Manuver
Malaysia di Natuna
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
SUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012
Baru-baru ini Malaysia yang
sudah menandatangani nota kesepahaman kemitraan di lapangan gas Blok East Natuna tiba-tiba mengundurkan diri
dengan alasan Blok East Natuna tidak
lagi menjadi prioritas Petronas.
Sekadar kilas balik, 17 Desember 2010, saat
Petronas diumumkan menjadi mitra Pertamina dan menandatangani kesepakatan awal
kemitraan di Blok East Natuna,
beragam reaksi dan spekulasi muncul, mengapa harus Petronas? Semua paham,
Petronas belum memiliki pengalaman dan teknologi pemisahan CO2 dalam skala
besar. Dibandingkan dengan pemain dunia lain, Petronas juga diragukan
keandalannya dalam mengelola lapangan migas di perairan laut dalam. Wajar,
banyak kalangan mempertanyakan keputusan pemerintah (dan Pertamina) memilih
Petronas sebagai mitra di Natuna.
Muncul spekulasi, pemilihan Petronas
dikaitkan upaya ”meredam” sengketa di perbatasan, khususnya wilayah Ambalat
yang hingga kini tidak kunjung tuntas, di mana Malaysia kian menunjukkan sikap
”percaya diri” dan cenderung kurang kooperatif, terutama setelah kemenangannya
di Sipadan dan Ligitan.
Sebelum menyatakan mundur, masuknya Petronas
ke Blok East Natuna diyakini strategi
Malaysia mencuri start di kawasan Laut China Selatan dengan menguasai sebagian
”saham” dan volume gas Blok East Natuna
yang jaraknya relatif dekat ke Semenanjung dan dekat ke wilayah sengketa di
Laut China Selatan. Kebijakan ini secara geopolitik dipandang strategis, selain
untuk memperkuat ketahanan energi Malaysia, juga untuk memperkuat ketahanan
regional menghadapi adidaya China dan Amerika Serikat, di mana keduanya
bersaing memperkuat basis militer di Asia Pasifik. Strategi ini juga penting
untuk menghadapi negara-negara pesaing Malaysia yang turut memperebutkan sumber
daya migas di perairan Laut China Selatan, khususnya Kepulauan Spratly dan Paracel.
Bisnis Gas Dunia
Dalam 10 tahun terakhir, harga gas di Asia
Pasifik meningkat tajam, sebesar 10-17 dollar AS per 1.000 kaki kubik, baik
pada kontrak-kontrak baru maupun di pasar spot sehingga lapangan gas ”biaya
tinggi” yang semula dianggap tak ekonomis jadi layak untuk dikembangkan.
Termasuk di sini, Blok East Natuna
yang diketahui mengandung CO2 hingga 70 persen dan terletak di laut dalam. Naiknya
harga dipicu tingginya permintaan gas yang tak diimbangi pasokan, salah satunya
karena lambatnya pembangunan infrastruktur.
Blok East
Natuna adalah lapangan gas dengan cadangan 46 triliun kaki kubik terletak
di alur Indo-ASEAN, salah satu alur sumber daya migas terpenting di Asia
Pasifik. Alur ini berpotensi menjadi lumbung energi pada masa depan. Ini
meliputi sebaran cadangan sumber daya, mulai dari belahan Australia, Timor
Leste, Indonesia, hingga Vietnam dan bermuara di perairan Laut China Selatan.
Wilayah ini tak pernah surut dari sengketa kendati Declaration of Conduct sudah ditandatangani semua negara yang
bersengketa pada pertemuan puncak Menteri Luar Negeri ASEAN ke-44 di Bali tahun
lalu.
Menyusuri alur migas Indo-ASEAN bisa dimulai
dari Benua Australia. Tidak banyak yang mengira bahwa kelak Australia akan
menguasai pasokan gas dunia dengan total cadangan terbukti 210 triliun kaki
kubik yang akan terus bertambah. Tahun 2020 Australia diperkirakan akan
menguasai 50 persen pasar gas (LNG) dunia, bahkan 2025 diprediksi 65 persen gas
dunia akan mengalir dari benua tersebut.
