Hakikat Jaminan Hari Tua
Amri Yusuf ; Praktisi Jaminan Sosial
|
KOMPAS,
16 Juli 2015
Pada 30 Juni 2015, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo di Cilacap, Jawa
Tengah. Namun, tepat pada 1 Juli 2015, di hari mulai efektif beroperasinya,
BPJS Ketenagakerjaan menuai gelombang protes dari publik.
Protes tersebut terutama dipicu oleh kekesalan atau
kekecewaan sejumlah buruh yang mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), yang
pada ketentuan lama jika sudah berhenti bekerja dan mencapai usia kepesertaan
lima tahun dengan masa tunggu satu bulan masih dilayani, tetapi pada 1 Juli
2015 klaim tersebut justru ditolak atau tidak mungkin lagi diproses.
Tidak diprosesnya klaim JHT peserta karena BPJS
Ketenagakerjaan selaku operator dalam konteks pelayanan klaim JHT per 1 Juli
2015 wajib mengacu kepada ketentuan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT. PP JHT ini adalah
aturan tata laksana yang merupakan turunan dari UU No 40 Tahun 2004. Dalam PP
No 46 Tahun 2015 disebutkan bahwa manfaat JHT hanya bisa dibayarkan kepada
peserta BPJS Ketenagakerjaan (dulu Jamsostek) jika peserta berusia 56 tahun,
meninggal dunia, atau mengalami cacat tetap total (Pasal 22 Ayat 1). Bunyi
pasal tersebut persis sama dengan amanah UU No 40 Tahun 2004 (Pasal 37 Ayat
1).
Dalam PP No 46 Tahun 2015 juga terdapat ketentuan baru
yang mengatur bahwa dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun,
pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu apabila
peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun (early
withdrawal). Pengambilan sebagian manfaat JHT tersebut paling banyak 30
persen dari saldo JHT peserta, yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah
atau paling banyak 10 persen untuk keperluan lain untuk persiapan pensiun
(Pasal 22 Ayat 4 dan 5). Substansi ketentuan tersebut merupakan tindak lanjut
dari amanah UU No 40 Tahun 2004 (Pasal 37 Ayat 3).
Titik kontroversinya adalah pasal early withdrawal ini.
Oleh publik, yang diwakili sejumlah tokoh buruh, politisi, dan petisi yang
digagas oleh Galang Mahardika serta mendapat dukungan dari ratusan ribu
netizen, ketentuan Pasal 22 tersebut dipersepsi lebih buruk daripada
ketentuan lama dan sangat menyulitkan peserta.
Publik memersepsikan, jika dulu berdasarkan UU No 3 Tahun
1992 dan PP No 14 Tahun 1992 bagi peserta yang berhenti bekerja meski belum
berusia 55 tahun dapat mengambil manfaat JHT sekaligus sepanjang memenuhi
syarat kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan, maka dalam
ketentuan PP No 46 Tahun 2015 masa kepesertaannya lebih lama, menjadi 10
tahun. Manfaat JHT yang bisa diambil pun hanya 10 persen atau 30 persen. Lalu
sisanya tak jelas. Publik menganggap ketentuan Pasal 22 terlalu lama dan
menyulitkan buruh yang telah berhenti bekerja.
Tidak diberlakukannya masa transisi dan persepsi yang
kurang tepat terhadap ketentuan Pasal 22 inilah yang memicu kontroversi
terhadap PP No 46 Tahun 2015. Publik keberatan dengan PP itu karena dianggap
minim sosialisasi dan tak memihak kepentingan buruh. Penolakan klaim peserta
yang merasa sudah memenuhi syarat mengambil manfaat JHT berdasarkan ketentuan
lama pada saat menjelang Lebaran ikut "memanaskan" kontroversi PP
JHT.
Mengembalikan esensi program JHT
Jika kita cermati dengan saksama, PP JHT No 46 Tahun 2015
sesungguhnya sudah benar dan sudah sesuai dengan amanah UU No 40 Tahun 2004.
