Titik Balik Jokowi
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
14 Juli 2015
Pertengahan Juni 2015, Presiden
Joko Widodo menunjukkan sikap berseberangan dengan kehendak mayoritas
kekuatan politik di DPR. Diawali dengan menolak rencana revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sikap Presiden
berlanjut dengan menolak usulan dana aspirasi pembangunan daerah pemilihan.
Mengikuti perkembangan sejak
dilantik sebagai presiden (20/10/2014), kedua sikap tersebut kontras dengan
sebelumnya. Selain berani menyatakan "tidak" secara terbuka, Jokowi
seperti mulai menemukan bagaimana memosisikan diri dalam desain sistem pemerintahan
presidensial. Menurut Richard Neustadt (1960), posisi presiden merupakan
episentrum di antara semua lembaga negara.
Redupnya posisi presiden dalam
sistem presidensial, dapat dilacak dari sikap Jokowi menghadapi hantaman
bertubi-tubi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam ujian untuk
membuktikan dukungan ke KPK ini, Jokowi tidak memberikan respons memadai
("Enam Bulan yang Hambar", Kompas, 20/4).
Pasca menetapkan Budi Gunawan
sebagai tersangka, KPK dibiarkan porak poranda. Jokowi tidak hanya gagal memaknai
dan memenuhi janji penegakan hukum dalam Nawacita, tetapi juga seperti tidak
memiliki imajinasi desain besar pemberantasan korupsi. Jika memang hendak
mewujudkan Nawacita, harusnya semua langkah darurat diambil demi
menyelamatkan KPK .
Di tengah keraguan, kini Jokowi
menolak dua proposal yang diajukan DPR, yaitu revisi UU No 30/2002 dan dana
aspirasi. Pertanyaannya kemudian: Inikah titik balik presiden dalam membangun
pola relasi dengan DPR? Apakah sikap tersebut sekaligus menjadi titik balik
Jokowi di tengah bangunan posisi presiden dalam sistem presidensial?
Rangkaian pertanyaan tersebut
tidak hanya penting, tetapi juga menjadi titik pembuktian Jokowi. Meski kedua
proposal DPR ditolak presiden, kekuatan politik di Senayan masih dalam posisi
hendak meneruskan. Tak hanya itu, indikasi titik balik Jokowi juga menunggu
bukti di tengah rencana perombakan kabinet.
Kemampuan
bertahan
Kesepakatan Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR (16/6) merugikan
posisi Jokowi. Meskipun menegaskan bahwa usul revisi berasal dari DPR,
pernyataan "pemerintah tidak dapat menolak usulan DPR" menjadi
beban bagi Jokowi. Padahal, janji dalam Nawacita menyatakan akan mendukung
penguatan institusi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan pendanaan.
Sebaliknya, pihak yang concern terhadap KPK dan agenda
pemberantasan korupsi sadar betul bahwa sejumlah wewenang khusus KPK berada
dalam ancaman. Padahal, sejak Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015
disepakati pemerintah dan DPR, kekhawatiran penggerogotan wewenang KPK agak
mereda karena revisi UU No 30/2002 tidak masuk prioritas pembahasan 2015.
Namun, kesepakatan memasukkan sebagai salah satu prioritas di luar Prolegnas,
menjadikan masa depan KPK sebagai taruhan.
Padahal, merujuk Pasal 23 Ayat (2)
UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011),
presiden dan/atau DPR memiliki ruang mengajukan RUU di luar Prolegnas dengan
kondisi sangat ketat: untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau
bencana alam. Kondisi kedua, keadaan tertentu lainnya, memastikan adanya
urgensi nasional terhadap suatu RUU.
Melihat alasan yang memungkinkan
adanya rencana di luar Prolegnas, sikap Jokowi menolak revisi UU No 30/2002
sangat tepat. Namun, seandainya pembahasan tetap berlanjut, presiden memiliki
posisi konstitusional amat kuat untuk menolak. Otoritas penolakan dapat
digunakan bila presiden konsisten menolak maunya DPR merevisi UU itu.
Modal konstitusional presiden
untuk bertahan diberikan oleh Pasal 20 Ayat (2) dan (2) UUD 1945. Dalam hal
ini, menteri yang mewakili presiden bisa secara terbuka menyatakan penolakan
saat pembahasan dan persetujuan di DPR. Mengikuti logika Pasal 20 Ayat (2)
dan (3) tersebut, jika salah satu pihak yang ikut dalam pembahasan bersama
menyatakan menolak, maka persetujuan tidak terjadi. Ketentuan tersebut
menyediakan ruang bertahan yang sangat kuat bagi Jokowi.
