Tradisi
dan Kesadaran Jean Couteau |
KOMPAS, 30 Oktober 2022
Kebudayaan
Bali telah lama bermasalah dengan modernitas. Politik tentunya berperan dalam
hal ini: sejak awal Orde Baru, pengungkapan ”tradisi yang luhur” yang
dikedepankan, sedangkan tematika ”penderitaan rakyat” dibungkam. Kemudian
pemilihan pariwisata sebagai landasan pembangunan ekonomi mempertegas lagi
pilihan politik ini. Apabila ditambah dengan kenyataan bahwa kebudayaan
tradisional Bali sangat visual, dan amat dikagumi karena itu oleh orang luar,
tidak mengherankan jika acuan pada kekinian dihindari. Istilah-istilah
seperti ”tradisi”, ”budaya”, ”harmoni antara manusia dan alam” terus
bermunculan dalam wacana umum. Seolah-olah Bali adalah dunia lain yang
ditakdirkan berada di luar ketegangan dan pertarungan dunia real. Seni
tentunya disertakan di dalam konstruksi wajah ”ideal” ini. Seni perdesaan
didukung pelestariannya sebagai norma, sedangkan ragam seni baru ”wajib”
mengacu secara formal dan tematis pada warisan lama, alih-alihnya modernitas
seakan-akan belum menyentuh Pulau Bali. Pendeknya, ”ideologi tradisi”
sedemikian menguasai benak orang sehingga wacana kritik/transformatif tak
diberikan ruang yang berarti! Sementara
itu, realitas berbicara senyatanya melalui ekonomi pariwisata yang
mentransformasi dunia real. Wajah fisik pulau berubah, urbanisasi merambah
jalan-jalan, toko, warung dan ruko menutup sawah; lalu lintas kian liar tanpa
menggubris transportasi umum memadati ruas jalan yang mengecil. Kondisi orang
pun berubah: kaum perempuan kian otonom, pendatang terus berdatangan, tanah
dikuasai pemilik baru… dan seterusnya. Jadi,
jeda antara norma yang tradisional dan realitas yang modern semakin meluas.
Namun, kuasa ideologi ”tradisi” tak berkurang, hal mana memacetkan setiap
langkah adaptatif, setiap upaya untuk memikirkan realitas secara rasional.
Orang yang ingin kritik secara mendalam hanya bisa bersuara menjadi
betul-betul pengkritik kalau berada di luar Bali. Kalau di Bali, kritiknya
tetap harus dirumuskan dalam bahasa tradisi, dengan acuan pada norma ideal
lama, yaitu norma tradisi. Jadinya macet, tak terlihat jalan keluar untuk
akal sehat. Tak mengherankan, lama-kelamaan sebagian dari kaum pengkritik
beralih sasaran. Karena tidak ditunjang kerangka pemikiran yang tepat, tidak pula
ditunjang kesenian yang betul-betul terbuka, pendatanglah menjadi sasaran
kritikannya. Gejala ini terutama terlihat di pers lokal. Jadi, ujung-ujungnya
pemujaan tradisi bergeser menjadi racun. Untunglah
tidak semua awan gelap di langit Bali ini. Secara paradoksal, pandemi
Covid-19 menjadi shock yang memaksakan orang, semua orang, untuk merenungkan
kembali hubungan manusia dengan alam. Dengan sendirinya, terbukalah ruang
pemikiran baru dan ruang kritikan baru. Perenungan itu tidak hanya melibatkan
orang Bali, tetapi juga orang luar, bahkan orang asing pun diminta
pertimbangan. Dibantu oleh media online, gagasan-gagasan anyar berseliweran,
menggerogoti wacana kaku ideologi tradisi, dan pada umumnya terhindarilah
fokalisasi kesalahan terhadap kaum pendatang. Paling
menarik, udara baru tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari
pemerintah daerah. Pejabat baru merangkul kebijakan baru. Kata kunci
”tradisi” menghilang atau dilengkapi oleh referensi pada kekinian. Bahkan,
salah satu festival yang baru-baru ini merayakan pemulihan situasi normal
setelah Covid-19 disebut ”Festival Seni Bali Jani”, artinya ”Seni Bali Masa
Kini”. Acuannya
pada kekinian bukan hanya formal. Salah satu karya yang paling menarik yang
muncul pada Festival Seni Bali Jani itu adalah pementasan teater monolog
”Drupadi”. Nama Drupadi terkenal, kan? Dia adalah tokoh Mahabharata yang
menjadi istri kelima Pandawa sekaligus. Namun, apakah pementasan ”Drupadi”
merayakan keluhuran nilai-nilai Mahabharata seperti lazim dilakukan selama ini?
Tidak! Ia
sebaliknya mengajak kita untuk mengkritik landasan patriarki karya besar itu.
Versi ”Drupadi” ini merupakan suatu monolog yang melantunkan keluh kesah
tokoh Drupadi sebagai perempuan. Dia mengeluhkan ketak-kuasaannya hadir
sebagai ”subyek” penuh dari kehidupannya sendiri ”apa karena aku perempuan”. Menarik,
kan? Apalagi dipentaskan dengan apik di dalam suasana mistis lintas waktu.
Siapa penulis naskah dan sutradaranya? Apakah seorang perempuan? Tidak! Dia
seorang lelaki Bali bernama: Putu Fajar Arcana. Sebagai lelaki, dia tidak
mengeluh tentang nasib kaumnya, tetapi menyadari nasib kaum lainnya, yaitu
kaum perempuan. Putu
banyak menyerap sistem nilai dan kedalaman estetika di luar Bali dan oleh
sebab itu ia berpikiran dinamis serta lebih terbuka dibandingkan mereka yang
menetap di Bali. Perluasan
kesadaran memang inti dari kebudayaan dan itu bukanlah tradisi. Semoga jalan
kesadaran itu teruslah ditempuh oleh semua lapis masyarakat, hidup fajar
tradisi baru! ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/tradisi-dan-kesadaran |