UU No 40 Tahun 2004 juga tak ada yang keliru karena proses perumusannya sudah
mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan dengan substansi UU ini kala
itu.
UU No 40 Tahun 2004 merupakan produk reformasi politik dan
hasil joint session antara eksekutif dan legislatif saat itu dalam rangka
menerjemahkan amanah UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2, "...negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Jika dikomparasi antara ketentuan lama (UU No 3 Tahun 1992
dan PP No 14 Tahun 1993) dan ketentuan baru (UU No 40 Tahun 2004 dan PP JHT
2004), akan terlihat beberapa perbedaan prinsipiil, yang boleh jadi hal
itulah yang memicu timbulnya kontroversi soal JHT.
Pertama, spirit UU No 40 Tahun 2004 adalah mengembalikan
esensi program JHT untuk kepentingan hari tua. Program JHT adalah tabungan
wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja, untuk
kepentingan hari tua atau masa depan pekerja. Dana JHT berbeda dengan
tabungan komersial atau personal yang ditempatkan di perbankan, yang setiap
saat bisa diambil atau dicairkan jika kita membutuhkan. Dana JHT hanya bisa
dimanfaatkan ketika pekerja berhenti bekerja dan tidak lagi memiliki
kewajiban untuk mengiur secara permanen, baik karena pensiun, meninggal
dunia, maupun karena cacat tetap total.
UU No 40 Tahun 2004 tidak mengatur ketentuan atau kondisi
apabila pekerja atau peserta berhenti bekerja sebelum memasuki usia pensiun,
baik karena mengundurkan diri maupun pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena
waktu itu diasumsikan bahwa mereka yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun
akan mendapatkan kompensasi sesuai UU No 13 Tahun 2003 (yang dikenal dengan
UU Pesangon), yang mengatur soal pesangon, uang penghargaan masa kerja dan
penggantian hak (Pasal 156).
Karena dianggap sudah terproteksi dengan UU Pesangon dan
masih berusia produktif, dana JHT menjadi tidak relevan untuk dicairkan.
Dengan usia yang masih produktif, pekerja diharapkan bisa kembali masuk ke
dunia kerja dan itu artinya mereka juga bisa kembali mengiur dan aktif
kembali menjadi peserta JHT.
Sementara dalam UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan
PP No 14 Tahun 1993 (termasuk PP No 1 Tahun 2009), manfaat JHT selain
dibayarkan kepada mereka yang berhenti bekerja secara permanen, seperti
pensiun, meninggal dunia, dan cacat tetap total, juga mengatur tentang
dibolehkannya manfaat JHT dibayarkan kepada peserta yang berhenti bekerja
sebelum usia pensiun. Peserta yang berhenti sebelum usia pensiun, baik karena
PHK maupun meninggalkan Indonesia secara permanen, jika sudah mencapai usia
kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan (peserta nonaktif),
manfaat JHT-nya dapat dibayarkan sekaligus (Pasal 25 dan 32).
Eksisnya ketentuan tersebut karena pada saat UU No 3 Tahun
1992 dan PP No 14 Tahun 1993 lahir, Indonesia belum memiliki UU Pesangon.
Oleh sebab itu, JHT dianggap sebagai pengganti pesangon dan katup pengaman
dari risiko finansial yang dihadapi oleh pekerja yang berhenti bekerja
sebelum usia pensiun. Dana JHT inilah yang kemudian oleh para pekerja yang
berhenti sebelum usia pensiun dijadikan modal usaha dan memenuhi konsumsi
lainnya. Masalahnya, ketentuan ini masih terus eksis meski Indonesia sudah
memiliki UU No 13 Tahun 2003 tentang Pesangon dan UU No 40 Tahun 2004 tentang
SJSN. Ketika kebijakan yang berpijak kepada UU No 3 Tahun 1992 dan PP No 14
Tahun 1993 dihentikan dan proses klaim ditolak pada saat efektifnya UU No 40
Tahun 2004 dan PP No 46 Tahun 2004, seketika mengundang reaksi publik.
Elemen kedua, yang membedakan antara ketentuan lama dan
baru adalah tentang early withdrawal.
Ketentuan yang termaktub dalam Pasal 37 Ayat 3 ini dipersepsi secara berbeda
oleh publik. Bagi sebagian besar publik, pasal ini dianggap pengganti atau
sama dengan ketentuan sebelumnya, yang memperkenankan peserta nonaktif (PHK
dan lain-lain) melakukan klaim manfaat JHT meskipun belum berusia pensiun,
jika sudah mencapai masa kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan
dan dibayarkan sekaligus.
Sementara ketentuan baru, masa kepesertaan menjadi lebih
lama (10 tahun) dan dibayarkan hanya sebagian. Karena dalam UU No 40 Tahun
2004 tidak diketemukan pasal yang mengatur pembayaran manfaat JHT bagi mereka
yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun, maka Pasal 37 ayat ini dipahami
sebagai jalan keluar yang tidak memihak kepentingan buruh yang di PHK.
Kebijakan early withdrawal yang tertera dalam UU No 40
Tahun 2004 Pasal 37 Ayat 3 sebenarnya bukan untuk mereka yang berhenti
bekerja karena PHK atau sebab-sebab lain, melainkan didedikasikan kepada
mereka yang masih aktif bekerja dan masih aktif mengiur, dengan syarat
minimal masa kepesertaan 10 tahun. Kebijakan ini diintroduksi oleh para
perumus UU No 4 Tahun 2004 agar peserta aktif bisa lebih awal memanfaatkan
sebagian dana JHT-nya untuk kepentingan persiapan pensiun atau untuk
kepemilikan rumah, dan sisanya baru diambil untuk kepentingan hari tua pada
saat pensiun. Kebijakan ini sama dengan yang dipraktikkan oleh beberapa
negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Pada ketentuan lama hal ini tak diatur. Selama mereka
masih bekerja dan aktif mengiur, manfaat JHT-nya baru dapat diambil setelah
memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap total.
Solusi terbaik
Untuk menyelesaikan kisruh atau kontroversi PP JHT ini,
pemerintah tampil cukup sigap. Presiden Jokowi, bersama Menteri Tenaga Kerja
M Hanif Dhakiri dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya,
langsung rapat untuk mencari solusi terbaik bagi kepentingan program dan
pekerja. Sikap Presiden Jokowi yang akan merevisi PP JHT menunjukkan
kebijaksanaan beliau sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Revisi
dilakukan bukan karena PP No 46 Tahun 2015 keliru, sebagaimana yang banyak
diduga oleh publik. Revisi dilakukan agar PP tersebut lebih aspiratif.
Saat ini untuk sementara ada dua opsi yang sedang
ditimbang atau dikaji pemerintah untuk menuntaskan kisruh PP JHT. Pertama,
dana JHT bisa diambil seluruhnya apabila pekerja dikenai PHK, meninggalkan
Indonesia untuk selamanya, dan berhenti sebagai peserta program tersebut.
Kedua, dana bisa dicairkan sebesar 30 persen dari total saldo pekerja jika
sudah menjadi peserta minimal selama 10 tahun. Sisa dana JHT sebesar 70
persen bisa diambil saat pekerja memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau
cacat tetap total.
Solusi tersebut saat ini sedang dikaji secara intensif
oleh pemerintah, dengan mempertimbangkan berbagai hal, mulai dari aspek
filosofi program jaminan sosial hingga implikasi legal, politik, sosial, dan
makroekonomi. Selain opsi di atas, pemerintah dan DPR perlu juga
mempertimbangkan kemungkinan untuk mengamandemen atau merevisi Pasal 37 Ayat
3 UU No 40 Tahun 2004. UU tersebut diamandemen dengan mempertimbangkan
konteks ekonomi, sosial, politik, dan situasi ketenagakerjaan terkini yang
khas Indonesia. Yakni, memasukkan klausul bolehnya manfaat JHT dibayarkan
bagi peserta yang berhenti bekerja, dengan masa kepesertaan tertentu, untuk
mengambil manfaat JHT sekaligus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar