KASUS pembunuhan aktivis
hak asasi manusia Munir Said Thalib memasuki tahun ke-18 pada September ini.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu
meninggal karena diracun dengan arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia
GA-947 dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004.
Pegawai dan petinggi
Garuda serta pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) dituduh terlibat dalam
pembunuhan itu dan kemudian diadili. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot
Garuda, divonis bersalah sebagai pelaku peracunan dan diganjar hukuman 14
tahun penjara. Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan juga dihukum 1
tahun penjara karena membantu menjadikan Pollycarpus penumpang dalam pesawat
tersebut.
Satu-satunya petinggi BIN
yang diadili dalam kasus ini adalah Deputi V Bidang Penggalangan Muchdi Purwopranjono.
Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini diduga sebagai pemberi
perintah kepada Pollycarpus. Dalam sidang pada 31 Desember 2008, hakim
Suharto membebaskan Muchdi karena menilainya tidak terbukti terlibat.
Suciwati, istri Munir,
mengaku kecewa atas proses hukum kasus ini. Komite Aksi Solidaritas untuk
Munir (Kasum) lalu dibentuk guna mengadvokasi kasus Munir. Berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, ada sejumlah petinggi BIN yang
disebut terlibat tapi tidak diproses hukum. Kejaksaan Agung juga tak
mengajukan permintaan kasasi atas putusan bebas Muchdi, meskipun Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan pengadilan diulang.
Advokasi kasus kematian
Munir ini sangat panjang dan melelahkan. Suciwati menuangkan kisah
kehidupannya bersama Munir dan ancaman yang ia hadapi dalam buku Mencintai
Munir yang diselesaikan dalam 10 bulan. "Namanya migrain dan
muntah-muntah adalah bagian dari proses (penulisan) itu," katanya dalam
peluncuran buku itu di Kemang, Jakarta, pada Rabu, 14 September lalu.
Pembunuhan Munir terjadi
pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Proses hukumnya dijalankan
pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Muchdi divonis bebas,
kasus Munir berhenti. Tak ada perkembangan berarti dalam pemerintahan
sesudahnya meski Jokowi pernah mengatakan ingin menyelesaikan kasus ini.
Dalam orasi di depan Aksi
Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 15 September lalu,
Suciwati menyampaikan kegelisahannya. Ia menilai saat ini tidak ada partai
oposisi yang berani mempertanyakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat,
termasuk penyelesaian lewat jalur non-yudisial yang dipilih pemerintah.
"Partai-partai lebih sibuk untuk tetap berkuasa. Isu hak asasi manusia
hanya menjadi batu loncatan untuk berkuasa, termasuk Jokowi dengan Nawa
Cita-nya," tuturnya.
Selama 18 tahun
mengadvokasi kasus Munir, Suciwati dan Kasum menghadapi banyak hal. Ancaman
dan teror datang silih berganti untuk membuatnya berhenti mengangkat kasus
ini. Namun semangatnya tak kendur. "Aku sejak awal sama almarhum itu
sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia," ujarnya dalam
wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Tara Resya,
pada Sabtu, 10 September lalu.
Dalam wawancara sekitar
satu jam, Suciwati menuturkan perjuangannya dalam mengangkat kasus Munir. Ia
juga mengisahkan berbagai tekanan yang dihadapinya dan menilai bagaimana
komitmen tiga presiden untuk menuntaskan kasus ini.
Perjalanan
kasus Munir sudah memasuki tahun ke-18. Bagaimana Anda melihatnya?
Sebagai korban, selama
keadilan tidak aku peroleh, aku akan bilang ini kasus pelanggaran HAM berat.
Fakta-fakta (yang terungkap) di pengadilan sudah jelas bahwa ini permufakatan
jahat yang melibatkan empat pelaku, yakni pelaku lapangan, pelaku pembantu,
pemberi akses, dan inisiator, yang merencanakan. Di pengadilan bisa kita
lihat bandar udara internasional yang tiba-tiba CCTV-nya tidak bekerja. Itu
kelihatan sekali konspirasinya. Memakai penerbangan milik negara GA-974. Ada
telepon antara pelaku lapangan, pemberi akses, ke lembaga negara BIN. Apalagi
yang dipakai itu arsenik, yang tidak gampang didapatkan orang. Jelas ini
orang yang melakukannya memakai lembaga negara. Ini pembunuhan yang
melibatkan aktor negara. Ini konspirasi dan kejahatannya struktural.
Pollycarpus,
Indra Setiawan, dan Muchdi sudah diadili.
Komnas HAM sudah pernah
melakukan eksaminasi. Eksaminasi itu memberikan rekomendasi pengadilan harus
diulang karena hakimnya tidak kredibel. Banyak kejanggalan ditemukan oleh Komnas
terhadap hakimnya.
Apakah
penyelidikan kasus ini sudah berada di jalur yang benar?
Bolak-balik ganti tim dan
bagaimana mereka diancam juga. Soal on the track masih tidak 100 persen,
mungkin 50 persen belum. Sebab, waktu itu tak menjangkau (BIN) sama sekali.
Awalnya (penyelidikan) cuma mau berhenti di orang-orang Garuda, tidak sampai
ke BIN. Ketika didorong semua, ada banyak dari luar negeri yang
mempertanyakan—Uni Eropa, negara-negara Barat, tokoh penerima
penghargaan—menulis surat ke SBY, Kongres Amerika Serikat tanda tangan
mempertanyakan itu. Belum lagi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itu yang
kemudian membuat Kepolisian RI bergerak.
Apakah
semua orang yang terlibat sudah diadili?
Bagaimana dengan
pengangkatan Pollycarpus? Surat (perintah) itu kan ditandatangani Wakil
kepala BIN As'ad Said Ali. Lewat kesaksian Indra Setiawan di pengadilan kasus
Muchdi, dia minta Poly, "Siapa nih yang ngangkat kamu?" Itu kan
kemudian dia (Indra) ketemu As'ad dan ada Muchdi di situ. Itu menunjukkan ada
sesuatu. Kami mendengar orang dari Deputi II mengatakan pernah disuruh
atasannya di BIN untuk membunuh Munir. Terus ada petugas dari Deputi VII
tiba-tiba minta ketemu sama Munir sebelum berangkat ke Belanda. Kalau
Pollycarpus itu (melalui) Deputi V. Antardeputi kan kerjanya kompartemental.
Antara satu dan yang lain kerjanya tidak saling tahu. Kalau mereka bekerja
sama untuk melakukan sesuatu dan akhirnya terjadi pembunuhan ini, berarti ada
yang tahu di atasnya. Waktu itu Kepala BIN Hendropriyono.
Ini
kerja personal atau lembaga?
Sistematik menurutku dan
karena itu terpenuhi unsur kasus pelanggaran HAM-nya. Kalau orang yang
terlibat seperti itu, ada deputi, ada wakil kepala, bagaimana mau tidak kita
bilang sistematis.
Para
petinggi BIN membantah terlibat kasus ini.
Pasti, lah. Pilihan
racunnya saja pakai arsenik. Itu dilakukan oleh orang pengecut. Kau berharap
apa dari mereka? Untuk mengaku?
Peristiwa
ini terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Bagaimana sikap pemerintah saat
itu?
Dia tak ngomong apa pun
soal kasus Munir. Memang harus digarisbawahi bahwa pembunuhan Munir itu di
masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Apa
perbedaan penanganan oleh presiden-presiden berikutnya?
Buat aku, mending Susilo
Bambang Yudhoyono, meski tidak berani total. Paling tidak ada action-nya.
Kalau (presiden) saat ini, tidak ada. Yang dia (Jokowi) tunjukin dengan gagah
malah mengangkat terduga pelaku pelanggaran HAM (sebagai menteri).
Pernah
bertemu dengan Yudhoyono?
Ketemu. Pertama, sebelum
pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir. Kedua, diajak
ketemu bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Aksi
Kamisan, tapi saya tidak mau.
Janji pembentukan TPF
akhirnya dipenuhi.
Tapi mengapa setengah
hati? Bekerja itu harus total.
Penyidikan kasus Munir kan
akhirnya jalan.
Itu setelah
didorong-dorong. Kalau mereka profesional, tak perlu didorong-dorong.
Apakah
pernah bertemu dengan Presiden Jokowi?
Beberapa kali ada
kesempatan. Pada 2014, Komnas HAM memberi penghargaan kepada Munir. Komnas
HAM kepada saya mengatakan bahwa penghargaan akan diberikan oleh Jokowi di
Yogyakarta. Buat aku, lebih penting menuntaskan kasusnya dan membawa
penjahatnya ke pengadilan. Enggak penting ketemu presiden kalau tidak bisa
berbuat apa-apa.
Bagaimana
dengan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini?
Pada 2016, Presiden bicara
ke publik. Dia mengatakan sudah memerintahkan Jaksa Agung, "Hei, Jaksa
Agung, selesaikan, ya, tuntaskan, ya, kasus Munir." Kemudian enggak ada
apa-apa.
Apakah
masih ada harapan Presiden Jokowi akan menyelesaikan kasus ini?
Mengapa berharap sama
orang yang pembohong? Yang mengkhianati kita? Bagi aku, harapan itu, ya, buat
anak muda dan orang-orang yang nanti memimpin republik ini supaya benar-benar
orang yang bersih, yang mengerti hak asasi manusia dan sebagainya.
Advokasi
kasus ini sudah lama. Ada intimidasi?
Intimidasi terjadi sejak
awal. Saya pernah dikirimi paket berisi kepala ayam dan kotorannya (pada
2004). Terus ada sayembara yang isinya memberi hadiah bagi yang bisa
mencungkil mata saya, hadiahnya sekian juta (pada 2008). Itu lewat surat.
Pernah anakku tiba-tiba didatangi polisi. Katanya mau mengamankan anakku. Aku
pernah juga ditelepon oleh Pollycarpus pada 2013, padahal dia ngomong sedang
dipenjara di Sukamiskin. Mengapa dia bisa telepon? Dan ketika dicek sama
Usman Hamid lewat temannya yang ahli teknologi informasi, dia dilacak sedang
ada di Menteng, Jakarta. Berarti sedang jalan-jalan, dong. Padahal dia baru
keluar dari penjara (karena pembebasan bersyarat) pada 2014.
Apa
yang disampaikan Pollycarpus saat itu?
Dia mau ngeledek aku. Mau
menunjukkan bahwa kamu enggak bisa memenjarakan aku. Dalam telepon dia
mengatakan, "Lupa, ya, sama aku? Aku kan temannya, Mbak." Aku
langsung tahu itu dia karena aku hafal suaranya. Jadi langsung aku matiin
aja. Ada juga beberapa surat ke rumah di Malang. Intinya menyatakan
Pollycarpus enggak bersalah. Aku mah enggak respons. Terus rumahku pernah
dijebol pada 2013. Aku merinding banget saat itu. Anakku untungnya dibawa
sama budenya saat itu.
Bagaimana
memastikan pelakunya bukan maling?
Kami mau bilang maling,
tapi dia ngambil data. Yang hilang laptop dan kamera. Ada sepeda motor dengan
kunci yang nempel plus STNK, enggak diambil.
Anda
tidak takut terhadap intimidasi?
Aku sejak awal sama
almarhum itu sudah bilang bahwa mati-hidup kita bukan urusan manusia. Kami
punya keyakinan bahwa Tuhan yang membuat itu. Jadi nothing to lose aja. Kalau
enggak ngapa-ngapain kita mati, ngapa-ngapain kita mati. Kan, mending
ngapa-ngapain dan berjuang, kita mati. Sama-sama matinya, gitu lho. Itu ada
dalam obrolanku sama almarhum di buku Mencintai Munir. Aku kan bekerja
berbasis mencintai kebenaran, mencintai keadilan. Jadi, ya, kenapa kita harus
tunduk kepada para penjahat? Bahwa ketakutan itu bisa kita tata. Bahwa ketakutan
itu membuat kita jadi lemah. Jadi kalau kita bekerja karena berbasis
ketakutan, ya kita enggak akan ngapa-ngapain, enggak akan pernah menghasilkan
apa pun.
Apakah
Anda pernah merasa putus asa?
Ya, pasti, lah. Dulu di
awal-awal, ya. Tahun 2004 itu aku sedang di rumah kontrakan di Jakamulya,
Bekasi, Jawa Barat. Itu kan ruang di mana semuanya mengingatkan aku sama dia
(Munir). Satu hari, aku mau siap-siap pindahan. Aku kan dibeliin ponakanku
kardus-kardus kosong untuk packing. Nah, aku ini mau liburan. Itu
kesedihannya luar biasa sampai aku angkat kardus kosong itu aja enggak kuat.
Jatuh terus berkali-kali. Akhirnya aku berhenti. Keluar jalan-jalan. Akhirnya
aku jalan. Tapi apa yang terjadi? Sepanjang jalan aku hanya menangis.
Komnas
HAM membentuk tim ad hoc kasus Munir dan presiden menerbitkan peraturan
presiden untuk membentuk tim non-yudisial untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM. Apa komentar Anda?
Kalau Komnas HAM, masih
sedikit percaya, ya. Tetap akan kami dorong meskipun mereka lelet dan mungkin
agak lama untuk memahami bahwa ini penting segera dibikin tim ad hoc. Itu
memang lama dan tetep harus kami dorong untuk diputuskan bahwa ini memang
kasus pelanggaran HAM berat. Soal yang dibentuk oleh peraturan presiden, buat
aku, ini cara-cara Jokowi yang mau membuat impunitas makin kuat.
Anda
masih punya harapan?
Aku tetap punya harapan.
Doronglah Komnas HAM, ayo kerja bener. Kalau kamu gagal, apa lagi nih yang
bisa kami lakukan? Selalu harus ada strategi untuk itu. Dan itu kan membangun
harapan buat ke depan bahwa kami enggak menyerah. Kami akan terus, apa pun
yang terjadi, sampai aku mati mungkin, ya. Terus ke Jaksa Agung mungkin kami
akan melakukan gugatan atau apa. Kenapa Jaksa Agung tidak melakukan
peninjauan kembali, misalnya, terhadap kasus Muchdi? Kami tanya juga kenapa
waktu itu tidak dikeluarkan rekaman komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi
di persidangan. Itu kan pertanyaan yang tidak pernah dijawab. ●
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166964/wawancara-suciwati-soal-penanganan-pembunuhan-munir-said-thalib
|