|
JAWA POS, 31 Mei 2013
SETIAP 31 Mei, warga
dunia memperingati Hari tanpa Tembakau Sedunia. Tahun ini Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menetapkan tema "Tolak iklan, promosi, dan sponsor rokok."
Banyak negara yang telah menetapkanTAPS
Ban (Tobacco advertising, promotion, sponsorship banning) untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada rakyatnya.
Upaya-upaya penerapan TAPS Ban di kawasan Asia Tenggara sejatinya telah dicanangkan ketika pada 2011 di Siem Reap Kamboja, digelar lokakarya regional terkait implementasi pasal 13 WHO-FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) tentang pelarangan iklan, promosi, dan pesponsoran rokok. Tidak dapat dihindari bahwa pada pertemuan tersebut Indonesia menjadi bahan gunjingan karena merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia yang belum meratifikasi FCTC.
Untuk itu, ada kesamaan hak yang ingin diperjuangkan di antara penduduk Indonesia dan penduduk Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Industri tembakau kita mengekspor rokok ke negara-negara tetangga tersebut dengan peringatan bahaya yang menayangkan gambar dampak rokok, yaitu gambar orang yang terkena kanker, supaya memberikan efek jera bagi perokok. Tetapi, rokok yang dijual di Indonesia justru hanya memunculkan pesan peringatan yang mudah diabaikan.
Di dalam negeri, iklan promosi rokok memang masih menjadi polemik. Saat ini legalitas yang berlaku di mata masyarakat pertembakauan dalam kaitannya dengan iklan rokok adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2009 yang menolak permohonan judicial review yang diajukan Komnas Perlindungan Anak (PA).
Saat itu Komnas PA meminta iklan rokok dilarang. Permohonan uji materiil tersebut terkait dengan pasal 46 ayat 3 huruf c UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan dasar hukum iklan rokok di Indonesia. Pasal itu berbunyi, "Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok." Klausul ini dianggap menjadi dasar hukum dibenarkannya menyiarkan iklan promosi rokok pada lembaga penyiaran walaupun dengan persyaratan tidak memperagakan wujud rokok.
Menurut pandangan Komnas PA, isi dan pesan iklan promosi rokok yang disiarkan melanggar hak konstitusional anak dan remaja mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, karena membenarkan adanya informasi yang tidak sehat dan merusak mental, pikiran, dan psikologis anak. Iklan rokok juga dinilai menjadi dorongan serta pengaruh kepada anak dan remaja untuk menjadi perokok. Karena itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 28A, 28B ayat 2, 28C ayat 1, dan pasal 28F UUD 1945.
Sebaliknya, dengan dalih hak konstitusional juga, MK berpendapat selama rokok masih dipandang sebagai produk legal, larangan iklan rokok melanggar HAM. Larangan iklan rokok melanggar hak konstitusi bagi setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Selain itu, rokok menjadi gantungan petani tembakau dan harus dilindungi haknya.
Sungguh ironis, hak anak dan remaja untuk mendapatkan informasi yang menyehatkan dibenturkan dengan hak perokok untuk menikmati informasi yang penuh "taste". Informasi tentang gaya hidup sehat yang mengakomodasi bahaya racun dalam rokok tereliminasi oleh informasi produk rokok -dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok- yang penuh simbol perilaku risk-taking yang jantan, kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis.
Hasil penelitian sebagaimana dilaporkan dalam US Surgeon General Report menunjukkan sebuah keprihatinan. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengapa iklan rokok sangat berpengaruh pada anak dan meningkatkan perokok baru di usia muda? Jawabannya adalah karena iklan rokok akan mendorong anak-anak dan remaja mencoba-coba merokok sehingga menjadi pengguna tetap, mendorong para perokok untuk meningkatkan konsumsi, mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok, mendorong mantan perokok untuk merokok kembali, dan menciptakan lingkungan bahwa merokok dianggap baik dan biasa.
Dengan diterbitkannya PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, tebersit harapan untuk memperjuangkan kesamaan hak terkait konsumerisme produk tembakau.
