Membaca
Ulang Film Pengkhianatan G-30-S PKI
|
Baiklah diterima bahwa film Pengkhianatan G-30S-PKI suatu
karya dengan kandungan estetika. Suatu karya kreatif, khususnya seni, tidak
ada salahnya dibaca, didengar, ditonton berulang-ulang, jika memang muatannya
mengesankan.
Karya seni akan mengasah rasa dan memperkaya batin. Namun,
jika harus digiring rame-rame oleh kekuasaan di luar diri, tentulah tak elok
untuk nalar dan kecerdasan pribadi. Interaksi dengan karya seni hendaklah
bersifat otentik, antara daya magnet dari karya dan persepsi
dari penikmatnya.
Bagi generasi milenial yang lahir dan besar di era
pasca-Orde Baru, baik diungkapkan sedikit latar belakang. Film Pengkhianatan
G-30S-PKI diproduksi tahun 1984 oleh perusahaan film negara, disutradarai
oleh sineas terkemuka Arifin C Noer. Film ini berdurasi tiga setengah jam
lebih, diputar secara masif di bioskop-bioskop dengan penonton yang
dikerahkan dari sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Kemudian,
secara berkala setiap akhir September, diputar di media pemerintah: TVRI.
Film ideologis
Film itu dibuat setelah konsolidasi kekuasaan Orde Baru
optimal, dengan keberhasilan meniadakan setiap oposisi. Mulai dari gerakan
intelektual kampus dekade 1970-an sampai kekuatan parpol Islam awal 1980-an,
telah dimatikan. Sejak itu kekuasaan dibangun atas dasar ideologi Orde Baru.
Sebenarnya seperti apa ideologi Orde Baru? Ada dua, yaitu
pertama, yang bersifat manifes dijabarkan resmi, secara struktural
disosialisasikan dengan Ketetapan MPR No II/1978 berupa penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 adalah penjabaran lima sila
Pancasila ke dalam 36 butir pedoman
untuk sikap dan perilaku sosial. Ini boleh kita sebut ideologi
terbuka. Kedua, yaitu ideologi tertutup, berlangsung dalam struktur
tersembunyi (hidden structure) yang
dimunculkan melalui pembunuhan misterius, intimidasi dengan memarjinalkan
warga sebagai di luar sistem, dan semacamnya.
Film Pengkhianatan G-30S-PKI tentunya untuk mengisi alam
pikiran warga dengan ideologi terbuka, tetapi di balik itu juga terkandung
ideologi tertutup. Film ini berusaha menggambarkan peranan militer dalam
melindungi Pancasila sebagai dasar negara RI dari ancaman komunisme melalui
perebutan kekuasaan oleh PKI. Bahaya PKI adalah kekerasan yang dilakukan
terhadap sesama warga ataupun kekejaman terhadap aparat TNI di sejumlah
daerah. Puncaknya adalah penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat.
Penggambaran ini diwujudkan melalui sejumlah visualisasi serta ujaran dialog
pelaku dan komentar oleh narator.
Struktur film ini kuat, dengan menggabungkan dokumenter
dan teatrikal, karena itu tidak membosankan menontonnya. Jika diringkas, film
ini menyangkut latar sosial dari keberadaan PKI; keadaan Soekarno (Bung
Karno) yang sakit-sakitan sehingga perlu perawatan dokter-dokter dari
Republik Rakyat Tiongkok (RRT); gerakan PKI; penculikan dan pembunuhan
jenderal; serta peranan Soeharto dalam penumpasan PKI. Film ini oleh Badan
Sensor Film dinyatakan layak untuk remaja. Namun, dramatisasi adegan,
terutama mengenai kekejaman, agaknya tidak membayangkan bahwa film akan
ditonton oleh murid-murid SD yang digiring oleh guru-gurunya ke gedung
bioskop.
Komunikasi disfungsional
Kreator film ini mulai dari sutradara, pengarah seni,
sampai pemain tentulah berniat tulus dalam mendukung pembuatan film ini.
