Ancaman Bangsa
Tunasejarah
Samsudin Adlawi ; Wartawan Jawa
Pos, menerbitkan dua buku puisi,
Jaran
Goyang (2009) dan Haiku Sunrise of Java (2011)
|
JAWA
POS, 31 Oktober 2012
SEJARAH
membuktikan, kemerdekaan negara ini bukanlah hadiah, melainkan berkat
perjuangan yang gigih melawan penjajah. Tak terhitung nyawa pejuang yang
melayang. Tak terhitung harta benda yang hilang. Sejarah juga membuktikan,
kemerdekaan negara ini diraih berkat persatuan dan kesatuan seluruh anak
negeri. Egoisme kesukuan, etnis, faksi, kelompok, dan organisasi
ditanggalkan. Lebur menjadi satu bangsa. Bangsa Indonesia yang ingin lepas
dari penjajahan.
Dalam mengisi kemerdekaan yang baru diraihnya, seperti tertulis dalam sejarah, bangsa ini terus memelihara persatuan dan kesatuan. Dua "azimat" itu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari lewat semangat gotong royong dan toleransi. Namun, seiring dengan pertumbuhan negara ini, "kebersamaan dalam perbedaan" itu perlahan mulai luntur. Hidup rukun dan saling membantu antar penduduk yang beda suku, agama, ras, dan golongan kini mulai tergerus oleh virus intoleransi. Yang terjadi sekarang, masyarakat lebih mendahulukan otot daripada akal, apalagi etika dan logika. Sumbu emosi masyarakat yang dulu panjang dan bercabang-cabang saat ini berubah menjadi sangat pendek. Karena itu, sedikit saja terkena percikan, langsung meledak. Begitulah yang terjadi saat ini. Perselisihan yang berakibat kerusuhan pecah hampir setiap hari. Hanya gara-gara SMS (short message service) dan BBM (BlackBerry Messenger) gelap, masyarakat jadi kalap. Itulah yang terjadi di Mataram, NTB (Nusa Tenggara Barat), beberapa hari lalu. Gara-gara beredar secara berantai SMS dan BBM berisi tentang penculikan anak, masyarakat melakukan sweeping terhadap orang asing (non penduduk setempat). Yang diketahui mencurigakan langsung dihakimi oleh massa. Tercatat, dua orang meninggal dalam peristiwa yang menggemparkan NTB itu. Terbaru, tujuh orang tewas dalam bentrokan antarkampung di Lampung (29/10). Peristiwa yang terjadi di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, tersebut dipicu persoalan sepele juga. Yakni, menurut versi polisi, gadis yang jatuh dari motor lalu ditolong pemuda. Kemudian, beredar cepat informasi simpang siur hingga pecah bentrokan antarkampung. Kejadian itu setidaknya mengakibatkan tiga nyawa melayang, juga membuat enam orang lain menderita luka berat. Yang memprihatinkan, tindakan anarkistis juga menular ke kalangan mahasiswa, bahkan pelajar. Tawuran mahasiswa di Makassar pertengahan Oktober lalu mengakibatkan dua mahasiswa tewas. Tewasnya dua mahasiswa perguruan tinggi di Makassar itu merupakan klimaks dari peristiwa tawuran yang sering terjadi di sejumlah kampus di Makassar. Sebelumnya, Agustus sampai September, tercatat lima siswa tewas dalam tawuran antar pelajar di Jakarta. Tewasnya lima generasi penerus bangsa hanya dalam waktu dua bulan dalam tawuran tersebut tidak bisa dianggap sebagai fenomena biasa. Sebaliknya, dijadikan momentum untuk memulai introspeksi. Ada apa sebenarnya dengan bangsa ini? Kenapa aksi kekerasan terus saja terjadi. Bahkan, makin menjadi-jadi. Tidak hanya melibatkan masyarakat, tapi juga pelajar dan mahasiswa. Sementara itu, aksi kekerasan itu sendiri kini tidak melulu terjadi di tengah masyarakat lewat aksi kekerasan fisik. Tapi, juga menjalar di gedung parlemen serta panggung lain, misalnya televisi. Hampir setiap hari kita disuguhi kekerasan verbal yang dipertontonkan oleh politisi. Baik yang duduk di kursi DPR maupun yang berada di luar panggung Senayan. Dalam diskusi, politisi tidak hanya mendebat, tapi juga "menyerang" pendapat lawan diskusinya. Tentu saja kondisi itu tidak bisa dibiarkan. Seperti halnya dengan percikan api, kalau dibiarkan akan menjadi bara. Tentu saja kita tidak ingin rentetan aksi kekerasan dan kerusuhan akhir-akhir ini berubah menjadi petaka bagi negara ini. Sebelum benar-benar menjadi petaka, bibit-bibit api yang mulai menyala harus segera dipadamkan. Salah satu cara untuk memadamkannya adalah kembali membuka dan membaca sejarah. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa negara ini dibangun dengan landasan nilai-nilai yang luhur. Nilai yang menjunjung tinggi sikap toleransi alias tepa selira serta kebersamaan alias kesatuan dan persatuan. Saya yakin seyakin-yakinnya, kita semua tidak ingin menjadi bangsa yang tunasejarah. Sebab, tunasejarah akan mengancam eksistensi sebuah negara. Mari mengenang masa romantis dan harmonis bangsa kita agar kita bisa menepis segala prasangka keseharian yang kian menghebat lewat aneka jalur komunikasi. ● |