Prospek Yunani Pasca Referendum
Sri
Hartati Samhadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Di luar dugaan, dan meleset dari
hasil jajak pendapat (polling)
selama ini, kubu anti program pengetatan menang mutlak dalam referendum di
Yunani, Minggu (5/7). Sebanyak 61,3 persen dari sekitar 9,8 juta warga yang
memberikan suara menyatakan menolak kebijakan pengetatan (austerity) sebagai syarat program dana
talangan (bail out) dari kreditor
internasional.
Hasil referendum disambut gembira
warga yang membawa bendera Yunani sambil menari-nari di Lapangan Syntagma, di
depan Gedung Parlemen Athena. Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras menyebut
hasil referendum ini sebagai kemenangan demokrasi. Yunani, kata Tsipras,
memasuki era baru. Namun, tak semua warga yang memberikan suara ”no” itu
menyadari, dengan menolak syarat dana talangan Troika (sebutan untuk kreditor
internasional yang terdiri dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa/ECB, dan
Dana Moneter Internasional/IMF), Yunani memasuki lorong ketidakpastian baru
yang tak seorang pun bisa meramalkan arahnya pasca referendum.
Tsipras dan Menteri Keuangan
Yunani Yanis Varoufakis sangat meyakini, penolakan rakyat Yunani melalui
referendum akan memberi mereka mandat lebih besar untuk bisa menuntut
persyaratan yang lebih menguntungkan bagi Yunani dengan para pemimpin Eropa
dalam 1-2 hari ke depan.
Namun, dari sinyal pernyataan
sejumlah pemimpin Eropa, tampaknya itu tak akan terjadi. Reaksi seketika
Deputi Kanselir Jerman (negara dominan di zona euro) Sigmar Gabriel terhadap
hasil referendum adalah Yunani telah menghancurkan jembatan terakhir menuju
dicapainya kompromi dengan Eropa.
Kemarahan dan kekecewaan juga
diungkapkan para pemimpin Eropa lain yang melihat referendum hanya kian
memperumit keadaan. Mereka kembali menyerukan dilangsungkannya pertemuan
darurat membahas isu Yunani, Senin.
”Tsipras dan pemerintahannya telah
menuntun rakyat Yunani menuju pengorbanan yang pahit dan tanpa harapan,” ujar
Gabriel, seperti dikutip harian Der Tagesspiegel. Konsekuensi dari penolakan
Troika untuk memperpanjang dana talangan setelah Yunani menolak program
pengetatan dan memilih referendum pekan lalu adalah untuk dicapai kesepakatan
baru, harus ada negosiasi baru dari awal, dengan prakondisi yang baru pula.
Persoalannya, perbankan Yunani tak
mungkin bisa menunggu selama itu. Sebelumnya Tsipras menjanjikan bank- bank
yang ditutup menyusul rush (penarikan dana oleh masyarakat secara
besar-besaran) pekan lalu akan buka kembali Selasa ini apa pun hasil
referendum. Namun, dengan hasil referendum menolak kebijakan pengetatan
sebagai syarat dana talangan dari kreditor, semakin kecil pula peluang
disetujuinya perpanjangan dana likuiditas darurat ke perbankan Yunani oleh
ECB.
Tanpa injeksi dana segar segera,
perbankan Yunani yang selama ini bergantung pada suntikan dana dari ECB akan
kolaps. Krisis perbankan dan gagal bayar beruntun tak akan terhindarkan dan
Yunani akan dipaksa keluar dari zona euro. Tanpa dana talangan baru, juga tak
jelas sampai kapan Pemerintah Yunani bisa membayarkan gaji pegawai dan jutaan
pensiunannya. Sejumlah lembaga sosial yang menangani warga miskin Yunani
mengeluhkan kian langkanya ketersediaan makanan dan obat-obatan. Rakyat
dihadapkan pada kelaparan. Dalam kondisi seperti ini, gejolak sosial dan politik
bisa kembali tersulut. Situasi inilah yang paling ditakutkan akan terjadi.
Sebagian pengamat memang ada yang
meyakini Yunani akan jauh lebih baik dalam jangka panjang setelah keluar dari
zona euro daripada saat berada di zona euro. Persoalannya, siapkah Yunani
melewati masa menyakitkan untuk sampai ke sana?
Perkembangan cepat juga terjadi di
dalam negeri Yunani. Bukan hanya pemimpin oposisi yang mundur sebagai
pengakuan kekalahannya dalam referendum. Menteri Keuangan Yunani yang
sebelumnya juga optimistis akan dicapai kesepakatan segera dengan para
pemimpin Eropa juga mengumumkan pengunduran dirinya.
Seberapa besar peluang terjadinya
kompromi baru antara Yunani di bawah Tsipras dan kreditor? Bagi para pemimpin
Eropa, ini pertaruhan wibawa dan kredibilitas zona euro. Tunduk pada kemauan
Yunani sama saja dengan mau didikte oleh satu negara. ”Uni Eropa bukanlah
make-a-wish club, di mana satu negara menetapkan aturan dan negara lain yang
harus menanggung bebannya,” ujar wakil pemimpin partai berkuasa Jerman, Julia
Klöckner. Bisa dipastikan, Eropa juga tak akan rela satu negara anggota yang
secara ekonomi tak signifikan—menyumbang hanya 2 persen dari produk domestik
bruto (PDB) zona euro—menyeret mata uang tunggal dalam krisis. Apalagi negara
itu adalah Yunani yang selama ini dianggap tidak kooperatif.
Sejak mata uang tunggal Eropa
terbentuk tahun 1999, belum pernah ada preseden di mana negara anggota zona
euro harus keluar dari zona euro, karena alasan apa pun, sehingga mekanisme
untuk itu juga belum ada. Karena itu, keputusan para pemimpin Eropa hari
Senin akan menentukan bukan saja masa depan Yunani, melainkan juga masa depan
mata uang tunggal Eropa.
Lambat atau cepat, Yunani dan
Eropa harus kembali ke meja negosiasi. Persoalannya, sebagian besar pemimpin
Eropa telanjur kehilangan kepercayaan terhadap Tsipras. Para pejabat Eropa di
Berlin terang-terangan mengatakan tak lagi percaya kepada Tsipras, dan
kalaupun disepakati bail out baru, mereka lebih nyaman bekerja dengan
pemerintahan baru, misalnya pemerintahan sementara yang didukung oleh koalisi
multipartai dan dipimpin oleh seorang perdana menteri teknokrat.
Artinya, posisi Tsipras yang
sementara aman dengan hasil referendum tidak hanya akan kembali terancam jika
ia gagal mewujudkan janji mencapai kesepakatan baru dengan persyaratan lebih
menguntungkan bagi Yunani. Kekuasaannya juga terancam terdelegitimasi jika
kreditor mensyaratkan adanya pemerintahan Yunani yang lebih kooperatif
sebagai syarat persetujuan bail out baru.
Reaksi
pasar
Pasar melihat hasil referendum
Yunani akan kian menjauhkan peluang dicapainya kesepakatan dengan Eropa.
Prediksi Yunani bakal tergelincir ke dalam krisis ekonomi lebih dalam apabila
sampai keluar dari zona euro membuat mata uang euro terpuruk dalam
perdagangan Senin. Pasar Asia ikut terkena dampak. Wall Street juga
bergejolak dan ditutup melemah.
Namun, dampak Yunani lebih
merupakan reaksi sesaat yang diperkirakan tak akan berkepanjangan selama
krisis Yunani bisa diisolasi agar tak meluas ke negara zona euro lain atau
berkembang menjadi krisis mata uang tunggal Eropa. Apa yang terjadi pada
Yunani beberapa pekan terakhir ini sudah dikalkulasi oleh pasar sehingga
reaksi pasar global akan relatif terbatas, baik dari spektrum waktu maupun
magnitudo. Secara keseluruhan, negara-negara zona euro lain juga sudah lebih
mempersenjatai diri lewat berbagai skema keuangan dan kebijakan penyesuaian
struktural. Eksposur perbankan negara zona euro lain dan juga investor
internasional juga relatif terbatas karena sebagian besar dari mereka sudah
menarik diri dari Yunani tahun 2011.
Keterkaitan negara-negara
berkembang Asia seperti Indonesia dengan Yunani juga kecil sehingga efek
domino dan transmisi krisisnya juga sangat minimal. Yunani bukan mitra dagang
atau investor utama Indonesia.
Dari sisi persepsi pasar, pasar
juga tak akan menyamakan Indonesia dengan Yunani karena kondisi Indonesia
saat ini jauh berbeda dengan Yunani. Salah satu titik lemah Yunani adalah
ketergantungan yang terlalu besar pada utang dan kebiasaan besar pasak daripada
tiang, dengan sebagian besar utang dipakai membiayai birokrasi. Dibandingkan
dengan defisit fiskal Yunani yang di atas 50 persen dan rasio utang terhadap
PDB Yunani yang 177 persen, posisi Indonesia jauh lebih aman dengan defisit
fiskal 1,9 persen dan rasio utang 33 persen.
Pembelajaran dari Yunani adalah
untuk tak kembali terjebak dalam krisis seperti Yunani, penting diwujudkan
kemandirian fiskal dan melepaskan diri dari ketergantungan utang secara
berlebihan. Kepercayaan pasar juga akan terbangun jika pemerintah mampu
menyingkirkan berbagai sumbatan dalam ekonomi dan mempercepat realisasi
program-program yang menjadi janji kampanyenya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar