50 Tahun Studi G30S 1965
Asvi Warman Adam ;
Sejarawan LIPI
|
KOMPAS,
30 September 2015
Setelah meletus
Gerakan 30 September 1965, sampai sekarang telah diterbitkan ribuan tulisan
serta banyak film dan program televisi. Dari perspektif historiografi yang
menonjolkan HAM, gelombang pengkajian itu dapat dibagi atas lima episode.
Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase
berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang
Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan.
Pada episode ketiga,
korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998.
Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September
(G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode
kelima ditandai dengan pemutaran film Jagal (2012) dan Senyap (2014), yakni
ketika para pelaku mulai berterus terang.
Lima narasi, lima aspek
Pada episode pertama,
yang diperdebatkan siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa
ini 40 Hari Kegagalan ”G30S”, 1
Oktober-10 November 1965. Bukut ini terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa
Jenderal Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas
Indonesia (UI).
Walaupun belum
menggunakan label ”G30S/PKI”, buku ini sudah menyinggung keterlibatan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam
percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan yang berbeda diajukan
ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan AD.
Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Cornell Paper”, terungkap
keberadaannya lewat Washington Post edisi 5 Maret 1966.
Tahun 1967, Guy Pauker
dari Rand Corporation yang dianggap
dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang
keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan.
Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh,
seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), untuk
melakukan penulisan di AS.
Dengan bantuan Guy
Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil membuat buku The Coup Attempt of September 30 Movement
in Indonesia. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia
(IAHA) di Kuala Lumpur tahun 1968. Prestasi besar ini menyebabkan Pusat
Sejarah ABRI mendapat tempat yang luas di bekas kediaman Dewi Soekarno di
Wisma Yaso, yang kemudian menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto,
Jakarta. Bahkan, kelak, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menjadi menteri.
Dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap
Heru Atmojo yang melampirkan visum et
repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat
terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan
bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal. Episode kedua narasi
G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto
melalui penerbitan buku Sejarah
Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim
Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI
yang disutradarai Arifin C Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar
televisi setiap malam tanggal 30 September.
Sejak 1967 dilakukan
desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Berhentinya Soeharto sebagai presiden
Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah
lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya 1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Persatuan Purnawirawan AURI
juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.
Episode keempat narasi
G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, Dalih
Pembunuhan Massal, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta
1965, kini fokusnya beralih:
siapa dalang
pembantaian 1965. Roosa dalam bukunya yang kini bisa diunduh di internet
menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal. Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode
kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku
bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di
mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar
2014.
Gambaran secara hidup
pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi
narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014 film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bila diperhatikan, karya yang
beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S
itu mencakup lima aspek.
Pertama, peristiwa
yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal
setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga, pembuangan
paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.
Bila ketiga hal itu
lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan
mental, yakni, keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia
yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan
diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi
Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan
anggota ABRI.
Rekonsiliasi nasional
Selama 50 tahun studi
G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris,
Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para
peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang,
dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Areal
kajian tak saja mencakup Jawa dan Sumatera, tetapi sudah meluas sampai
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kemajuan kajian
mengenai G30S 1965 semoga membantu terciptanya rekonsiliasi nasional seperti
diamanatkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan, Agustus 2015. Sebelum
tercapai rekonsiliasi, tentu perlu pengungkapan kebenaran yang akan terbantu
oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini. ●
|