Alur Indo-ASEAN di Indonesia, selain meliputi
Blok East Natuna, juga ada beberapa
lapangan gas yang baru akan dikembangkan, seperti Blok Masela dan
Donggi-Senoro, walaupun cadangannya relatif tak sebesar Blok East Natuna. Banyak pula lapangan gas
existing yang masih akan berproduksi hingga setelah 2020, seperti Mahakam,
Tangguh, dan Cepu.
Penemuan ”shale gas”
Penurunan harga gas dunia tampaknya akan
dipercepat oleh penemuan shale gas di AS dan Kanada yang monumental sehingga
harga gas di pasar AS baru-baru ini turun drastis dari 8 dollar AS menjadi
hanya 3 dollar AS per 1.000 kaki kubik (Bloomberg).
Penurunan harga juga dipicu melemahnya ekonomi AS.
Penemuan shale gas di AS jadi monumental
karena cadangan gas sebanyak 500-600 triliun kaki kubik dan akan mengubah
status AS dari negara pengimpor gas menjadi negara pengekspor gas meski untuk
sementara ekspor masih sangat dibatasi. AS kini tak lagi perlu LNG Indonesia
sehingga volume kontrak LNG dari Tangguh, Papua, bisa dialihkan untuk keperluan
domestik dengan membayar kompensasi tertentu.
Melihat peluang harga gas di Asia Pasifik
yang jauh lebih tinggi, AS dan Kanada berniat membangun kilang LNG di Alaska
dan Loussiana. Dengan memperlebar Terusan Panama, AS dan Kanada berniat membawa
gas dari Teluk Meksiko ke Asia Pasifik dan bersaing dengan gas Indo-ASEAN,
terutama dari Australia.
Membanjirnya gas dari Australia dan AS
setelah 2020 diprediksi akan menekan harga gas di Asia Pasifik. Ini ditambah
lagi dengan masuknya gas dari negara lain, seperti Qatar, Rusia, dan Israel,
dengan lapangan gas raksasa Leviathan (cadangan 122 triliun kaki kubik) serta
beberapa sumber dari alur Indo-ASEAN, seperti Masela yang akan berproduksi
selepas tahun 2020.
Blok East
Natuna adalah lapangan gas raksasa dengan biaya produksi jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan lapangan-lapangan gas pesaing karena letaknya di laut dalam
dan kandungan CO2 luar biasa tinggi. Ditambah lagi, posisinya di wilayah rawan sengketa
yang juga berisiko tinggi. Apabila skenario ini terjadi, diprediksi harga gas
di Asia Pasifik akan turun. Pada saat harga mencapai 5 dollar AS per 1.000 kaki
kubik, Blok East Natuna menjadi tak
ekonomis untuk diproduksikan. Skenario ini menjadi pangkal kegalauan sebagian
pengembang bisnis gas, termasuk Malaysia, sehingga memutuskan membatalkan
kemitraan dengan Indonesia di Natuna.
Dengan mundurnya Malaysia dari Blok East Natuna, Indonesia harus lebih
waspada menghadapi kemungkinan manuver geopolitik Malaysia. Dengan melemahnya
harga gas, Malaysia cenderung mencari minyak karena ke depan minyak akan kian
langka dan harganya akan membubung hingga mencapai kesetimbangan baru. Diduga
dalam waktu dekat Malaysia kembali akan mendaulat Ambalat mengingat sumber daya
yang dimiliki Ambalat lebih dominan minyak sehingga secara ekonomis lebih
”prioritas”.
Malaysia akan memanfaatkan kedekatannya
dengan China untuk menghadapi kehadiran AS di kawasan ASEAN yang semakin kuat
serta bersaing dengan negara-negara pesaing Malaysia yang dekat dengan AS dalam
kancah perebutan Spratly dan Paracel (kandungan minyak 230 miliar
barrel). Indonesia dan Pertamina harus siap menghadapi kemungkinan kedua mitra
lainnya mengikuti langkah Petronas atau justru memanfaatkan kepergian Petronas
untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam negosiasi kontrak dengan
Pemerintah Indonesia guna meminta berbagai bentuk insentif.
Untuk mengunci ruang gerak yang melebar
sebaiknya kontrak bagi hasil segera ditandatangani, jangan ditunda lagi. East Natuna adalah aset Indonesia yang
bernilai tinggi dan sangat strategis bagi kedaulatan energi, jangan dibiarkan
”tidur” terlalu lama. ●