Literasi dan Kelisanan (1)
Sofie Dewayani ;
Penulis; Penggiat Literasi; Ketua Yayasan Litara
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Juli 2015
BANYAK yang tak mengetahui bahwa trilogi Pulau Buru yang
terkenal itu awalnya ialah sebuah kisah tutur. Pramudya mengisahkannya kepada
sesama tawanan Pulau Buru karena dia tidak diizinkan memegang kertas dan
pena. Merasa terhibur dan sekaligus terinspirasi, para tawanan lalu
menyebarkan kisah ini dari mulut ke mulut. Ketika akhirnya diizinkan untuk
memiliki kertas dan pena, Pramudya cepat menuliskan kisah-kisah itu dari
ingatannya.
Trilogi Pulau Buru menunjukkan bahwa tradisi menulis dan
kelisanan itu berkelindan. Menulis dan berbicara memiliki metode yang
berbeda, tetapi keduanya sama-sama menjadi media untuk mengartikulasikan
gagasan. Literasi selalu berkembang dalam konteks kelisanan. Sebuah karya
tulis dibuat dari gagasan yang didialogkan dengan orang lain, lalu tumbuh dan
disempurnakan dengan pertukaran pemikiran. Setelah selesai ditulis, sebuah
karya terus akan menjadi bahan dialog. Dalam proses memahami sebuah karya,
seseorang perlu berdialog dan berbicara. Sayangnya, proses literasi yang
diakrabi kelisanan, dan tradisi kelisanan yang bersumber kepada bacaan ini
tidak disemai dan dipupuk di sekolah-sekolah. Literasi di sekolah menjadi
kering dan tidak diminati karena tidak ditumbuhkan dalam kehangatan tradisi
kelisanan. Tidak mengherankan apabila anak-anak kita tidak memiliki
keterikatan emosi dengan literasi.
Kebanyakan mereka tidak terbiasa menulis
dan kurang gemar membaca.
Kegemaran membaca biasanya tumbuh dari kecintaan terhadap
kisah. Sebelum mengenal bacaan, anak-anak dibesarkan dengan tutur dari
orang-orang terdekat mereka. Anak-anak mencintai kisah, dan ketika mereka
dapat membaca, kecintaan ini menemukan muaranya dalam buku-buku bacaan. Anak-anak
yang dibesarkan dengan limpahan kisah dan buku-buku, akan tumbuh dengan
memori tentang membaca yang menyenangkan. Anakanak seperti ini biasanya
menjadi pembelajar sepan jang hayat.
Kebanyakan anak-anak tak begitu beruntung. Ketika memasuki
sekolah, mereka harus melafalkan bacaan tanpa makna seperti “Ini ibu Budi,
ini bapak Budi“ yang harus dieja sempurna.Mereka dinilai dari seberapa baik
dan lancar mereka mengeja. Membaca terkonversi menjadi angka-angka nilai yang
menentukan prestasi akademik mereka. Ketika mereka dapat membaca secara
mandiri, mereka harus membaca soal-soal ujian dan menjawabnya dengan benar,
juga buku-buku teks pelajaran yang membosankan.Buku-buku cerita yang menarik
jarang mereka temukan. Seandainya buku-buku itu tersedia, mereka tak sempat
membacanya karena buku-buku itu dianggap tak relevan dengan persiapan untuk
ujian.Pelajaran membaca di sekolah mungkin dapat menjadikan anak mampu
mengeja. Namun, ia gagal untuk menumbuhkan minat baca. Rendahnya minat baca
dan kemampuan untuk memahami bacaan (seperti dilansir oleh tes PISA 2013)
tampaknya terkait dengan tiga hal berikut ini.
Hilangnya tradisi
Membacakan buku kepada anak sering dianggap sebagai
kegiatan praliterasi belaka. Artinya, buku dibacakan kepada anak semata untuk
mengenalkan mereka kepada konsep cetak, format bacaan, alfabet, dan bahasa
tulis. Ketika anak sudah bisa mengeja tulisan, mereka digegas untuk dapat
membaca secara mandiri. Padahal, membacakan buku juga berfungsi untuk
menghidupkan bacaan, menggugah minat anak terhadap bacaan, dan mempererat
ikatan emosional anak dengan orang dewasa. Hal ini penting di era modern
ketika relasi anak dengan orang dewasa (guru, orangtua, dan anggota keluarga
lainnya) diuji dengan kehadiran perangkat teknologi yang sungguh menyita
waktu dan perhatian.
Di kelas menulis yang saya ampu di Institut Teknologi
Bandung, saya masih membacakan buku untuk mahasiswa saya. Di angket yang
mereka isi di akhir semester, mahasiswa tingkat sarjana biasanya menyebutkan
saat-saat dibacakan buku sebagai waktu favorit mereka. Buku-buku anak
bergambar yang saya bacakan kepada mereka itu menjadi media bagi mereka untuk
belajar lebih dalam tentang aspek-aspek penulisan yang kami diskusikan.
Mereka juga belajar bahwa sumber belajar tidak melulu berupa buku teks kuliah
saja. Untuk mahasiswa pascasarjana, saya membacakan nukilan novel, buku, atau
artikel jurnal yang menarik. Nukilan-nukilan ini kemudian menjadi amunisi
diskusi kami.
Ketika dibacakan, sebuah teks tidak hanya menjadi menarik,
tetapi juga ia menjadi hidup dan relevan bagi kehidupan siswa. Teks yang
didiskusikan mendapatkan pemaknaan secara lebih luas dan mendalam karena ia
diperkaya oleh pengalaman dan penghayatan pembacanya. Karena itu, membacakan
buku tidak semata dilakukan untuk mengajari membaca atau menyampaikan kisah
kepada mereka yang belum bisa membaca. Melalui membacakan buku, seorang
pengajar memberi contoh proses ‘membaca’ teks secara reflektif, analitis, dan
kritis.
Terlalu digegas
Saat ini, anak-anak digegas untuk dapat mengeja sejak dini
agar mereka dapat membaca dengan mandiri secepat mungkin. Hal ini mereduksi
pengertian membaca hanya pada kegiatan mengeja dan membaca dengan fasih,
belum pada memahami, menghayati, apalagi menganalisis, mengkritisi, dan
merespons bacaan secara verbal dan tertulis. Siswa perlu mendapat bimbingan
untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Karena itu, selain membaca
mandiri, mereka perlu mendapatkan bimbingan dalam membaca di jenjang
pendidikan dasar dan menengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar