SETIAP kali kata optimisme hendak dupan kita
lukis di atas kanvas kehid bangsa, selalu saja menerjang badai pesimisme yang
menggentarkan. Perayaan Idul Fitri dan hari kemerdekaan Indonesia mestinya
memantulkan semangat optimisme jiwa pemenang. Namun, memburuknya perekonomian
dan kerentanan politik yang kita alami membuat cuaca kebatinan bangsa ini
diliputi kabut pesimisme.
Dalam situasi paradoks seperti itu, yang kita
perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta,
malainkan suatu optimisme yang fleksibel--optimisme dengan mata terbuka.Kita
harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan
realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih
akurat.Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan
yang akan membuat kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.
Pemikiran konvensional beranggapan bahwa
kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya.
Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong
pada kesuksesan.
Akan tetapi, optimisme harus berjejak pada
visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong.
Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan
warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi
masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas
transformatif kekuasaan, dengan mentalitas kepemimpinan yang siap
mengembangkan kerja sama dalam spirit pelayanan.
Pertama-tama diperlukan kejujuran untuk
menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan
adanya berbagai krisis yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa
bersikap tenang-tenang saja, seolaholah keadaan bangsa ini baik-baik saja,
tak ada masalah yang merisaukan.
Selain krisis perekonomian seperti ditandai
oleh merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya indeks saham gabungan, jatuhnya
harga komoditas andalan, menurunnya penerimaan pajak, serta ancaman pemutusan
hubungan kerja dalam skala masif, kita juga dihadapkan pada ancaman lima
macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik,
yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis
alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara
meninjau.Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang
mengancam kehidupan demokrasi hari ini. Bertahun-tahun pemerintahan
demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat dan darah.
Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi
kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan
hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi
dan wawasan perjuangan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika
seperti terpisahnya air dengan minyak.Adapun orang-orang yang menggenggam
otoritas justru saling bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.
Yang lebih buruk lagi, pada titik genting
krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara dan masyarakat politik
justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan
negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari
suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya
memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan
kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan
sosial.
Situasi inilah yang melahirkan krisis
kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan
penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar
bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke
lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik
tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas
rakyat.“ Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, “Berapa orangkah
dari alam pemimpin Indone sia sekarang ini yang masih benar-benar `rakyati'
seperti dulu, masih benar-benar `volks' seperti dulu?“
Dengan tercerabut dari lumpur kehidupan
rakyat, para penyelengara negara cenderung mengembankan sikap defensif untuk
melarikan diri tanggung jawab. Misalnya saja, kita mendengar ada pejabat yang
menyatakan bahwa jatuhnya nilai rupiah ialah baik bagi perekonomian nasional.
Lebih dari itu, ketika kita dihadapkan pada
berbagai pesoalan pelik yang menuntut semangat solidaritas dan tanggung jawab
bersama, kepedulian politik kita justru hanya berhenti pada persoalan
bagi-bagi kekuasaan. Kegaduhan politik terjadi hanya di sekitar persoalan
siapa, partai apa, mendapatkan apa. Bahkan belakangan, indikasi pertarungan
kepentingan pun mulai merobek kekompakan kabinet. Padahal dalam situasi
krisis seperti ini, mentalitas yang harus ditumbuhkan bukanlah ekerekeran
mempersoalkan pembagian kekuasaan, melainkan mentalitas gotong royong dalam
pembagian tanggung jawab.
Dalam kaitan itu, perlu disadari bahwa
demokrasi memang merupakan solusi terhadap tirani, tetapi tidak selalu
memberikan solusi yang segera terhadap masalah-masalah bangsa lainnya.
Berbeda dengan ledakan harapan banyak orang, pemerintahan demokratis justru
sering dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan yang sulit diatasi.
Oleh karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi
kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah
kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara
pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya. Suatu pemerintahan
demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama (lintas partai,
lintas golongan, lintas profesi); bukan mengundang pertikaian; sambil
mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional.
Untuk keluar dari krisis menuju politik
harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme,
apatisme, menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar Pada tahap pertama,
seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan
pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua,
untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain.
Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat
rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan,
para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam
situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta
kesediaan bekerja sama menerobos batasbatas politik lama. Kekuasaan digunakan
untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain
mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik
dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Politik sebagai ikhtiar merealisasikan harapan
kebahagiaan hanya bisa diwujudkan dengan bergotong royong mengembangkan
politik pelayanan. Usaha demokrasi membawa kebahagiaan bersama menuntut
penjelmaan `negara-pelayan' yang bersumber pada empat jenis responsibilitas:
perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan.
Negara memiliki legitimasi sejauh melindungi
warganya dari bahaya karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan
saja bagi kehidupan, melainkan juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti,
negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti
Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya ialah negara demokrasi stabil yang
mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.
Legitimasi kedua ialah responsibilitas negara
untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilita asi
kesejahteraan sangat penting. Seperrti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di
sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat
tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan
pemerintahan.
Legitimasi ketiga ialah kemampuan negara
mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital bagi kelangsungan
komunitas bangsa. Tidak ada perbantahan antara rezim demokratis dan
nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi
Kebudayaannya meyakini, “Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya
sejauh ada pengetahuan.“
Legitimasi pamungkas ialah kemampuan negara
menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan
binatang ialah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang
memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan
dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital bagi resolusi konflik dalam
masyarakat multikultur.
Pemenuhan keempat basis legitimasi
negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga
negara.Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan
negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan
bersama masih teramat panjang. Namun, dengan menggali lapis demi lapis
lintasan sejarah perjuangan bangsa akan kita temukan bahwa warisan terbaik
para pendiri bangsa ialah `politik harapan' (politics of hope), bukan
`politik ketakutan' (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang
harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan
harapan, kita kehilangan indentitas sebagai bangsa Indonesia.
Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak
tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.
Indonesia boleh jadi satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut negerinya
dengan `tanah air'. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama
masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan. ●
|