Namaku Bahasa Indonesia
Ali Kusno ; Pengkaji Bahasa di Kantor Bahasa Provinsi
Kalimantan Timur
|
JAWA
POS, 23 Oktober 2015
HAMPIR setiap
orang di negeri ini menggunakanku. Sayang, hanya sebagian kecil dari kalian
yang paham siapa aku. Mungkin hanya sastrawan, jurnalis, linguis, dan
kalangan pendidikan yang mencoba mengenalku dengan lebih baik.
Bahasa
Indonesia, itu namaku. Aku lahir dan besar seiring sejarah panjang negeri
ini. Aku lahir dari semangat para pemuda mempersatukan bangsa. Tekad Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 menobatkanku sebagai bahasa persatuan.
Mempersatukan
saudara-saudaraku, bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Dayak, bahasa Banjar,
dan ratusan bahasa daerah yang lain. Mempersatukan bangsa yang beribu pulau.
Itu sebuah kepercayaan sekaligus kehormatan.
Namaku bahasa Indonesia, bahasa
perjuangan. Aku hadir dalam setiap komando melawan penjajah. Aku bangga
menjadi bahasa perjuangan Bung Tomo, memekikkan semangat arek-arek Surabaya
pada 10 November 1945.
”... Kita,
bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini, akan menerima tantangan tentara
Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin
mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh
pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya...”
Aku pun bangga
dipercaya pemimpin besar, Ir Soekarno, menggunakanku sebagai bahasa teks
proklamasi. Kalian mungkin tidak tahu betapa terharunya aku.
Namaku bahasa
Indonesia, bahasa aspirasi. Pada masa pembangunan, aku menjadi bahasa suara
ketimpangan dan ketidakadilan. Aku begitu sederhana dan mudah dipahami siapa
saja, termasuk para pemangku kebijakan bangsa ini. Mereka pasti tahu, kecuali
pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Namaku bahasa
Indonesia, bahasa kerukunan. Aku bangga menjadi sarana menyampaikan
pesan-pesan agama, mengajak kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Akulah jembatan perbedaan. Menghindari kesalahpahaman dan permusuhan. Akulah
sarana penyampai pesan kasih sayang. Dengan kasih sayang kita simpan bedil
dan kelewang Punahlah gairah pada darah (W.S. Rendra)
Namaku bahasa
Indonesia. Katanya aku dibutuhkan, namun faktanya malah terabaikan. Tinggal
menghitung hari usia 87 tahun. Tak terhitung pengorbanan yang kuberikan. Tak
terkira lelah yang kuderita. Terus menjaga bangsa ini dalam satu dekapan.
Tapi
kenyataannya, ya begitulah. Sebenarnya aku tidak ingin berkeluh kesah.
Mungkin hiruk pikuk kehidupan kalian membuatku pantas terabaikan. Luangkan
sejenak waktu kalian untuk mendengarkan kegetiran yang kurasakan agar kalian
tersadar dan tersulut semangat para pemuda yang dulu melahirkanku.
Aku cukup
senang, sebagian kecil dari kalian telah berupaya melestarikan dan
mengembangkanku. Bulan ini Bulan Bahasa. Meski tak sesemarak Agustusan. Tapi,
setidaknya sekolah, kampus, dan balai bahasa mengadakan beragam kegiatan.
Pemilihan putra-putri duta bahasa, lomba baca dan musikalisasi puisi, lomba
menulis esai, lomba menulis cerpen, lomba mendongeng, serta aneka lomba lain.
Terima kasih sudah mencoba membuatku riang.
Sekadar kalian
tahu, segalanya sudah kucurahkan untuk bangsa ini. Sedang apa balasan kalian?
Politisi hitam memperalatku, menyuarakan kepentingan sesaat atas nama rakyat.
Para mafia
hukum menyusun pasal-pasal ambigu yang sarat kepentingan. Pemangku kebijakan
yang tidak amanah lihai memainkan gaya bahasa membuai harapan.
Rasanya, aku
begitu kotor. Kalian gunakan aku untuk menghina dan menghujat. Hinaan dan
hujatan bertebarandalamorasi-orasijalanan, di televisi, dan di ruang dewan
yang katanya terhormat. Bahkan, seorang presiden pun tak luput dari hinaan
dan hujatan kalian. Kesantunan tutur kian hancur. Tidakkah kalian sadari,
anak-cucu kalian meniru yang kalian pertontonkan.
Kalian tentu
tak ingin diabaikan, terlebih diduakan. Namun, entah sadar atau tidak, kalian
telah berlaku demikian. Bahasa Inggris kalian bangga-banggakan.
Jalanan,
perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan penuh sesak kata-kata yang
sebagian besar kalian tidak mengerti. Mungkin aku kalah gengsi. Kini kalian
benar-benar asing di negeri sendiri. Aku pun terima itu semua meski
menyesakkan.
Lagi-lagi aku
harus menambah arti kesabaran. Kewajiban pekerja asing mengerti aku kini
tinggal kenangan. Demi kepentingan investasi, aku pun harus merelakan.
Para pekerja
asing itu tidak perlu mengerti aku. Mereka tidak perlu bisa membahasakanku.
Namun, kalian tidak menyadari bahwa mengerti dan memahamiku salah satu jalan
mengerti bangsa ini. Yah, sudahlah.
Tidakkah
kalian malu pada bangsa lain? Apakah perlu bangsa lain menyadarkan arti
diriku? Apakah aku harus senasib seperti wayang kulit, reog, tari pendet, dan
batik? Saat hendak diakui bangsa lain, baru kalian pedulikan.
Bahkan, Bapak
Bangsa Singapura Lee Kuan Yew pun salut kepadaku. Baginya, keutuhan bangsa
ini berkat peranku. Sebagai warisan para pendiri bangsa, aku sangat sentral
menjaga keutuhan bangsa. Seandainya aku sirna, lalu dengan apa lagi bangsa
ini kalian persatukan?
Namaku bahasa Indonesia. Aku
telah menemani perjalanan panjang bangsa ini. Namaku bahasa Indonesia. Rasa
cintaku pada bangsa ini tidak perlu kalian ragukan lagi. Namamu bangsa
Indonesia, bagaimana perasaanmu terhadapku? ●
|