Semua bersetuju bahwa kekejaman seperti yang dilakukan oleh PKI harus
dihindari. Rakyat Indonesia jangan sampai dikuasai oleh komunisme. Tak pelak,
begitu intensi dan tujuan yang menggerakkan para pekerja kreatif di film ini.
Dari sini efek diharapkan terwujud.
Namun, tidak setiap intensi dan tujuan komunikasi akan
fungsional. Dalam propaganda memang bersifat linier, efek bisa dicapai sesuai
tujuan. Efek propaganda akan pudar setelah kekuasaan pendukung runtuh dan
kebenaran muncul. Apakah efek Pengkhianatan
G-30S-PKI sudah pudar sehingga ancaman komunisme di depan mata sehingga
generasi milenial akan terkontaminasi?
Tunggu dulu. Pengkhianatan G-30S-PKI tidak sepenuhnya film
propaganda. Film itu dikreasi dengan dramaturgi yang kuat, penggarapan
estetis yang tinggi, dan pemeranan yang bagus. Ada intensi estetika, tidak
semata-mata mendukung propaganda. Bahkan, Arifin C Noer menyediakan berbagai
celah untuk mengintip kebenaran. Walau kebenaran itu harus dilihat melalui
teks terbalik atau biasa disebut "baca di antara baris" (read between
the lines), mencari wacana yang tersembunyi.
Kekejaman PKI di ruang sosial sebelum 1965 ditunjukkan
melalui dan ilustrasi dari peragaan intimidasi terhadap kelompok agama dan
kliping koran-koran menyangkut aksi sepihak petani yang berani melakukan
kekerasan terhadap aparat TNI. Peragaan dan kliping koran sebagai pendahuluan
wacana, untuk diikuti tentang rencana PKI yang digambarkan melalui pertemuan
tokoh-tokoh partai itu. Untuk generasi muda sekarang tentu nama pimpinan
partai itu sudah kehilangan konteks, karena itu tidak ada maknanya sebagai
rapat untuk gerakan besar. Kesannya hanya sekumpulan orang yang duduk di
kelas sempit. Yang menonjol hanya adegan laki-laki merokok tiada henti.
Setelah itu, kekejaman menjelang peristiwa G-30-S,
digambarkan melalui sejumlah adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan.
Seluruh adegan sadisme dinarasikan sebagai tindakan PKI. Namun, secara
visual, sama sekali tak ada pertaliannya dengan PKI. Bahkan, secara auditif,
dalam dialog pelaku dan narasi, digambarkan sejumlah militer. Dan, seluruh
adegan demi adegan penculikan dilakukan oleh militer. Suara terompet yang
biasa terdengar di barak tentara, suara derap sepatu, semuanya
mengindikasikan suasana militer. Begitu juga dalam adegan penyiksaan di
Lubang Buaya, beberapa kali dalam ambilan dekat dan medium kamera
menggambarkan pelaku militer atau setidak-tidaknya paramiliter.
Kemudian, boleh difokuskan pada sekuen persiapan
penculikan, ada adegan tentara menerima dan meneliti beberapa foto jenderal
yang akan diculik. Secara bersengaja (dengan close-up), diambil wajah-wajah
yang akan diculik. Tidak ada foto Soeharto. Luar biasa bukan?
Karena itu, kalau Pengkhianatan G-30S-PKI dimaksudkan
untuk mendukung ideologi militerisme di Indonesia, dengan menggambarkan peran
militer dalam menumpas komunisme,
agaknya dengan cara lain film ini boleh dibaca dengan cara lain.
Betapa berbahayanya jika militer disusupi oleh ideologi radikal sehingga
seorang prajurit berani menghardik atasan, untuk kemudian membunuhnya. Itu
secara gamblang digambarkan film Pengkhianatan G-30S-PKI. Mari menonton
ulang. ●
|
Sumber : Ashadi Siregar (Peneliti Media dan
Pengajar Jurnalisme),
KOMPAS 25 September 2017