Setya Harus Diberhentikan
Agus Riewanto ;
Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana
Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 23 November 2015
Hari-hari ini DPR
disorot tajam atas konspirasi Ketua DPR Setya Novanto dan dirut PT Freeport Indonesia minta saham 20%
dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar perpanjangan kontrak tambang yang
akan berakhir 2021 diperpanjang sampai
2041(Koran Jakarta, 20 Nov 2015). Ini ramai setelah Menteri Energi
Sumber Daya Mineral Sudirman Said
melaporkannya ke Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) DPR. Laporan juga disertai
alat bukti transkrip rekaman pembicaraan Ketua DPR, Dirut Freeport
Indonesia dan pengusaha migas.
Ini kian
menunjukkan, mendekati akses kekuasaan politik menjadi kunci membangun kerajaan bisnis. Begitu pula
kekuasaan politik akan dapat langgeng dalam genggaman bila berjalinan
erat pebisnis yang diuntungkan secara politik karena
terproteksi. Sedang politikus mendapat limpahan dana fee pebisnis untuk penguatan
kekuasaan politik.
Inilah yang disebut
sebagai relasi simbiosis mutualisma
dalam jejaring ekonomi-politik. Ini
juga bisa disebut relasi patron-client dalam pola akses keuntungan ekonomi-politik. Kekuasaan
politik menjadi patron dan pebisnisnya sebagai client. Keduanya tak terpisahkan karena sama-sama diunntungkan.
Menurut Vedi R Hadiz
dan Richard Robinson (2013) dalam The
Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia,
sesungguhnya sejak lama negara-negara
yang tengah mengayuh jalan menuju
demokrasi selalu menghasilkan
produk pebisnis yang dekat dengan
kekuasaan politik. Sedang
politisi berhasil
mempertahankan kekuasaan dengan pembiyaan pebisnis. Memang hampir semua
pebisnis besar selalu terlibat dalam “permainan kekuasaan.” Begitu pula
kekuasaan politik dapat “dimainkan”
para politikus.
Temali keduanya akan menghasilkan produk bisnis
hanya untuk mengekplorasi alam, tanpa meretaskan kesejahteraan rakyat karena keuntungan hanya buat
melayani kekuasaan yang memproteksi bisnis mulai dari izin,
perpanjangan kontrak, konsesi pajak, perluasaan usaha, tenaga kerja, hingga
kewajiban divestasi.
Demikianlah yang dapat
disaksikan dari sejumlah bisnis besar yang melibatkan investasi asing di
bidang minerba, salah satunya PT Freeport yang berbasis di Timika Papua, yang
hingga hari ini belum mampu membawa kemakmuran rakyat setempat.
Pelanggaran Berat
Pencatutan nama
presiden dan wakil presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport yang
diperankan Ketua DPR ini bagian penjelmaan
watak kekuasaan politik yang tak akan diam. Dia menjadikan kekuasaan politik alat
meraih dan menggeruk pundi-pundi
pebisnis kakap yang haus proteksi.
Maka perilaku ini merupakan pelanggaran etika
yang sangat berat karena telah memposisikan DPR sebagai negosiator ekonomi,
yang merupakan tugas eksekutif. DPR penjaga konstitusi dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan
anggaran. Itulah sebabnya MKD tak perlu ragu untuk tegas memberi sanksi berat kepada Setya. Dia
harus diberhentikan dari ketua dan
keanggotaan DPR. Sebab perilakunya bukan saja melanggar Kode Etik DPR, tetapi
secara politik telah menurunkan wibawa wakil rakyat. DPR dijadikan alat pemburu rente.
Dari aspek hukum
pidana perilaku Setya dikategorikan
sebagai penipuan dan pemerasan, sehingga
berpotensi tindak pidana korupsi. Dia harus dijerat dengan UU Antikorupsi dan delik
pidana umum KUHP. Mabes Polri dapat bertindak secara langsung tanpa harus
menunggu laporan karena peristiwa ini masuk delik pidana mutlak (absolute crimes), bukan delik pidana
relatif (relative crimes) yang
memerlukan aduan dari pihak yang dirugikan.
Bahkan atas dasar
penetapan tersangka Polri ini dapat dijadikan alat MKD
untuk kian mempercepat sanksi
berat pelanggaran kode etik karena
telah dijadikan tersangka oleh polisi, maka Setya dapat disanksi pelanggaran kode etik
kategori berat. Dia harus
diberhentikan dari posisi Ketua DPR. MKD dapat segera membentuk panel ahli dari unsur masyarakat dan dewan untuk merekomendasikan sanksi segera dibawa dalam paripurna.
Sanksi berat kode etik
DPR ini perlu dilakukan MKD pada Setya
bukan semata-mata disertai kebencian atau sentimen terhadap partai
tertentu, tapi menegaskan bahwa DPR perlu dijaga wibawanya. Dengan
begitu tak dijadikan alat mengeruk keuntungan. Selain itu, juga untuk menunjukkan, kejahatan konsiprasi
politik di DPR, siapa pun pelakunya
harus dihukum.
Jauh lebih terhormat
jika Golkar menariknya (merecall) menggunakan UU No 2/2011 tentang Partai
Politik sebagai bentuk akuntabilitas parpol yang mampu bertindak secara tepat
dalam suasana genting dan memaksa. Publik
akan hormat dan percaya pada
parpol tersebut.
Cara lain, paling elegan Setya berani mengundurkan diri karena telah menimbulkan kontroversi dan kegaduhan
politik nasional. Mundur dari ketua DPR bukan hanya menguntungkan diri secara politik, tetapi
juga lembaga DPR dijaga
martabata dan wibawanya.
Selama ini DPR periode
2014-2019 yang belum dua tahun telah
berada dalam titik nadir. Ketidakpercayaan publik atas perilaku dan
sikap-sikap politisinya meninggi. Apalagi kinerjanya rendah. Yang
dipentingkan hanya menaikkan tunjangan jabatan, peningkatan pembangunan fisik
gedung, permintaan pengelolaan dana aspirasi, hingga perilaku Ketua DPR dan
Wakil Ketua DPR yang pelesiran ke Amerika Serikat yang juga tercela secara
etis.
Salah satu usaha
positif untuk memulihkan wibawa DPR
MKD harus bernai sidang terbuka kasus ini lalu memberi sanksi tegas. Ini kalau MKD bisa diharapkan
menegakkan kode etik. Sebaliknya, jika MKD
tak bernyali menjatuhkan sanksi tegas, menggambarkan negeri ini
penuh permainan “orang kuat” dalam
lembaga DPR. Publik hanya bisa mencaci
maki DPR sebagai sarang para penyamun.
Di sinilah ujian
sensitivitas MKD. Mampukah mahkamah
ini mengakhiri kasus ini secara elegan
berdasarkan mandat moralitas publik.
Apalagi di dunia maya publik terus menyuarakan kegeraman atas
kasus ini untuk segera diselesaikan dengan tuntas. Bahkan dalam situs layanan
analisis media sosial Topsy saja terdapat 10.332 cuitan dengan tagar
#Papamintasaham.
Cuitan geram pada kata
Setya Novanto ada 45.373 kali dan Freeport
81.584. Fakta ini menunjukkan beta besar harapan publik pada MKD agar tidak tuna sensitif. Mahkamah haraus
berani, tegas, dan beradab. ●
|