Kehadiran PP tersebut dipandang dapat mencegah meluasnya konsumsi rokok di lapisan masyarakat miskin, perempuan, dan anak-anak di Indonesia. Jangan sampai mereka yang sudah sulit mendapatkan uang, justru larut dan tergiur oleh iklan promosi rokok sehingga membelanjakannya untuk membeli barang "sembilan senti" tersebut. Akan lebih bijak bila dananya dibelikan makanan atau kebutuhan lain untuk kesejahteraan keluarga. ●
Upaya-upaya penerapan TAPS Ban di kawasan Asia Tenggara sejatinya telah dicanangkan ketika pada 2011 di Siem Reap Kamboja, digelar lokakarya regional terkait implementasi pasal 13 WHO-FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) tentang pelarangan iklan, promosi, dan pesponsoran rokok. Tidak dapat dihindari bahwa pada pertemuan tersebut Indonesia menjadi bahan gunjingan karena merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia yang belum meratifikasi FCTC.
Untuk itu, ada kesamaan hak yang ingin diperjuangkan di antara penduduk Indonesia dan penduduk Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Industri tembakau kita mengekspor rokok ke negara-negara tetangga tersebut dengan peringatan bahaya yang menayangkan gambar dampak rokok, yaitu gambar orang yang terkena kanker, supaya memberikan efek jera bagi perokok. Tetapi, rokok yang dijual di Indonesia justru hanya memunculkan pesan peringatan yang mudah diabaikan.
Di dalam negeri, iklan promosi rokok memang masih menjadi polemik. Saat ini legalitas yang berlaku di mata masyarakat pertembakauan dalam kaitannya dengan iklan rokok adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2009 yang menolak permohonan judicial review yang diajukan Komnas Perlindungan Anak (PA).
Saat itu Komnas PA meminta iklan rokok dilarang. Permohonan uji materiil tersebut terkait dengan pasal 46 ayat 3 huruf c UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan dasar hukum iklan rokok di Indonesia. Pasal itu berbunyi, "Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok." Klausul ini dianggap menjadi dasar hukum dibenarkannya menyiarkan iklan promosi rokok pada lembaga penyiaran walaupun dengan persyaratan tidak memperagakan wujud rokok.
Menurut pandangan Komnas PA, isi dan pesan iklan promosi rokok yang disiarkan melanggar hak konstitusional anak dan remaja mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, karena membenarkan adanya informasi yang tidak sehat dan merusak mental, pikiran, dan psikologis anak. Iklan rokok juga dinilai menjadi dorongan serta pengaruh kepada anak dan remaja untuk menjadi perokok. Karena itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 28A, 28B ayat 2, 28C ayat 1, dan pasal 28F UUD 1945.
Sebaliknya, dengan dalih hak konstitusional juga, MK berpendapat selama rokok masih dipandang sebagai produk legal, larangan iklan rokok melanggar HAM. Larangan iklan rokok melanggar hak konstitusi bagi setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Selain itu, rokok menjadi gantungan petani tembakau dan harus dilindungi haknya.
Sungguh ironis, hak anak dan remaja untuk mendapatkan informasi yang menyehatkan dibenturkan dengan hak perokok untuk menikmati informasi yang penuh "taste". Informasi tentang gaya hidup sehat yang mengakomodasi bahaya racun dalam rokok tereliminasi oleh informasi produk rokok -dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok- yang penuh simbol perilaku risk-taking yang jantan, kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis.
Hasil penelitian sebagaimana dilaporkan dalam US Surgeon General Report menunjukkan sebuah keprihatinan. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengapa iklan rokok sangat berpengaruh pada anak dan meningkatkan perokok baru di usia muda? Jawabannya adalah karena iklan rokok akan mendorong anak-anak dan remaja mencoba-coba merokok sehingga menjadi pengguna tetap, mendorong para perokok untuk meningkatkan konsumsi, mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok, mendorong mantan perokok untuk merokok kembali, dan menciptakan lingkungan bahwa merokok dianggap baik dan biasa.
Dengan diterbitkannya PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, tebersit harapan untuk memperjuangkan kesamaan hak terkait konsumerisme produk tembakau.
Kehadiran PP tersebut dipandang dapat mencegah meluasnya konsumsi rokok di lapisan masyarakat miskin, perempuan, dan anak-anak di Indonesia. Jangan sampai mereka yang sudah sulit mendapatkan uang, justru larut dan tergiur oleh iklan promosi rokok sehingga membelanjakannya untuk membeli barang "sembilan senti" tersebut. Akan lebih bijak bila dananya dibelikan makanan atau kebutuhan lain untuk kesejahteraan keluarga. ●