Semula, setelah kemenangan partai politik pemilih Opsi C, saya kira cerita sinetron Pansus Century akan dilanjutkan dengan episode penggunaan hak DPR untuk menyatakan pendapat yang mengarah pada pemakzulan wapres Boediono. Tetapi kedua kubu partai politik yang sebelumnya berseteru tentang pengertian sistemik, uang negara, dan juga soal perlu tidaknya menyebut nama pejabat tersebut ternyata kemudian bersekutu untuk menyerahkan tindak lanjut kasus Century melalui proses hukum. Bukan proses hukum tata negara atau administrasi negara sebagaimana yang diusulkan oleh sebagian pengamat, tetapi proses hukum pidana yang merupakan kewenangan Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, keputusan DPR yang mempermasalahkan kebijakan bailout Century dan pernyataan Presiden SBY yang kemudian menyanggahnya, tidak lebih dari sekadar pendapat atau pernyataan politik yang meskipun perlu diperhatikan tetapi sama sekali tidak boleh mengintervensi proses hukum pidana dan keputusannya yang sepenuhnya merupakan kewenangan tiga lembaga penegak hukum tersebut.
Bola Century kini jelas berada di Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, walaupun proses hukum di KPK pasti akan mendapatkan perhatian khusus karena terkait dengan pembuktian dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Boediono dan Sri Mulyani, dua tokoh yang dikenal bersih yang dalam kasus Century dijadikan target utama para politisi di DPR. Tentu saja, bagi KPK, penyelesaian kasus Century merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Bukan saja karena KPK harus siap menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai pihak yang berusaha untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusannya, tetapi KPK juga harus mampu mempertanggungjawabkan keputusan hukum yang akan diambilnya. Artinya, ia harus siap menerima konsekuensi yang mungkin timbul dari atau karena keputusannya.
Mengenai tindak lanjut penyelesaian kasus Century, menurut saya, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, memelihara kondisi agar tidak ada tekanan atau intervensi terhadap lembaga penegak hukum, terutama KPK, yang dapat mengganggu atau mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Maksudnya, agar supaya proses hukum dan pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara profesional, mempunyai landasan hukum yang cukup kuat, dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kalau kita tidak percaya lagi kepada KPK, lalu kepada siapa kita akan percaya?
Harus diakui bahwa, by design, pada prinsipnya keberadaan lembaga penegak hukum di Indonesia merupakan alat atau kepanjangan tangan pemerintah selaku lembaga eksekutif. Tanpa terkecuali, KPK. Dalam konteks pengertian demikian, kita bisa memahami mengapa DPR menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi Pansus tentang kasus Bank Century kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, keputusan sidang paripurna DPR tentang kasus Bank Century yang diikuti oleh serangkaian pidato dari Presiden SBY, Wapres Boediono, dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie beberapa waktu lalu sebenarnya merupakan anti klimaks bagi para politisi yang semula bermaksud menggoyang pemerintahan SBY.
Saya kira Presiden SBY tidak perlu dan tidak mau melakukan intervensi terhadap KPK, karena sikap dan pernyataan politiknya yang disampaikan kepada publik segera setelah sidang paripurna DPR beberapa waktu lalu sudah sangat jelas dan notabene bisa juga dimaknai sebagai “pesan politik” kepada KPK. Di sisi lain, para politisi yang kecewa dengan perkembangan kasus Century yang sudah mulai “masuk angin” tersebut kini tidak bisa berbuat banyak, terutama setelah mereka kehilangan momentum untuk melakukan “perubahan” (politik) melalui Pansus Century. Himbauan agar Boediono dan Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatannya, seruan untuk memboikot Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pembahasan perubahan APBN 2010, dan desakan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat yang mengarah pada upaya pemakzulan wapres Boediono nampaknya merupakan sisa-sisa amunisi politik yang mereka miliki yang kemungkinan tidak akan mendapatkan sambutan positif sebagaimana yang mereka harapkan. Demikian pula, upaya untuk menekan atau bermusuhan dengan KPK mungkin akan kontra produktif karena bagaimanapun hingga saat ini kepercayaan dan dukungan publik terhadap KPK untuk memberantas korupsi masih sangat tinggi.
Hal kedua yang perlu diperhatikan terkait dengan tindak lanjut penyelesaian kasus Century adalah mengantisipasi dampak yang mungkin timbul dari keputusan KPK, khususnya yang terkait dengan penyelesaian indikasi korupsi yang melibatkan Boediono dan Sri Mulyani. Walaupun ketegangan politik kasus Century saat ini sudah menurun secara drastis, antara lain karena munculnya isu baru terkait dengan kasus mafia hukum di tubuh Kepolisian, namun kekecewaan yang mungkin timbul dari atau karena keputusan KPK perlu diantisipasi.
Berdasarkan pertimbangan bahwa pengaruh Presiden SBY terhadap pengambilan keputusan di lembaga penegak hukum masih sangat menentukan, saya memperkirakan posisi wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani masih tetap aman, dalam arti mereka tidak akan diputuskan sebagai tersangka dalam kasus Century. Kemungkinan mereka nanti akan dipanggil oleh KPK untuk dimintai penjelasan terkait dengan kasus tersebut. Meskipun demikian, komunikasi politik antara Presiden dan para pimpinan di DPR dan juga antara Presiden dan para pimpinan partai politik yang berkoalisi perlu dilakukan untuk mengantisipasi kekecewaan yang mungkin timbul terhadap keputusan KPK.
Hal yang mungkin paling surprise adalah apabila KPK kemudian memutuskan Boediono dan Sri Mulyani sebagai tersangka, atau bahkan menyatakan mereka terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dalam upaya penyelamatan Bank Century. Walaupun kecil kemungkinan tersebut terjadi, namun kita harus mengantisipasi apabila hal tersebut benar-benar terjadi. Sebagai contoh, bagaimana mekanisme pemberhentian Boediono sebagai wapres dan juga pemilihan wapres baru yang akan menggantikan Boediono. Tentu saja akan sangat ironis apabila dua tokoh yang selama ini dikenal sebagai pejuang anti korupsi tersebut suatu saat nanti oleh KPK dinyatakan sebagai koruptor. Agaknya istilah koruptor kini bukan lagi hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mencuri uang negara, tetapi juga berlaku bagi mereka yang dinilai telah melakukan penyimpangan atau kesalahan dalam pengambilan
keputusan sehingga mengakibatkan kerugian negara.
Permasalahannya, kita tidak mungkin bisa membuktikan apakah keputusan bailout kepada Bank Century yang konon dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional tersebut benar atau salah. Demikian pula, kita tidak mungkin bisa membuktikan apakah keputusan bailout tersebut telah menyelamatkan negara atau merugikan negara. Yang bisa kita sampaikan adalah fakta bahwa LPS, yang modal kerjanya bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan dan setoran premi asuransi dari pihak perbankan, telah memberikan dana bailout kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun yang sebagian besar digunakan untuk (1) membayar penarikan simpanan nasabah sekitar Rp 3,8 triliun yang terjadi akibat bank-rush dan (2) membayar utang akseptasi akibat pembukaan L/C yang dilakukan oleh nasabah sekitar Rp 1,3 triliun (Kompas, 16 Februari 2010). Selain itu, fakta lainnya bahwa Indonesia termasuk sedikit negara yang berhasil lolos dari krisis keuangan global yang tejadi pada tahun 2008 lalu.
Sebenarnya kita bisa belajar banyak dari negara-negara lain yang mengalami krisis perbankan pada tahun 2008 lalu, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara tetangga, tentang bagaimana perlakuan mereka terhadap kebijakan penanganan krisis yang diambil oleh otoritas perbankan. Apakah mereka memperlakukan para pengambil kebijakan yang telah gagal mencegah krisis perbankan yang berdampak pada kerugian negara sebagai koruptor? Dalam kaitannya dengan kasus Century, apakah Boediono dan Sri Mulyani yang telah membuat kebijakan yang diduga telah merugikan negara, walaupun telah terbukti berhasil menyelamatkan perekonomian nasional dari imbas krisis keuangan global, tersebut pantas untuk diperlakukan sebagai koruptor?
Hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam upaya menyelesaikan kasus Century secara tuntas adalah komitmen bersama, terutama dari pemerintah dan DPR, untuk mengakhiri konflik politik yang telah banyak membuang waktu dan energi kita guna mempermasalahkan hal-hal yang kurang mendasar. Hal-hal mendasar yang perlu disepakati bersama, menurut saya, antara lain adalah mengantisipasi (1) penyelesaian hal-hal kritis yang mungkin timbul dari proses hukum kasus Century, (2) penyelesaian pemulihan aset yang telah diambil secara tidak sah oleh para pelaku tindak pidana, (3) penyelesaian hak-hak nasabah yang merasa dirugikan dalam kasus Century, dan (4) pembentukan, perbaikan, dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan moneter dan fiskal, termasuk pengawasan perbankan, dalam rangka mewujudkan adanya kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum, proses hukum mungkin akan bergerak secara liar ke berbagai arah sesuai dengan selera aparat penegak hukum yang mungkin tunduk pada kekuasaan atau berkolaborasi dengan mafia hukum. Selain itu, tanpa adanya kepastian hukum, para politisi juga dapat mempermainkan kekuasaan. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.
Apabila hal-hal mendasar tersebut telah disepakati, barangkali suatu saat nanti “malaikat” tidak lagi enggan turun ke bumi untuk mengelola republik ini. Dengan kata lain, dengan perasaan lega kita sudah bisa mengucapkan “Selamat Tinggal, Century!”. Sekarang saatnya untuk bekerja, bukan untuk memperebutkan kekuasaan.