Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar
Moh Mahfud MD ;
Dosen Sosiologi Perkotaan
Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Ketua Laboratorium Sosiologi (LabSos) UNJ
|
KORAN
SINDO, 11 Juli 2015
Benar, politik dinasti itu kotor
dan ikut menyuburkan korupsi di Indonesia. Tapi menurut saya putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) tanggal 8 Juli 2015 yang membatalkan larangan politik dinasti
(Pasal 72 huruf r) di dalam UU No 8 Tahun 2015 adalah benar juga.
Politik dinasti memang harus
diperangi, tetapi pelarangan politik dinasti dengan begitu saja di dalam UU
bisa melanggar hak konstitusional warganegara. Maka itu perlu instrumen hukum
lain untuk mengaturnya. Sebagai mantan ketua MK, saya tahu persis banyak
petahana (incumbent) yang
menyalahgunakan kedudukannya dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Penyalahgunaan kekuasaan itu bisa
dilakukan untuk dirinya sendiri yang akan mencalonkan diri lagi, bisa juga
dilakukan untuk memenangkan anggota keluarganya yang ikut kontes dalam
pemilukada, entah anaknya, istrinya, saudaranya, atau bahkan orang lain yang
satu geng politik dengannya. Bentuk penyalahgunaan jabatan itu bisa
bermacam-macam.
Ada yang menggunakan jaringan
struktural pemerintahan daerah secara sistematis guna memenangkan kepentingan
politik sang petahana, ada pula yang menggunakan dana APBD yang dibelokkan
untuk pemenangan. Dana bakti sosial (baksos) dan bantuan sosial (bansos)
yangmemang resmi ada di APBD bisa dikucurkan secara rapel persis menjelang
pelaksanaan pemilukada dengan pesan harus memenangkan petahana atau calon
tertentu.
Kaki tangan petahana sering
mengatakan, baksos atau bansos itu diberikan sebagai kemurahan hati petahana
kepada rakyat atau kepada aparat desa dan karenanya petahana atau orang yang
didukungnya harus dipilih dalam pemilukada. Kunjungan kerja pejabat petahana
juga sering meningkat volumenya menjelang pemilukada dan kunjungan-kunjungan
yang dibiayai uang negara (pemda) itu diselenggarakan dalam suasana kampanye.
Terkadang disertai dengan
peresmian proyek yang didahului yel-yel kampanye dan dekorasi panggung untuk
dukungan kepada petahana. Terkadang ada bantuan pembangunan rumah ibadah
bahkan tak jarang ada yang terangterangan menyebar amplop-amplop yang berisi uang
dengan pesan agar mendukung petahana atau keluarganya.
Banyak juga petahana yang
menggusur pejabat daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kedudukan atau
tempat tugasnya. Ada PNS yang dipindah sampai sejauh 200 km, melintasi laut,
dari tempat tugas semula sehingga harus berpisah dari suami dan anak-anaknya
karena dinilai tidak mendukung petahana. Ada juga yang melakukan demosi
besar-besaran, menurunkan pejabat struktural daerah dari jabatannya sampai
lebih dari 120 orang karena mereka dinilai tidak mau mendukung keluarga
seorang petahana.
Jadi, politik dinasti itu memang
kotor, menyuburkan korupsi, merusak birokrasi, danmerusak moral masyarakat.
MK tahu betul tentang itu karena kerusakan-kerusakan yang seperti itulah yang
selalu muncul di dalam setiap sengketa pemilukada di MK. Harus diingat, data
yang dimiliki MK tentang ini sangatlah banyak karena lebih dari 80%
pemilukada diperkarakan ke MK.
Tapi MK tak bisa serta-merta
membatalkan hasil pemilukada yang curang karena tidak ada bukti nyata atau
melihat bahwa yang diberi uang atau diberi proyek itu benar-benar memilih
petahana berhubung pemilihan bersifat rahasia. MK hanya menyatakan ada bukti
penyalahgunaan kekuasaan tapi tidak membatalkan kemenangannya karena tidak
ada bukti bahwa orang-orang yang disuap itu benar-benar memilih petahana.
Maka itu MK kemudian hanya
meneruskan itu ke aparat penegak hukum, misalnya, ke Polri atau ke KPK untuk
diteruskan ke proses hukum pidana. Itulah sebabnya ada petahana yang menang
pemilukada dan dikukuhkan kemenangannya oleh MK, tetapi tak lama sesudah
dilantik langsung digelandang ke penjara, bahkan ada yang dilantik di penjara
untuk kemudian langsung diberhentikan.
Jadi, meskipun MK tahu persis
betapa merusaknya politik dinasti ini tetapi dalam konteks pelarangan
pencalonan keluarga petahana di dalam UU, MK tak bisa membiarkannya. MK
memang harus mencabut ketentuan itu dari UU karena ia melanggar hak
konstitusional warga negara. Di dalam UUD disebutkan bahwa hak politik untuk
menjadi calon (to be candidate) adalah hak ”setiap orang”, tak terkait dengan
keluarga atau dinasti.
Saya tahu bahwa kawan-kawan di MK
tidak suka, bahkan ikut geram dan mengelus dada atas kekotoran politik
dinasti, tetapi MK memang tidak bisa melanggengkan ataupun membatalkan isi
UU, hanya atas dasar suka atau tidak suka pada isi UU. Akan berbahayalah bagi
perlindungan konstitusional ”setiap orang” warga negara jika MK membiarkan
pelarangan pencalonan hanya karena ”seseorang” itu adalah keluarga petahana.
Harus diingat, ada juga keluarga
petahana yang mencalonkan diri karena kapasitasnya yang memang bagus atau
justru karena ingin menggantikan petahana yang, meskipun keluarganya sendiri,
dinilai tidak bagus. Kemungkinan ini harus dilihat sebagai fakta. Oleh sebab
itu, pascaputusan MK ini, perlu dibuat instrumen hukum lain untuk mengatasi
kotornya politik dinasti ini.
Misalnya, dibuat sebuah Peraturan
Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan, petahana atau keluarganya yang
menyalahgunakan jabatan dalam pemilukada dinyatakan batal pencalonan maupun
kemenangannya.
Ketentuan PP yang demikian bisa
dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam mengadili perkara pemilukada. Jangan
lupa juga, dalam pengalaman perkara-perkara di MK, banyak fakta bahwa KPU
(provinsi/ kabupaten/kota) ikut melakukan kecurangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar