Catatan
Kritis atas UU Antiterorisme
Al Chaidar ; Program Studi Antropologi, Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya
mengesahkan revisi UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU
Antiterorisme) dalam rapat paripurna yang digelar 25 Mei 2018. UU
Antiterorisme yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ini tetap
mengedepankan hak asasi manusia (HAM). Salah satu terobosan dalam UU baru ini
adalah semua korban terorisme di masa lalu akan mendapat perlindungan negara,
baik dalam ketentuan pemberian santunan, pengobatan, rehabilitasi hingga
kompensasi, baik itu warga negara Indonesia atau orang asing.
Revisi UU ini sebenarnya berangkat
dari hal sederhana tentang definisi terorisme. Definisi tentang terorisme
yang sebenarnya tidak krusial, malah menjadi perdebatan yang alot selama
proses dua tahun revisi UU No 15/2003 ini.
“Terorisme adalah perbuatan yang
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat
massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas
internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.”
Definisi ini sebenarnya sudah
cukup untuk kebutuhan legislasi, tidak seperti dalam definisi terorisme yang
akademis di mana unsur-unsur millenarianisme, fundamentalisme dan radikalisme
mesti dielaborasi lebih lanjut dalam kajian dan penelitian teoritik.
Pengesahan revisi UU No 15/2003
mengenai terorisme dinilai mendesak sejak kekalahan Negara Islam Irak Suriah
(NIIS/ISIS) di Filipina dan Suriah. Sudah lebih dari 15 tahun UU anti teror
ini tidak direvisi, sementara perkembangan terorisme semakin brutal, sadis
dan gila. Teror menyeruak hampir di semua sektor kehidupan di banyak negara
kebangsaan di berbagai belahan dunia.
Bahkan terorisme NIIS telah hadir
di Jalan Thamrin (2016) dan Kampung Melayu (2017), Jakarta, di beranda
terdekat di negeri ini. Kehadiran terorisme yang tak terpahami preseden dan
motif lainnya di luar motif teologi eskatologis di mana kematian dipandang
sebagai cara pintas memasuki surga. Kematian dipakai untuk menakut-nakuti
musuh agama yang tak terdeskripsikan, dalam suatu “perang” yang tak pernah
terdengar deklarasinya sekalipun.
Terorisme “tamkin”
Ada satu persoalan krusial yang
belum terakomodasikan dalam UU Antiterorisme yang baru disahkan ini. UU baru
ini tidak menerapkan konsep terorisme tamkin (terorisme teritorial) yang
menjadi masalah terorisme penting abad ini. Terorisme tamkin inilah yang
kemudian menjadi pangkal perseteruan antara Polri dan TNI dalam hal tugas
pokok dan fungsi mereka untuk menangani terorisme.
Kisruh pembagian wewenang di
antara Polri dan TNI dianggap menempatkan Indonesia dalam risiko yang tak
perlu. Ada perubahan signifikan terhadap sistematika UU, menambah bab
pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, kemudian soal
peran TNI yang itu semua hal baru dibandingkan UU sebelumnya.
Memang harus juga diakui bahwa UU
yang sebelum ini menghambat polisi untuk bergerak jika pelaku sudah terbukti
sebagai pelaku terorisme. Kewenangan mencegah pelaku dalam aksi sangat lemah.
UU yang terbaru dapat memberikan wewenang lebih pada Polri untuk melakukan
fungsi pencegahan.
Penanganan terpadu dan efektif
butuh payung hukum yang lebih kuat. UU ini malah memberikan peneguhan untuk
lembaga yang menjalankan program deradikalisasi yang sebenarnya tidak perlu
dimasukkan dalam UU.
Pemerintah Indonesia melalui DPR
sudah berhasil merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang tertunda akibat perdebatan alot seputar pembagian wewenang
antara polisi dan militer.
Secara teoritik, pelibatan militer
di dalam menangani terorisme sudah dibahas oleh banyak peneliti tentang
kemunculan strategi qital tamkin (perang di daerah pembebasan) yang menjadi
ciri khas kelompok teroris teritorial. Sebutlah seperti MIT (Mujahidin
Indonesia Timur), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan),
OPM (Organisasi Papua Merdeka), Abu Sayyaf Group (ASG).
Menurut saya, terorisme teritorial
harus ditangani secara khusus oleh TNI (misalnya, Koopsusgab). Terorisme
tamkin (teritorial) ini jika ditangkap maka implikasi yuridisnya adalah akan
diadili di sidang pengadilan humaniter atau pengadilan militer.
Kamil Salamah (1994, 181) telah
membahas bahwa terorisme teritorial punya basis ideologi agama yang kuat.
Teroris yang menerapkan strategi perang teritorial (Djelantik dan Akbar,
2016: 90) harus dihadapi oleh aparat keamanan yang memiliki kemampuan tempur
yang memadai.
Thomas Koruth Samuel (2016: 53)
dan Al Chiadar (2015: 245) juga sudah membahas betapa penanganan yang salah
terhadap teroris tamkin menunjukkan kurangnya kesadaran teritorial dari para
pemimpin politik sebagaimana terlihat di Thailand, Filipina dan Suriah.
Sidney Jones (2015) juga sudah
mengingatkan kita akan kemunculan qital tamkin yang dimiliki oleh
teroris teritorial yang berbeda dengan qital nikoyah yang hanya melakukan
strategi hit and run di berbagai lokasi. Terorisme tanzhim (non- teritorial)
cukup ditangani dan dihadapi oleh polisi, dan jika teroris tanzim ditangkap
cukup disidangkan di pengadilan negeri atau pengadilan sipil.
Perubahan dari strategi nikoyah ke
strategi teritorial inilah yang harusnya diagregasi dan diartikulasikan
secara tepat di dalam UU Antiterorisme yang baru ini. Sebab, hal yang saat
ini menjadi fokus jihadis adalah nikayah atau melukai, menyerang, dan
melumpuhkan orang yang mereka anggap sebagai “kafir” dalam sistem taksonomi
hukum mereka yang keliru.
Bagi kelompok teroris yang
berideologi Wahabi Takfiri ini, yang paling penting adalah tamkin, yaitu
menguasai sebuah wilayah dengan pemimpin yang paham ilmu syar’i (hukum agama)
dan fiqhul waqi’ (hukum politik). Para ulama mereka yang dianggap sebagai
intelektual organik telah mengeluarkan sejumlah fatwa brutal dan sadis yang
mengingkari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. UU Antiterorisme yang baru ini masih
jauh dari harapan untuk bisa mengimbangi fatwa-fatwa teror yang semakin hari
kian biadab. ●
|