Konspirasi
Geng Berdasi
Sunardi ;
Doktor Ilmu Hukum PPS
Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis buku ‘Supremasi Mafioso dan Kejahatan
Terorisme’
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2014
FAKTA memprihatinkan
bahwa kita sudah demikian sering jadi objek konspirasi para pencoleng (geng)
berdasi yang mengumbar keserakahan melalui jaringan kejahatan terorganisasi
mereka. Uang negara sudah tak terhitung banyaknya mengalir ke kantong-kantong
atau pundi-pundi segelintir atau kelompok (geng) orang yang bernafsu menjadi
orang kaya baru (OKB), orang kaya berkelanjutan dan berkeabadian (OKBB), atau
orang kaya mendadak (OKM).
Dari pintu Nazaruddin,
mulai Angelina, Andi Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum sudah terseret.
Dari Akil Mochtar, ada banyak pihak yang harus memenuhi panggilan KPK
(seperti Gubernur Jatim), dan dari Tubagus (suami Airin), mungkin banyak
anggota dewan yang diperiksa KPK. Meski ada banyak pihak yang berkedudukan
sebagai terperiksa, akan tetapi mereka tetaplah geng berdasi yang piawai
dalam menjalankan konspirasi. Teoriteori hukum tidak cukup ampuh untuk
mendekonstruksinya.
Dalam ranah itu, teori
hukum seperti pisau tajam, tapi tumpul saat digunakan mengasah dan membelah.
Teori hukum seolah mampu menembus batas kelas sosial, ekonomi, politik, dan
edukasi, saat diduga ada di antara pelaku ‘berkelas’ itu yang menjadi
pencoleng elite. Sayangnya, elite kriminal itu masih lebih sering menjadi
pemenangnya. Komunitas pencoleng elite ini tetap saja lebih lihai dan
‘kreatif’ dalam menumpulkan kesakralan teori hukum.
Teori keadilan
Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean
ethics, dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya, A Theory of Justice , menegaskan bahwa
keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan, dan keadilan harus
di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia.
Keadilan tak boleh dilecehkan dan direndahkan derajatnya oleh para pelanggar
moral dan hukum.
Apa yang disampaikan
Aristoteles dan John Rawl tersebut menunjukkan bahwa keadilan harus
ditegakkan dalam keadaan apa pun dan kepada siapa pun. Keadilan tak mengenal
kasta, tidak memihak status sosial, apalagi memenangkan yang berpangkat. Yang
benarlah yang wajib dimenangkan atau yang sejalan dengan hukumlah yang harus
ditegakkan.
Dalam realitas, memang
tidak selalu yang benar yang menjadi pemenang atau dimenangkan oleh kinerja
elemen peradilan. Praktik hukum tidak selalu mengabdi kepada kebenaran dan
keadilan hukum. Tidak jarang kebenaran dan keadilan hukum dikalahkan oleh
kepentingan elitis politik dan ekonomi. Kebenaran hukum, yang idealnya
mengantarkan pada terwujudnya wajah cantik keadilan, tidak mudah berlabuh
(membumi). Tidak sedikit duri yang menghambat dan ‘menjegal’ kebenaran hukum,
dan sebaliknya sangat banyak kekuatan pencoleng elite atau penjahat di ranah
kejahatan berdasi yang mampu mencabik-cabik konstruksi sistem hukum dan moral
para penegaknya.
Salah satu modus
operandi yang dijalankan pencoleng berdasi itu ialah menciptakan atmosfer
politik yang mampu menghadirkan terjadinya dan menguatnya amnesia di tengah
masyarakat Penyakit amnesia ini bukan hanya menyerang dan mengidap kuat di
dalam ingatan kaum selebritas politik dan pejabat negara, serta elemen
penegak hukum, tetapi juga menyerang ingatan orang kecil atau golongan akar
rumput.
Di suatu saat, kita
dibawa pada opini publik tentang kasus yang sedang menimpa seseorang, geng
elitis, atau korporasi berpengaruh, tapi kasus-kasus ini tidak terlalu lama
mendiami wacana karena adanya kasus baru yang lebih aktual, yang nilai jual
publisitasnya lebih tinggi atau komoditas gosip politiknya dapat lebih cepat
dan dahsyat dalam memengaruhi dan membelokkan orientasi publik.
Sudah berjumlah-jumlah
pendosa atau pelaku kejahatan istimewa berkategori extraordinary crime seperti korupsi dan sadisme global semacam
‘penjagalan nyawa manusia’ Indonesia di negara lain, tapi ingatan kita yang
semula terfokus ini serta-merta buyar akibat ‘dilindas’ oleh kehadiran
kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan kontemporer dan konflik-konflik
(kriminalisasi) politik baru yang didesain oleh rezim atau para pemain
kekuasaan.
Oleh geng pencoleng
berdasi itu, masyarakat negeri ini dibuat lebih bergairah dalam menyukai
kasus yang bersifat sensasional dan news, meski kondisi ini potensial
melemahkan atau mendistorsi daya nalar dan ingatnya. Akibatnya, kasus lama
dianggap sekadar sebagai bagian dari ‘ujian’ dan ‘kerikil’ yang mesti ia
alami dan tidak harus diingatnya terusmenerus, di samping dalih lainnya,
bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu dimungkinkan bisa menimpa setiap
orang, masyarakat, dan bangsa mana pun di muka bumi.
Masyarakat
dikondisikan oleh paradigma politik hukum rekayasa secara sistemis dan
eskalatif supaya gampang sekali melupakan suatu peristiwa besar atau tragedi
di jagat yuridis. Pikiran kita diaduk-aduk dan dibentuk supaya mengidap
amnesia akut terhadap segala bentuk praktik pencolengan berdasi yang sudah
berhasil menjarah kekayaan negeri ini dengan modus penyalahalamatan dalam
penggunaan dan pengleptokrasian yang ‘diserasikan’ dengan kepentingan
serbapalsunya.
Keterjerumusan dalam
keterjangkitan amnesia akut itu jelas suatu kekeliruan atau kesalahan besar
bagi bangsa ini. Pasalnya, keterjangkitan ini membuat mentalitas masyarakat
semakin rapuh.
Masyarakat akhirnya
kehilangan sikap kritis dan melawan. Semangat masyarakat tereduksi untuk
menjadi pejuang dan termarginalisasi guna mengamini setiap bentuk
penyalahgunaan kekuasaan.
Politik penanganan
kemiskinan bagi komunitas akar rumput, misalnya, menjadi terganjal atau
sering gagal mengempirik akibat digagalkan oleh ‘militansi’ perilaku elitis
yang mengidap ‘kemiskinan moral’, yang virus ini ibarat gayung bersambut:
yakni bertemu dengan realitas sosial pasif yang sudah terjangkit amnesia.
Kadar amnesia paling
akut jelas menimpa kalangan elemen negara, khususnya pilar-pilar penegakan
hukum yang sudah menjadi instrumen dari sindikasi pencoleng berdasi. Manusia
jenis ini bukan hanya piawai melupakan atau mengamnesiakan tanggung jawabnya
terhadap kasus yang ditanganinya, semisal kasus-kasus besar.
Tetapi juga
secara eskalatif menciptakan dan menyuburkan akar kriminogen yang
mengulturkan dan menstrukturisasi apa yang disebut AM Rahman (2011) sebagai
‘gempa sindikasi kekuasaan’ atau kolaborasi antarelite pencoleng di negeri
ini.
Dalam lingkaran
sindikasi pencoleng itu, dikondisikan adu argumen dan indikasi, yang
mengklaim dirinya sudah menjalankan tugas sesuai dengan aturan main, tidak
melakukan kesalahan, tidak memenuhi unsur tindak pidana, atau terdapat indikasi
dan ditemukan bukti yang menunjukkan keterlibatan orang lain. Atau apa yang
dikatakan pejuang kebenaran sebagai ketidakbenaran yang direkayasa dan
dikomoditaskan untuk memengaruhi publik. Akibatnya, masyarakat tergiring
dalam ranah kejenuhan, yang berakhir menikmati virus amnesia yang
menjangkitinya.
Ketika sudah sampai
pada ranah tersebut, kasus bertipe penyalahgunaan kekuasaan sebesar dan
sespektakuler apa pun yang pernah atau sedang terjadi akhirnya hanya tinggal
menjadi objek yang dikenang, atau setidaknya sebatas menjadi kasus sumir yang
ditangani setengah hati hingga mati dengan sendirinya. Kasus hukum yang
tergolong fundamental bisa dengan mudah dilupakan atau dikeluarkan dari ranah
penegakan sistem peradilan atau jeratan hukum, bilamana elemen penegak
hukumnya sudah dibuat mengidap penyakit gagap normatif dan diseret oleh
bertumpuknya kasus lain yang ‘menindas’ dan mengebirinya terus-menerus.
Masyarakat yang
idealitasnya diharapkan sebagai palang pintu pengawasan terhadap kinerja
buruk peradilan yang sudah tergiring menjadi kelompok sosial yang secara
gradualitas dan sistemis mengidap amnesia pun, tak ubahnya menjadi raga tak
bernyawa. Mereka memang masih bisa mendengar dan melihat berbagai bentuk aksi
geng pencoleng berdasi, tetapi mereka kehilangan gairah untuk menunjukkan
sikap kritis dan membangun gerakan moralnya. Kalau masyarakat sudah demikian,
jangan berharap banyak terjadi perubahan besar yang memanusiakan dan
mencerahkan. ●
|