produk domestik bruto
(PDB) mencapai 103 persen, sementara rata-rata Uni Eropa (UE) 60 persen, dan
defisit fiskal 3,7 persen, sementara aturan UE 3 persen.
Dengan karakter seperti ini, Yunani bergabung ke dalam
zona euro pada 2001. Dan, pada 2005 terungkap adanya indikasi bahwa data
ekonomi Yunani yang diserahkan kepada UE di Brussels adalah data yang
menutupi defisit dan kondisi sebenarnya keuangan Yunani. Perlu digarisbawahi
bahwa zona euro bukan suatu proyek ekonomi, seperti yang dipahami banyak
ekonom di berbagai kawasan dunia.
Perjudian zona euro
Sebagai suatu kebijakan ekonomi, zona euro adalah suatu
perjudian luar biasa karena perekonomian setiap anggota yang berbeda secara
drastis, misalnya Jerman vs Yunani. Mobilitas penduduk sangat terbatas karena
bahasa dan budaya, misalnya pekerja Yunani tak bisa dengan mudah pindah ke
Amsterdam. Mereka memiliki sistem tunjangan sosial yang berbeda dan standar
hidup yang juga sangat berbeda. Zona euro adalah proyek politik untuk
mendorong integrasi yang lebih dalam di UE, terutama dengan menarik
negara-negara di pinggiran UE, seperti Yunani, Irlandia, Portugal, Malta,
Slovenia, dan Slowakia ke pusaran integrasi dan kekuasaan UE, yakni di
Brussels.
Bergabungnya Yunani ke zona euro tahun 2001 memberikannya
peluang untuk berutang lebih banyak lagi dengan bunga yang sangat rendah.
Biaya utang Yunani yang awalnya berkisar sekitar 25 persen tumbang menjadi
sekitar 7 persen, seperti Jerman. Walhasil, ekonomi Yunani berkembang sangat
pesat dengan pertumbuhan PDB hampir 4 persen pada 2001-2008, kedua tertinggi
setelah Irlandia di zona euro. Pendapatan per kapita dari cara berutang
melonjak 70 persen dari 1999-2009. Yunani seolah ingin membalas keruntuhan
ekonomi akibat pendudukan Nazi dan Italia pada Perang Dunia II dan perkembangan
ekonomi buruk sejak demokrasi 1970-an hingga 1990-an yang diwarnai inflasi 18
persen per tahun.
Kenikmatan ini sebenarnya semu karena Yunani telah
kehilangan kedaulatan fiskal dan tidak dapat lagi melakukan kebijakan ekonomi
negara berdaulat, seperti mencetak uang, menurunkan suku bunga domestik,
meningkatkan investasi dalam negeri, atau menikmati keuntungan inflasi yang
agak tinggi karena Jerman mampu memaksakan inflasi yang rendah.
Kenaikan harga diimbangi kenaikan gaji melalui pinjaman
dan saat itu tak ada yang peduli karena pertumbuhan sangat tinggi.
Sebagaimana kita ketahui, subprime mortgage 2008 akhirnya mendarat ke Eropa
dan Yunani sebagai salah satu negara termiskin langsung terbanting ke jurang
depresi. Terlebih lagi, pada 2009, terkuak bahwa sebenarnya defisit Yunani
tidak 3 persen, tetapi 12,7 persen.
Investor ketakutan, bunga pinjaman mengangkasa, dan peringkat Yunani
jeblok. Dana bail out UE dan IMF pada 2010 adalah 110 miliar euro dan 130
miliar euro dengan syarat pengetatan ikat pinggang secara sangat drastis guna
mengurangi defisit, mengelola utang, melakukan reformasi perpajakan.
Kebijakan ini perlu pemotongan anggaran, pembekuan gaji sektor publik,
menaikkan pajak, memotong pensiun, privatisasi, dan reformasi pasar kerja.
Dampak sosialnya sangat berat. Angka Eurostat menunjukkan
pengangguran 73,5 persen pada 2014. Sekitar 6,3 juta orang dari 11 juta
populasi miskin.
Berbeda
Indonesia bukan Yunani. Indonesia tak pernah memiliki
mentalitas fiscal profligacy. PNS
Indonesia hanya 4,5 juta dari penduduk 240 juta. Rasionya sangat rendah
dibandingkan PNS Yunani. Indonesia masih memiliki kedaulatan dalam kebijakan
fiskal, tak seperti Yunani yang harus tunduk kepada Brussels dan Bank Sentral
Eropa (ECB).
Rasio utang terhadap PDB Indonesia 24 persen, suatu angka
yang sehat dibandingkan Yunani yaitu 180,2 persen, atau rata-rata zona euro,
yaitu 92,1 persen. Bahkan dibandingkan Malaysia yang 52 persen. Permasalahan
debat utang di Indonesia adalah tak adanya kemauan membahas utang dari rasio
PDB. Yang dikehendaki hanya diskusi angka utang agar terlihat dramatis dan
sensasional. Rata-rata pertumbuhan Indonesia 4,7 persen sementara UE 0,4
persen.
Peringkat utang Indonesia double BB+ atau triple BBB- dan
stabil, sementara Yunani mengalami penurunan pada peringkat CC dan dalam
kondisi negatif. Investor tetap hadir di Indonesia dan bahkan meningkat.
Kuartal I 2015 jumlah investasi Rp 124,6 triliun dibandingkan Rp 106,6
triliun kuartal I 2014.
Menyimpulkan bahwa Indonesia cukup aman dan merasa lega
karena Yunani dan UE bukan mitra dagang utama Indonesia berpotensi
misleading. Indonesia seharusnya mampu
menjadi mitra dagang UE nomor satu di ASEAN, dan bukannya nomor lima
mengingat negara pesaing ASEAN lainnya, yakni Singapura, Malaysia, Thailand,
dan Vietnam mengekspor produk sama dengan Indonesia atau bahkan justru
menjual barang curian dari Indonesia, misalnya seafood hasil illegal fishing.
Indonesia bahkan tak mampu mengirimkan komoditas yang 80
persen dikuasainya di seluruh dunia ke UE, yaitu pala. Ekspor pala ke UE terhambat kualitas rendah
dan bahkan mengandung aflatoksin yang berbahaya dan pernah pula mengandung
minyak tanah.
Selain itu, salah satu penyebab menurunnya ekspor
Indonesia ke UE adalah hukuman anti dumping terhadap biodiesel sawit karena
UE menerapkan kebijakan proteksionis guna melindungi petani minyak nabati
bunga matahari dan rapeseed melalui mekanisme EU RED. Lobi European Biodiesel
Board untuk menghantam sawit Indonesia sangat kuat sehingga kampanye anti
sawit di UE merupakan gerakan gabungan antara kelompok kiri dan hijau dengan
industrialis-kapitalis neolib dan petani yang disubsidi masif.
Ekspor Indonesia ke UE yang meningkat adalah produk kayu
bersertifikat SVLK, suatu produk yang memiliki tanggung jawab lingkungan
tinggi, tetapi kini justru di bawah serangan sekelompok kecil pengusaha yang
mengatasnamakan IKM dan bertujuan menghapuskan SVLK, flagship Indonesia di
bidang pembangunan berkelanjutan. SVLK telah menjadi musuh segelintir orang
dan juga kepentingan asing yang terancam tidak dapat memiliki sistem
sertifikasi nasional yang kredibel. Ini menyedihkan.
Kondisi faktual
Republik Indonesia sangat berbeda dan jauh lebih baik dari Republik Hellenic
Yunani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar