Kegagalan Intelijen di Tolikara
Ridlwan Habib ;
Peneliti di Indonesia Intelligence Institute
|
JAWA
POS, 29 Juli 2015
IMAM masjid Tolikara H Ali Muchtar berpelukan dengan
Pendeta GIDI Yunus Wenda di lapangan Koramil Tolikara Rabu (22/7). Perdamaian
dan rekonsiliasi sudah berjalan. Masjid sementara sebagai pengganti Masjid
Baitul Muttaqin yang terbakar juga sudah dibangun TNI dan masyarakat.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menargetkan cukup satu bulan untuk
membangun kembali kios-kios dan masjid di Tolikara (Jawa Pos, 23/7).
Kita boleh mencicil lega karena insiden itu tak melebar
dan membesar. Penyesalan memang datang di akhir. Para politikus, pengamat,
dan tokoh agama berebut mengecam. Lembaga intelijen pun kena getahnya. Ke
mana intelijen? Kok tidak dicegah? BIN tidak efektif dan seterusnya.
Salah satu tugas intelijen memang meramal masa depan. Guru
besar analisintelijenShermanKentdariCIA menulis, intelligence must foresight
the fog of the future. Intelijen harus bisa menyibak kabut misteri yang
terjadi di masa depan. Sesepuh Jawa Ronggowarsito mengistilahkannya weruh
sakdurunge winarah, tahu sebelum terjadi.
Sutiyoso baru menjabat tiga hari (dilantik 8 Juli) saat
salinan sebuah surat dari GIDI tertanggal 11 Juli masuk ke meja kerjanya
sebagai laporan dari agen di lapangan. Koordinasi, kata Sutiyoso, sudah
dilakukan dengan rapat 13 Juli. Namun, menurut Bang Yos, sapaan karib sang
kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu, jumlah personel aparat keamanan di
Tolikara sangat terbatas, hanya 42 orang ( jpnn.com, 27/7).
BIN memang tak punya kewenangan menangkap orang. Namun,
menurut PP Nomor 90 Tahun 2012, BIN mempunyai empat fungsi utama, yakni
penyelidikan, pengamanan, penggalangan, dan koordinasi. Dalam kasus Tolikara,
penggalangan gagal dilakukan.
Teori intelijen menyebutkan, penggalangan atau
conditioning adalah upaya untuk memenangkan hati lawan dan berubah menjadi
sesuai dengan keinginan kita ( to win the heart and mind, Prunckun 2010).
Intelijen di Tolikara sebenarnya punya waktu untuk melakukan itu.
Aktor-aktor utama GIDI yang sedang berkongres dengan
ribuan orang bisa dirangkul dengan cepat. Diajak bicara, hati ke hati.
Intelijen harus selalu ingat akan teori kerumunan massa: satu batu terlempar
bisa berujung kerusuhan masal (dan itu terbukti).
Sayangnya, mengutip penjelasan Sutiyoso, jumlah aparat
intelijen di Papua terbatas. Kalaupun ada, belum tentu mereka putra daerah.
Padahal, penggalang yang baik idealnya adalah orang yang ”sama” dengan
targetnya. Bisa sama suku, sama agama, atau sama bahasanya.
Nasi sudah menjadi bubur. Tugas berikutnya, menjadikan
bubur itu bubur ayam yang enak agar masih bisa dinikmati. Sifat dasar
intelijen adalah rahasia. Apa yang belum, sedang, dan sudah dilakukan orang
awam tentu tak tahu. Kita hanya bisa mengira-ngira dan melihat hasil
akhirnya. Jika kondisi tenteram, toh intelijen juga tidak mendapatkan pujian.
Jika sebaliknya, seperti kejadian di Tolikara, intelijen juga harus ikhlas
dicaci maki.
Mantan Deputi Bakin (almarhum) Soepono Sugirman pernah
berwejang, intelijen adalah profesi bagi orang-orang aneh. Profesi yang
selalu menempatkan pelakunya pada posisi ora mangan nangkane, tapi gupak
pulute. Tidak mencicipi buah nangka yang manis, namun tangannya berlepotan
getah karena mengupasnya.
Komunitas intelijen harus tetap tegar. Jika intelijen lalu
mutung dan nglokro, beban pemerintahan Jokowi pasti akan tambah berat.
Pemerintah sedang bertahan dalam kondisi tren ekonomi yang melambat, dolar
yang kian menguat serta berimbas pada nilai tukar rupiah, pelemahan ekspor,
dan sebagainya. Jika Jokowi ibarat pembalap Tour de France yang sedang
menanjak 21 kelokan di Alpe d’Huez, BIN harus menjadi sepeda yang prima,
tangguh, dan gesit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar