Sisi Edukasi Puasa
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas
Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
14 Juli 2015
Takwa yang menjadi tujuan ibadah
puasa sejatinya adalah konsep perilaku moral yang dalam konteks pendidikan
umum merupakan hal rumit. Socrates (Kneller, 1971: 223) pernah mengatakan
bahwa perilaku moral dapat diajarkan jika dan hanya jika dimaksudkan
menyadarkan seseorang tentang kebaikan.
Guru paling-paling dapat
mengharapkan siswa (a) tahu tentang apakah benar dan salah, (b) tahu mengapa
begitu, dan (c) memiliki beberapa ide tentang apa yang harus dilakukan
tentang apa yang diketahui. Para guru juga dapat menguji pemahaman tentang
moralitas, tetapi guru tak dapat menjamin seorang murid yang paling baik pengetahuannya
adalah paling bermoral.
Tindakan moral merupakan gerakan
disengaja, diawali suatu proses kompleks di dalam jiwa dan hubungannya dengan
badan. Dalam filsafat jiwa (philosophy of mind), psikologi, dan etika,
kesengajaan dan kesadaran sering kali dianggap sebagai hal yang membedakan
perilaku manusia dengan makhluk lainnya, dan menyebabkan perilaku tersebut
sebagai obyek moral.
Nilai
dan moral
Mengapa manusia melakukan tindakan
yang disengaja? Ada banyak teori, yang di sini disebutkan sekadar gambaran.
Teori peristiwa mental (mental event theory) menjelaskan bahwa kesengajaan
terjadi karena ada peristiwa
mental mendahului tindakan,
seperti alasan, niat, keputusan, pilihan, dan konsep pemecahan. Misalnya,
guru bertanya di kelas, dan saya-setelah mempertimbangkan-memutuskan untuk
mengangkat tangan, kemudian melakukannya dalam kenyataan: mengangkat tangan.
Teori keagenan (the theory of
agency) menyatakan: diri bergerak disebabkan "sesuatu" yang belum
tentu peristiwa mental. Diri itu sendiri, menurut teori ini, adalah sebuah
agen yang punya kekuatan dasar dan unik untuk memengaruhi dunia, dan menghasilkan tindakan. Beberapa filsuf
mengaitkan berbagai penyebab
kesengajaan tindakan dengan respons, tujuan, dan konteks.
Sementara para psikolog kini
cenderung melihat perilaku sebatas gejala-gejala yang tampak dan teramati
saja. Jiwa yang di dalamnya terdapat kesadaran dan intensionalitas tak
dianggap penting karena tidak dapat diobyektivikasi. Maka, penganut
behaviorisme menyimpulkan bahwa perilaku manusia hanyalah respons terhadap
stimulus yang dapat dikondisikan.
Sebagaimana sifatnya, perdebatan
filsafat memang tak tuntas pada kesimpulan tunggal, apalagi tentang perilaku
yang melibatkan jiwa, badan, dan hubungan antara keduanya yang sejak Plato
dan Aristoteles pada sekitar abad ke-5
dan ke-4 SM telah diperdebatkan. Tuhan sendiri telah mengingatkan bahwa jiwa
(roh) itu urusan-Nya, dan manusia hanya diberi sedikit pengetahuan tentang
hal itu (Q.s, al-Isra: 85). Renungan
filosofi dan studi psikologi mengenalkan tiga
kandungan jiwa, yaitu kognisi, afeksi, dan kehendak, yang
berkolaborasi dengan badan membentuk kesadaran dan tindakan sengaja.
"Misteri" dan kompleksitas jiwa dan hubungannya dengan badan
kiranya menyulitkan metode pendidikan nilai dan moral.
Berpuasa utamanya memang
menyangkut badan: menahan makan, minum, dan syahwat. Namun, nilai yang menentukan dan sasaran
puasa menohok jiwa sebagai sumber baik proses kognitif maupun konatif yang
memengaruhi dan menyebabkan tindakan sadar.
Proses kognitif bersangkutan dengan cara memperoleh dan mengolah
pengetahuan, seperti mencerap,
mengingat, menalar, dan berpikir. Sementara proses konatif meliputi perasaan, kehendak, dan dorongan hati.
Berpuasa mendidik penalaran dengan
membangun kesadaran dan melatih kehendak agar patuh pada kesadaran. Oleh
sebab itu, berpuasa tidak boleh berhenti pada ritual mekanistik fisik, dan
sangat ditekankan perlunya "imanan wahtisaban", keyakinan dan kewaspadaan.
Metode puasa, dari sisi filsafat
dan teori pendidikan, merupakan proses pembelajaran dengan mengalami
(experiencial learning) atau dalam istilah John Dewey: learning by doing.
Dengan melakukan puasa orang seharusnya
mencerap pengetahuan, memperoleh kesimpulan dan makna, serta
pembiasaan yang jadi sikap hidupnya. Kok bisa?
Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M-505
H/1111 M), baik dalam buku-buku filsafat maupun dalam buku-buku tasawufnya
menyebutkan (Nasir Nasution, 1988: 65) bahwa struktur eksistensial manusia
terdiri dari jiwa (al-nafs, al-ruh) dan badan (al-jism) yang membentuk suatu
entitas dalam realitas yang disebut manusia. Menurut Al-Ghazali, dalam proses
mengetahui dan proses terjadinya perbuatan manusia, badan berfungsi
instrumental bagi jiwa, seperti hubungan kuda dengan penunggang kuda. Jiwalah
yang memegang inisiatif yang menentukan perbuatan.
Badan, lanjut Al-Ghazali, sering
kali jadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai/menangkap hakikat, terutama
hakikat diri sebagai dasar menangkap hakikat Tuhan dan kebenaran. Ada lima situasi jiwa yang terhalang
menangkap hakikat, yaitu belum sempurnanya jiwa, jiwa yang kotor karena
maksiat, terlalu menurutkan keinginan badan, jiwa tertutup karena taklid, dan
karena tidak berpikir logis.
Seringnya menurutkan keinginan
badan akan membuat jiwa terlena pada hal-hal yang konkret dan menyenangkan
sehingga daya vegetatif dan daya sensitif pada badan jadi kekuatan
"liar" yang tak terkontrol oleh jiwa yang makin lemah. Dalam
situasi itu, meskipun pengetahuan "akal" mampu memetakan mana yang
baik dan buruk di dalam jiwa, tetapi
"kehendak" (iradat)-juga unsur jiwa- yang terdominasi tuntutan
badan sering kali tak mampu memilih apa yang dikatakan "akal" baik.
Sebagai ilustrasi, banyak dokter yang
tentu tahu bahwa merokok tak baik buat kesehatan, tetapi ia tetap merokok.
Tuntutan badan harus tetap ada dan
terpelihara karena merupakan ekspresi kebutuhan dasar untuk sintas. Makan dan
minum berguna agar tubuh tetap eksis, sementara libido perlu untuk regenerasi
supaya spesies manusia tak mengalami kepunahan.
Namun, daya-daya primordial ini
perlu dikelola agar tak jadi ekstremitas sebagai sumber malapetaka. Berbagai
tragedi kemanusiaan dalam sejarah, di antaranya dimulai pembunuhan Habil oleh
Qabil, Perang Dunia I dan II, genocide, aneksasi Amerika Serikat atas Irak,
perdagangan manusia, HIV/AIDS, ataupun korupsi, jika dirunut merupakan
besaran persoalan-persoalan yang bersumber dari perut dan (maaf) sedikit di
bawah perut.
Berpuasa adalah cara Tuhan
memelihara agar jiwa tak kalah dan "terjajah" oleh daya-daya badan
dengan menguatkan jiwa dan "menjinakkan" badan melalui proses
penyesuaian diri. Dalam buku-buku tasawuf yang ditulisnya setelah menjadi sufi, Al-Ghazali-juga sufi pada umumnya-melihat
badan secara lebih negatif daripada fungsi instrumental positifnya, yaitu
sebagai hambatan yang tuntutannya perlu dijauhi. Ia menekankan perlunya
inisiatif dan kontrol jiwa terhadap badan dan tuntutan- tuntutannya. Untuk
itu, kata, Al-Ghazali, "lapar" (al-ju') dan pembersihan jiwa
merupakan hal utama yang perlu dilakukan agar manusia mencapai kesempurnaan
alias insan kamil.
Kejujuran
pilar takwa
Merasa selalu "dilihat"
Tuhan adalah kesadaran utama yang menyertai orang berpuasa. Oleh sebab itu,
ketika haus, lapar, dan syahwat menyergapnya di siang hari, keinginan itu
tidak segera dipenuhinya meskipun
dapat dilakukan dengan bersembunyi. Kesadaran bahwa Tuhan tidak bisa
dikelabui dan kehendak yang terkendali selama sebulan itu, seyogianya jadi sikap menetap pada umat
yang berpuasa, yang membuahkan perilaku jujur.
Kejujuranlah nilai yang hendak ditanamkan dalam ibadah puasa
karena kejujuran adalah pilar utama ketakwaan sehingga tak mungkin kesalehan
hidup terwujud tanpa kejujuran.
"Hanya jujur saja, ya, Rasulullah?" tanya preman yang ingin
tobat. "Ya, jangan berbohong," jawab sang Nabi dalam suatu kisah.
Kejujuran menuntun sang preman jadi
saleh karena setiap akan berbuat jahat ia teringat komitmen
kejujurannya pada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad sendiri digelari al-amin
(orang tepercaya, amanah) sebelum diangkat menjadi rasul.
Maka, sungguh ajaib, di negeri mayoritas
Muslim yang gegap- gempita berpuasa ini, ketidakjujuran justru merata di
mana-mana. Apa yang salah dengan puasa kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar