Melecut Kemandirian Ekonomi NU
Ali Masykur Musa ;
Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
|
KORAN
SINDO, 29 Juli 2015
Nahdlatul Ulama adalah organisasi
sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang hidup dan bersenyawa dengan
dinamika sosial yang mengitarinya.
Saat ini NU sedang bersiap
menyelenggarakan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Sejak awal berdiri
pada 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan
kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan
embrio berdirinya NU yaitu Tashwirul Afkar , Nahdlatul Watan, dan Nahdlatut
Tujjar.
Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan
dan keulamaan, Nahdlatul Watan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan
Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam
pola gerak NU dari masa ke masa.
Dari tiga etos perjuangan
tersebut, aspek mewujudkan kemandirian ekonomi yang berujung kepada
kesejahteraan warga NU (nahdliyin) belum bisa dikategorikan dalam taraf yang
memuaskan. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah,
bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian.
Kemandirian ekonomi merupakan
prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh,
NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mampu
berfungsi sebagai kontrol pemerintah. Terlebih, bila memandang jauh ke depan,
NU menghadapi tantangan multidimensi.
Globalisasi bukan hanya
meliberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke pedesaan
yang merupakan basis warga NU, tetapi juga membawa masuk pengaruh aliran
transaksional yang tarik-menarik dengan ajaran dasar NU yang tradisional dan
mengakomodasi kelokalan.
Liku
Gerakan Ekonomi NU
Gerakan ekonomi NU sebenarnya
tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi
NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat
dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor
ini masih jauh tertinggal.
Setelah Nahdlatut Tujjar , gerakan
penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada tahun 1937, Ketua Tanfidhiyah NU
KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk
memperkuat modal para petani di pedesaan.
Koperasi ini berupaya membuka
jaringan perdagangan antarpesantren yang banyak menghasilkan produkproduk
pertanian dan usaha-usaha kecil lain. Namun, sungguh disayangkan, dalam
perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Banyak alim ulama NU yang
berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik
praktis.
Setelah NU kembali ke khittah
menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu
muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa
untuk membentuk Bank Nusumma.
Kehadiran Bank Nusumma ini adalah
upaya menjembatani kebutuhan permodalan bagi pengembangan usaha-usaha warga
NU dan dimaksudkan sebagai badan usaha untuk menopang kebutuhan NU. Namun,
keberadaan Nusumma sendiri tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis
ekonomi 1997.
Hingga kini sebenarnya sudah
banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU.
Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU
atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga
banyak berkembang.
Seperti pembuatan batik, sarung,
kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Tak terhitung usaha kreatif
pengembangan kemandirian ekonomi dilakukan oleh para aktivis lembaga, lajnah,
dan badan otonom NU, maupun warga NU secara umum.
Selain itu, banyak pesantren NU
yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi
pesantren. Contoh yang paling jelas di antaranya adalah Koperasi Pesantren
Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul
Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak
lagi lainnya.
Namun, dengan derap gerakan itu,
kenapa masih saja banyak sekali warga NU yang belum merasakan manfaatnya dan
cenderung masih bertahan dalam zona kemiskinan mereka? Hal itu bisa terjadi
karena tiga hal. Pertama, sikap hati-hati NU yang berlebihan dalam menyikapi
perubahan zaman.
Sikap demikian memang ada nilai
positifnya, yaitu tetap kuatnya karakter dan identitas NU karena ia tidak
mudah larut dalam perubahan. Namun, dampak negatifnya NU menjadi gagap dalam
merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera.
Kedua, orientasi politik yang kuat
di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar
dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kolompok
tertentu.
Karena besarnya syahwat politik
dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga
terbawah, NU terkenal menjadi sebuah mobil besar yang bisa ditinggalkan
begitu saja oleh sang penyewa setelah sampai di tujuannya.
Ketiga, belum adanya visi besar,
kebijakan ekonomi makro, dan strategi jangka panjangpendek dari NU sebagai
induk jamaah maupun jamiyyah-nya.
Hal ini mengakibatkan, berbagai
potensi ekonomi NU tersebut masih terlihat terserak dan berjalan seorang
diri. Dengan garis komando yang baik dan jejaring yang kuat, gerakan ekonomi
NU akan tertata rapi dan mampu berperan secara maksimal dalam mengangkat
perekonomian umat.
Ekonomi
Berbasis Pesantren
Basis ekonomi terbesar NU bisa
digerakkan melalui pesantren. Dari catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI)
NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di
bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia.
Kemandirian pesantren sejak
berabad-abad yang lalu menunjukkan bahwa pesantren telah memiliki basis
ekonominya secara mandiri. Namun, perlu diakui juga bahwa kemampuan ekonomi
pesantren masih bersifat tradisional, kecil, dan mayoritas pada sektor
pertanian tradisional.
Pesantren tidak hanya mendidik
ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, namun juga memberikan skills untuk
mengembangkan ekonomi, khususnya dalam bertani, beternak dan berdagang
melalui koperasi pesantren.
Dengan begitu, selepas dari
pesantren para santri dapat hidup mandiri dengan bertani, beternak, atau
menjadi pedagang kecil. Melihat peluang tersebut, ikhtiar untuk mengembalikan
khitah pesantren sebagai aset sosial yang berfungsi ganda sebagai lembaga
pencetak ulama dan instrumen transformasi sosial harus direvitalisasi.
Salah satu caranya adalah
menumbuhkan pesantren sebagai kekuatan ekonomi yang berdaya guna sebagai
motor penggerak kesejahteraan masyarakat. Seiring pula dengan perkembangan
zaman, sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya dengan memperluas
basis ekonominya melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi produksi.
Muktamar NU ke-33 yang dihelat di
Jombang pada 1–5 Agustus 2015 adalah saat terbaik untuk memfokuskan wahana
politik kebangsaan NU pada upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi
umat.
Pengorganisasian kembali kekuatan
nahdliyin merupakan peluang untuk mencapai kemandirian. Tegaknya kemandirian
ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perekonomian pesantren-pesantren
NU.
Dengan berbasis pesantren, gerakan
NU di bidang ekonomi akan mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai
integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh.
Dengan kokohnya pilar kemandirian
ekonomi dan moralitas spiritual, NU dan bangsa Indonesia bisa menjadi
pengimbang derasnya liberalisasi ekonomi dunia. Insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar