Ribetnya
Jadi Kaum Toleran Iqbal Aji Daryono ; Penulis, Tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 14 September 2021
Hal-hal
seperti ini tidak bakalan digubris oleh para pemegang kunci surga." Saya
tercenung membaca kalimat itu. Di hutan belantara obrolan lini masa,
sebenarnya nada kalimat demikian ya biasa saja. Tapi yang saya hadapi kali
ini adalah tulisan dari seorang peserta dalam satu program mentoring untuk
kampanye kebhinnekaan, tempat saya memberikan pendampingan kreasi konten
digital. Maka,
saya betul-betul merenungkan cita rasa dari kalimat tersebut. Para pemegang
kunci surga. Hmmm, serasa ada yang tidak pas. "Begini.
Kita ini mengambil posisi idealis sebagai pengusung spirit toleransi,"
kata saya. "Tugas kita adalah mengajak orang untuk sama-sama memahami
dan menerapkan spirit itu. Nah, apakah bisa semangat itu terbentuk kalau kita
jalankan dengan cara menyerang? Apalagi serangan itu kita arahkan kepada
keyakinan orang." Saat
kalimat terakhir lepas dari mulut saya, diam-diam saya merasa pandangan saya
malah menabrak kabut. Segalanya jadi tidak benar-benar jernih. Jadi,
si peserta tadi ingin menulis tentang pengalaman pergaulan harmonisnya
bersama para penganut keyakinan yang berbeda. Lalu ia bermaksud
menyodorkannya sebagai referensi kehidupan yang mungkin tak pernah dimengerti
oleh orang-orang yang maunya hanya bergaul dengan lingkungan yang satu
keyakinan saja. Sementara, orang-orang eksklusif itu menjalankan sikap mereka
karena yakin bahwa hanya kelompok mereka sajalah yang layak masuk surga. Hasilnya,
muncul kata-kata "para pemegang kunci surga" itu. Yang jadi
kebingungan saya, bukankah keyakinan kelompok itu bahwa hanya mereka sendiri
yang bisa masuk surga adalah memang bagian dari keyakinan mereka? Lalu karena
kami ingin mengampanyekan toleransi, bukankah seharusnya juga mengampanyekan
penghormatan atas keyakinan siapa saja? Lah,
kalau keyakinan orang yang kami hadapi itu adalah "cuma kami yang masuk
surga", lalu atas dasar apa kami tidak menghormati keyakinan mereka?
Atas dasar apa kami boleh sinis dengan menyebut mereka sebagai "pemegang
kunci surga"? Persoalannya,
ketika mereka meyakini diri sendiri sebagai satu-satunya penggenggam
kebenaran, bukankah otomatis mereka akan yakin bahwa golongan di luar diri
mereka adalah salah? Simpelnya, mereka pun akan melihat kami sebagai kalangan
yang masuk neraka. Dan, sebagai kaum toleran, kami wajib menghormati
keyakinan mereka bahwa kami akan masuk neraka! *** Menjadi
toleran yang konsekuen itu ternyata memang tidak gampang. Kita dipaksa untuk
toleran bahkan kepada orang yang tidak toleran kepada kita. Jika kita menolak
bersikap toleran kepada orang yang tidak toleran kepada kita, otomatis kita
sendiri sudah tak lagi toleran. Pernah
saya masuk ke sebuah grup yang judulnya pakai kata kebhinnekaan (tentu tanpa
kepak sayap). Awalnya sih normal-normal saja. Tapi lambat laun sepertinya
para penghuni grup gagal konsekuen dengan spirit toleransi itu.
Ujung-ujungnya, mereka malah jatuh pada sikap mengejek-ejek ajaran berbagai
agama. Jumud, bodoh, terbelakang, nggak bakalan maju, kata mereka. Saya
masih memaklumi kalau sejak awal mereka menyebut diri sebagai kelompok
penjunjung sains, misalnya. Dengan landasan ideologis seperti itu, tentu nilai
yang menggerakkan mereka adalah sains. Jadi, apa pun yang tidak sejalan
dengan sains akan mereka serang. Termasuk agama. Masalahnya,
kalau pernyataan sikap awal mereka adalah penjunjung keberagaman, atas dasar
apa mereka mengejek keyakinan orang, mau sekonyol apa pun keyakinan itu dalam
pandangan mereka? "Kalian
ini mungkin bermaksud melawan bigot. Tapi cara kalian cuma another
bigotry." Begitu kata saya, lalu pamit meninggalkan grup itu. Ketika
ada yang mengirim pesan lalu bertanya kenapa saya ngambek, saya mengutip Gus
Dur. "Iman tidak dapat diadili." Mohon maaf kalau saya selip
memori, tapi seingat saya Gus Dur mengatakan itu pada saat ribut-ribut kasus
Lia Aminuddin. Ya, mau seperti apa pun, iman itu ya iman. Ia berada pada
dimensi yang tidak-bisa-dan-tidak-perlu ditimbang dengan ukuran-ukuran di
luar sistem keimanan itu. Saya
lalu teringat Eric Weiner di buku The Geography of Faith. Di situ Eric
bercerita tentang Raelisme di Amerika. Itu agama berbasis UFO. Tuhan yang
mereka yakini adalah sosok dari luar angkasa. Buku-buku religius para Raelian
berjudul The Message Given by Extra-Terrestrials, Extra-Terrestrials Took Me
to Their Planet, dan sebagainya. Mereka pun punya beberapa ajaran yang
terdengar aneh, misalnya dengan perayaan Hari Telanjang dan menetapkan
masturbasi sebagai bentuk kepasrahan suci. Meskipun
demikian, di Amerika, Raelisme tetap diakui sebagai satu bentuk iman. Bahkan
pengakuan itu muncul secara formal. Buktinya, IRS (Dirjen Pajak-nya Amerika)
tidak memungut pajak dari institusi Raelisme. Anda perlu tahu dulu, sebagai
wujud dari sekularisme, lembaga agama tidak dipungut pajak di sana. Dan,
sekonyol apa pun ajaran Raelisme, ia dihormati sebagai agama. Saya
juga ingat cerita sahabat saya yang bekerja di Samsat-nya Western Australia.
Di sana, untuk pembuatan foto SIM, orang memang harus membuka wajahnya,
tetapi untuk alasan iman penutup kepala tidak harus dibuka. Tentu saja
dasarnya adalah penghormatan atas kebebasan beragama. Maka jilbab di SIM
tidak masalah, turban yang dipakai orang-orang Sikh itu tidak masalah, bahkan
topi rajut yang dipakai para penganut Rastafari juga tidak masalah. Bagi
banyak orang, sebagaimana Raelisme, Rastafari itu agama yang menggelikan. Itu
agamanya Bob Marley, yang salah satu ritual sucinya adalah beramai-ramai
mengisap ganja. Tapi tetap saja di Australia keyakinan yang terdengar konyol
pun dihormati sebagai keyakinan. Tapi
ngomong-ngomong, apa itu kekonyolan? Bukankah konyol dan tidak konyol itu
wilayah yang sangat relatif? Apalagi jika terkait agama-agama. Agama
berisi klaim kebenaran, fondasinya iman, iman adalah keyakinan, dan keyakinan
tidak terikat mutlak kepada hukum-hukum akal rasional. Secara umum, sesuatu
tampak konyol karena dianggap tidak rasional. Dan barangkali setiap orang di
luar sebuah sistem kepercayaan pada suatu agama akan melihat pernak-pernik
ajaran agama itu sebagai kekonyolan, bukan? Ringkasnya,
setiap penganut agama mungkin akan melihat agama lain konyol, dan cuma
agamanya sendiri yang tidak konyol. Begitu, bukan? Atau saya keliru? *** Hari
ini, peristiwa dengan pola masalah yang sama muncul lagi. Ada video viral
yang menggambarkan para santri sebuah sekolah agama datang ke lokasi
vaksinasi, dan mereka duduk berderet-deret. Pose mereka begitu memancing
perhatian. Ya, mereka beramai-ramai menutup telinga, karena di ruang tunggu
vaksin itu ada musik yang diputar oleh penyelenggara acara. Mudah
ditebak, mereka dari sekolah muslim yang mengharamkan musik. Atau lebih
spesifik lagi, para santri itu penghafal kitab suci, dan mereka meyakini
bahwa mendengarkan musik-musik duniawi akan merusak hafalan mereka. Lalu
banyak orang tertawa. Banyak orang bilang anak-anak itu salah didikan. Banyak
suara mengejek sambil secara tersirat mengatakan bahwa sikap para santri itu
konyol. Saya
sendiri seorang muslim, dan saya tidak mengharamkan musik. Jujur saja, dari
versi ajaran yang saya ikuti, dalam hati saya berkata bahwa sikap para santri
itu konyol. Tetapi, sebagai orang yang mengaku toleran, atas dasar apa saya
mengejek secara terbuka bahwa mereka konyol? Bukankah itu memang keyakinan
mereka, keyakinan tidak dapat diadili, dan sepanjang tidak merusak harmoni
sosial, maka setiap keyakinan berhak untuk dihormati? Ah,
jadi kaum toleran memang tidak gampang. Jauh lebih gampang menjadi penentang
bigot, meski lagi-lagi yang dijalankan tak lebih dari sekadar another bigotry. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5723889/ribetnya-jadi-kaum-toleran |