Begitu pula dengan dana aspirasi,
sikap DPR mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan dapat dikatakan
menyimpang dari esensi DPR sebagai pemegang kuasa legislatif. Ketika DPR
masuk ranah teknis penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan ranah
kekuasaan eksekutif, DPR sedang meninggalkan karakter dasarnya dalam proses
persetujuan RAPBN.
Jika dikaitkan dengan dasar
yuridis konstitusional Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, sikap DPR dapat
dikategorikan menyandera kewenangan pengajuan RAPBN yang menjadi kekuasaan
presiden. Ihwal ini, Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, rancangan undang-undang
APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memerhatikan
pertimbangan DPD. Karena hanya bisa diajukan oleh presiden, legislasi RUU
APBN diatur terpisah dalam Pasal 20 UUD 1945. Argumentasi konstitusional ini
makin kuat bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-XI/2013.
Catatan lain, daerah pemilihan
(dapil) bukanlah basis perencanaan pembangunan, melainkan basis perwakilan
sebagai wujud sistem proporsional dalam pemilu anggota DPR dan DPRD. Artinya,
dapil merupakan basis penentuan batas keterwakilan sekaligus penyampaian
aspirasi rakyat. Karena itu, dapil tak dapat dijadikan alasan membagi dana
aspirasi. Artinya, meski UU No 17/2014 juncto 42/2014 (UU MD3) menyatakan
bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan juga memperjuangkan program
pembangunan dapil, namun ini tidak harus berbentuk dana aspirasi.
Sekiranya anggota DPR masih tetap
bersikeras, berdasarkan konstruksi yuridis konstitusional Pasal 23 Ayat (2)
UUD 1945, pemerintah dapat saja tidak memasukkan usulan dana aspirasi dalam
bagian RAPBN yang akan diajukan ke DPR. Sebagaimana halnya dengan revisi UU
No 30/2002, bila tetap tidak dapat menghindar dari pengajuan, pemerintah
masih dapat menggunakan wewenang konstitusional lainnya, yaitu menolak
membahas usulan dana aspirasi dalam tahap pembahasan dan persetujuan dengan
DPR. Bahkan, jika terjadi perbedaan tajam sehingga persetujuan bersama DPR
tidak dicapai, berdasarkan Pasal 23 Ayat (3) UUD 1945 Presiden menjalankan
APBN 2015.
Perombakan
kabinet
Pembuktian lain adanya titik balik
pada Presiden Jokowi tidak hanya dapat dilacak dari pola relasi dengan DPR di
atas, tetapi dalam rencana perombakan kabinet mendatang. Sebagai pemegang
kuasa tertinggi pemerintahan, dalam proses pengisian anggota kabinet di awal
berkuasa, sepertinya Jokowi tidak dapat memenuhi esensi hak prerogatif
presiden dalam mengangkat menteri negara. Saat itu, Jokowi lebih banyak
terbelenggu oleh ketua partai politik di balik pencalonannya.
Melihat realitas politik, Jokowi
tidak mungkin bebas 100 persen menentukan menteri dan meninggalkan peran
(ketua) partai politik. Namun, menjaga hak prerogatif, Jokowi harus menjadi
orang yang paling menentukan. Artinya, (ketua) partai politik mengusulkan
sejumlah nama, tetapi nama final ditentukan presiden. Bahkan, jika Jokowi
tidak berkenan dengan nama-nama yang diusulkan, ia dapat meminta usulan nama
baru bahkan menentukan sendiri sepanjang dari partai politik yang memiliki
kuota.
Sebagai konsekuensi dari sistem
presidensial, wewenang presiden dalam memilih anggota kabinet tidak boleh
digerogoti berlebihan. Tidak hanya menentukan anggota kabinet, presiden harus
pula mampu mencegah agar partai politik tidak ikut-ikutan menentukan
kementerian mana yang akan diisi kader mereka. Penentuan kementerian dan sosok
menteri adalah kuasa presiden dan hanya bisa dibagi dengan wakil presiden.
Bagi masyarakat, proses pengisian
kabinet (termasuk dalam perombakan kabinet) merupakan wahana untuk
mendengarkan argumentasi presiden dalam memilih anggota kabinet. Di luar pertimbangan
politik, Jokowi perlu menjelaskan pada rakyat, mengapa mengganti dan
mengangkat sosok tertentu menjadi menteri, termasuk (nantinya) mengapa
memutuskan merombak kabinetnya.
Inilah titik penting untuk menilai
kapasitas Jokowi dalam menghela amanat rakyat ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar