Menembus
”Kalabendu”
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI 2000-2010
|
KOMPAS,
25 Mei
2018
Dalam artikel ini, ”kalabendu”
kita pakai sebagai metafor bagi kumulasi terkini dari kompleks lima
negativitas. Kelima negativitas, yaitu kala kebenaran dilihat sebagai sudah
milik masa lampau (post-truth); kala ”politik” tak lagi jadi ajang upaya
kemaslahatan dalam keberagaman (eksklusivisme identitas); kala
patokan-patokan akal-budi di ranah publik dicampakkan (pencemoohan political
correctness); kala peradaban sedunia dibaca sebagai sudah terkungkung VUCA
(volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) dan kala telah berlaku
apa yang disebut Barry R Posen (2018) ”the
rise of illiberal hegemony” (mengacu pada perilaku politik liar korosif
dari Donald Trump).
Empat yang terakhir jelas
menjamurkan terorisme dan kelima-limanya mengorak irasionalitas politik.
Historis, negara-bangsa kita memang lebih banyak hidup dalam irasionalitas
politik. Delapan tahun Demokrasi Terpimpin menjunjung bangsa atau nasion,
tetapi melecehkan demokrasi. Tiga puluh dua tahun Orde Baru melecehkan nasion
dan demokrasi sekaligus. Dua puluh tahun era Reformasi, yang dimulai tanpa ”a
clean regime change”, banyak melecehkan nasion dan memanipulasi demokrasi.
Selama 20 tahun terakhir kita kerap menjalankan ampas demokrasi, bukan jati
demokrasi. Selama 32 tahun, Orde Baru melancarkan pembodohan politik masif
sehingga total 60 dari 73 tahun usia republik kita, kita lebih banyak
tersungkup dalam irasionalitas politik. Demokrasi yang kita jalankan selama
dua dekade reformasi ini pun ramai acara, tetapi miskin ”hikmat
kebijaksanaan”.
Dua
”kalabendu”
Negara-bangsa kita setidaknya
sudah mengalami dua kali momen kalabendu: pada periode 1965-1971 dan
1997-2001. Tiga dari lima negativitas di atas berlaku di dalamnya. Pada kedua
periode itu negara-bangsa kita benar-benar berada di ujung tanduk. Selain
itu, sesudahnya, bangsa kita pernah ”bermain-main” dengan risiko kalabendu, yaitu
pada Pilpres 2014 dan pada Pilkada DKI 2017. Di sini praktis kelima
negativitas itu berlaku.
Momen kalabendu memiriskan akal
budi kita secara berganda. Pertama, ia menghunjamkan kita ke waktu siklis,
bukan ke waktu progresif. Ia menjejalkan alam kehidupan di mana keadaban
dilumat oleh kekuatan-kekuatan antitesisnya. Tak lagi berfungsi agregasi
koheren dari produk akal budi manusia di ranah individual maupun publik. Di
dalam kalabendu, kebenaran jadi serba terjungkir, terbalik dari pesan parabel
”gua Plato”. Seperti dikatakan Martin Heidegger, ”Terang alam nyata
menggelapkan segala sesuatu.” Di atas semuanya, tak lagi diindahkan ”the defining moments of our nation”—momen-momen
mutiara kita sebagai bangsa di dalam rentang kehidupan politik yang tercerahkan,
yang disarikan secara cemerlang oleh para Bapak Bangsa kita.
Jika kita tak siaga menghadapinya,
runtun Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 bisa kembali membuat bangsa kita
berhadapan dengan momok kalabendu. Itu bisa terjadi lantaran keduanya
berkresendo dua tahun berturut-turut dan bermuara pada perlombaan politik tak
hanya dengan taruhan tertinggi, tetapi juga potensial dengan laku-laku
politik terburuk. Rasionalitas politik perenial bisa kembali dicampakkan.
Kini pun masih terasa kegetiran dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017, yang
sarat aneka manipulasi, politik uang, penghalalan cara, kampanye hitam,
bahkan fitnah keji. Di sini merajalela sikap dan perilaku pokoke: ”Biar
segalanya hancur jika bukan kami yang menang.” Termasuk orkestrasi
”pelintiran kebencian”, yang ceroboh disebut Sherian George (Hate Spin,
2016), sebagai hasil kerja para ”political entrepreneurs”—ungkapan penanda
kegagalan paham akan esensi ”politics” dan ”entrepreneurs”.
Nasion dan demokrasi terikat dalam
simbiosis alamiah. Nasion sebagai bangunan egaliter-otosentris, himpunan
solidaritas terbesar, memberi wadah ideal bagi demokrasi. Dan demokrasi
sebagai sistem politik otosentris adalah landasan rasional dari keadaban
publik yang memperkuat serat-serat nasion. Otosentrisitas nasion maupun
demokrasi berlaku manakala tiap warga negara-bangsa menghormati warga lainnya
dalam prinsip ”to live and let live” (hidup dan menghidupi) tanpa
diskriminasi apa pun. Esensi otosentrisitas juga bersinar pada prinsip
leluhur Bugis: sipakkatau (saling memanusiakan), sipakatuo (saling
menghidupi), sipakatokkong (saling membangkitkan).
Melecehkan nasion berarti
mengerdilkan demokrasi, dan melecehkan demokrasi berarti menggerogoti nasion.
Tanpa nasion, demokrasi tersesat; tanpa demokrasi, nasion mengerdil. Di zaman
kita, bangsa mana pun akan porak poranda atau terus centang perenang jika tak
mengindahkan salah satu apalagi keduanya. Internalisasi dan praksis simbiosis
nasion-demokrasi adalah inti rasionalitas politik perenial. Wacana pesimisme
ataupun optimisme perihal perkiraan ujung usia negara-bangsa sama tak relevan
dan lebih merupakan perbincangan sia-sia, an
idle talk. Negara-bangsa kita bisa bubar bahkan sebelum 2030, tetapi juga
bisa berjaya melintasi 2045 dan seterusnya. Perbincangan yang paling dibutuhkan
saat ini tak lain dari pengembalian rasionalitas politik seutuhnya, mulai
dari patokan puncaknya. Rasionalitas politik mestilah dilaksanakan teguh
dalam praksis berdemokrasi.
Kita perlu menyimak rasionalitas
politik tertinggi itu. Di zaman kita, ketahanan hidup ”negara-bangsa”
demokrasi ditentukan krusial oleh kesanggupannya menegari bangunan
”demokrasi-bangsa”. Begitu suatu ”negara-bangsa” terbentuk dengan sistem
demokrasi, jadilah penentu keberlangsungan hidupnya hingga jauh ke masa depan
tak lain dari ”demokrasi-bangsa”. Maka, begitu suatu negara-bangsa memilih
sistem demokrasi, saat itu pula ia dituntut terus mengaktivasi jati diri
kebangsaannya pada tiap momen dan mekanisme kontestasi substansial-prosedural
dalam berdemokrasi.
Simbiosis nasion-demokrasi juga
terpulang pada perbedaan hierarki di antara keduanya. Nasion atau bangsa
adalah variabel penentu (independent variable) dan ”demokrasi” variabel
tergantung (dependent variable), sama seperti ”bangsa” bagi ”negara”. Tak
satu pun momen demokrasi di mana posisi kedua variabel ini bisa dilanggar
tanpa risiko tersesatnya demokrasi atau bubarnya ”negara-bangsa”. Artinya,
”demokrasi-bangsa” (demokrasi yang tiap saat harus menjunjung bangsa sebagai
variabel penentu) adalah kunci bagi keberlanjutan ”negara-bangsa”. Ini yang
saya sebut ”rasionalitas politik perenial”. Negara-bangsa kita hanya bisa
dipertahankan lewat rangkaian praksis demokrasi otosentris yang senantiasa
bertumpu dan dalam arti kata sesungguhnya terus menyantuni bangsa secara
keseluruhan.
Menembus
gugus ”kalabendu”
Penyebab utama dari kalabendu
1965-1971 serta konklusi celakanya pada periode 1997-2001 tak lain karena
pada kedua-duanya bangsa dicampakkan. Pada 1965-1971, para eksponen Orde Baru
mem-privilese-kan diri sebagai penyelenggara pemerintahan utama di atas
segala partai dan golongan di dalam republik kita. Semua kekuatan
sosial-politik di luarnya selalu mereka lihat dengan penuh kecurigaan, bahkan
sebagai sarang para ”pengkhianat negara” dan lantaran itu mereka anak-tirikan
secara sistemik.
Pada 1997-2001 berlangsung
”showdown” antara barisan Orde Baru yang pahamnya sudah kedaluwarsa tetapi
masih utuh dan mati-matian mengangkangi pemerintahan (dan ditutup dengan laku
biadab adu domba bumi hangus di sejumlah daerah plus laku rampok
besar-besaran di bidang ekonomi) dengan barisan reformasi yang menangkap
tuntutan politik zaman tetapi berserak tanpa koherensi. Hingga kini pun
residu Orde Baru masih bertahan kuat di lingkungan negara, paling mencolok di
parlemen, dengan ciri yang tetap sama: miskin kepedulian pada bangsa dan
kebangsaan. Di sebagian besar daerah, secara ekonomi dan politik, praksis
otonomi banyak menginjak-injak keutamaan bangsa dan kebangsaan—induk semua
daerah.
Khusus ihwal pilkada dan pilpres,
rasionalitas politik menuntut kita melaksanakan tiap perlombaan politik
secara berpantang mengorak politik identitas dan/atau populisme, termasuk
paham kilafah yang sungguh eskapis. Tak boleh dilupakan pilkada ataupun
pilpres adalah perhelatan negara-bangsa. Dalam negara-bangsa, penjunjungan
pada bangsa tak kenal jeda dan absurd memperlakukan bangsa sebagai
sewaktu-waktu tiada.
Dalam konteks Indonesia, populisme
(sebutan lain dari mayoritarianisme) identik dengan politik identitas yang
diusung oleh banyak kalangan mayoritas dan harus dituding sebagai laku tirani
mayoritas. Dan kapan pun tiap laku tirani mayoritas, seperti juga tiap laku
tirani minoritas (yaitu manakala para pelaksana negara disetir oleh
segelintir taipan), pada sebuah bangsa berarti pengkhianatan terhadap negara-bangsa,
terhadap bangunan kebangsaan yang telah disepakati sebagai prinsip, titik
tolak, dan tempat bertumpu kegiatan apa pun yang berlangsung di dalamnya. Dan
suatu tirani mustahil diatasi dengan tirani lainnya, sebab tiap praksis
tirani merupakan laku menuju bunuh diri.
Para pengorak populisme atau
politik identitas membaca dan menggunakan alinea terpanjang dari pidato
”Lahirnya Pancasila”, yaitu kala Soekarno menyinggung isi Badan Perwakilan
Rakyat, secara keluar dari inti pesan keseluruhan pidato. Di situ terbaca:
”Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam …,
marilah kita—pemimpin-pemimpin yang menggerakkan segenap rakyat itu, agar
supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam.”
Para eksponen politik identitas
tak mengindahkan kalimat penutup sarat ”hikmat kebijaksanaan” dari alinea
itu: ”Allah subhanahu wa taala memberikan pikiran kepada kita agar dalam
pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu menjadi
nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.” Ungkapan ”dalam pergaulan kita
sehari-hari” searti dengan kata ”kapan pun” dan frasa ”kita selalu bergosok”
senapas dengan ”kita selalu saling asah” dalam perlombaan keadaban publik
demi kemaslahatan bersama.
Itu berarti ”adu program”, ”adu
akal-budi”, bukan ”adu identitas”. Alinea itu juga wajib dibaca searah dengan
kesimpulan alinea kesembilan di bawahnya: ”Marilah kita amalkan, jalankan
agama … dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.” Pesan inti dari keseluruhan pidato
cemerlang itu tak lain adalah agar bangsa kita yang beragam ini tegak bersatu
dan terus berkiprah bersama di bawah cahaya kelima sila di dalam Pancasila—jati
diri kebangsaan kita.
Kita mesti meyakini bahwa panji
”post-truth” hanyalah bagian dari omong kosong zaman—the fads and foibles of
the time. Akal budi maupun hati nurani manusia selalu gandrung pada
kebenaran. Bahwa siapa pun yang mengamalkan ”politik” sebagai arena akal
bulus politik identitas akan hancur sendiri. Bahwa kompetisi di ranah publik
hanya bisa dimenangi dengan menjunjung akal budi. Bahwa tiap eksponen dan
kekuatan bajik di Tanah Air maupun di seluruh dunia tekun bekerja agar volatilitas,
ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas tetap terkendali. Bahwa
”bangkitnya hegemoni tak waras” hanya merupakan gejala selintas, sebab
kembali ke butir pertama, secara agregat manusia di mana pun senantiasa
gandrung pada akal budi ataupun hati nuraninya.
Kini, dan sedari awal, Trump terus
kewalahan menghadapi perlawanan dari kekompakan eksponen kebajikan di Amerika
Serikat, bahkan tanpa jeda dari dalam Gedung Putih sendiri. Maka Posen benar
sekali kala menulis, ”Sekuat apa pun dia berusaha, Trump akan gagal dalam
upayanya merespons tantangan-tantangan masa kini dengan kembali ke masa
lampau.”
Begitu pula halnya praktis dengan
segenap barisan teroris. Jika mereka mengaku Muslim, laku ”amaliyah” mereka
sepenuhnya bertolak belakang dengan prinsip ”ahsanu amala”. Hanya dengan
”ahsanu amala”, akal budi, atau ”hikmat kebijaksanaan” yang teguh bertumpu
pada rasionalitas politik perenial, negara-bangsa kita bisa mengatasi dan
menembus gugus-gugus kalabendu. ●
|