Mereka yang bekerja pada Bidang Akuntansi dan Pelaporan Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) tentu dapat merasakan bagaimana sulitnya meningkatkan kinerja rekonsiliasi dengan UAPPA-W. Kinerja rekonsiliasi tingkat UAPPA-W hampir dapat dipastikan tidak akan pernah lebih baik dari kinerja rekonsiliasi tingkat UAKPA. Mengapa? Pertama, karena KPPN diberi kewenangan untuk memberikan sanksi berupa penolakan pencairan dana melalui mekanisme UP (Uang Persediaan) kepada satker (UAKPA) yang belum melunasi kewajibannya untuk melakukan rekonsiliasi data dengan KPPN setiap bulan. Sanksi tersebut sedikit atau banyak dapat memaksa satker-satker untuk melakukan rekonsiliasi data dengan KPPN. Kedua, dalam banyak kasus telah ditemukan bukti bahwa hasil pengiriman data laporan keuangan dari satker ke UAPPA-W tidak lebih baik (dari sisi kelengkapan maupun akurasi datanya) dari hasil pengiriman data laporan keuangan dari UAKPA ke KPPN. Penyebabnya selain karena tidak adanya ketentuan yang menetapkan sanksi terhadap satker-satker yang tidak mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W juga karena faktor rendahnya disiplin UAPPA-W dan satker-satker di wilayah kerjanya dalam melaksanakan SAI untuk tingkat UAKPA. Ketiga, kinerja rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W tergantung sepenuhnya pada kinerja rekonsiliasi di tingkat UAKPA.
Namun, tingkat kesulitan yang dihadapi oleh Kanwil DJPb dalam proses rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W tentu belum seberapa dibandingkan dengan tingkat kesulitan yang dihadapi oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan yang harus melakukan rekonsiliasi di tingkat UAPPA-E1 dan UAPA. Hal tersebut dapat dimengerti karena model rekonsiliasi data laporan keuangan secara berjenjang memang selalu menghadapi resiko berkurangnya nilai kinerja rekonsiliasi yang dicapai pada jenjang rekonsiliasi yang lebih tinggi. Lalu, benarkah tidak ada solusi yang dapat menyelesaikan masalah berkurangnya kinerja rekonsiliasi pada jenjang yang lebih tinggi? Apa yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan rekonsiliasi data laporan keuangan, terutama di tingkat satker/KPPN, agar hasil rekonsiliasi di jenjang yang lebih tinggi secara nasional sesuai dengan atau mendekati apa yang kita harapkan?
Pengiriman Backup Data SAI dan Rekonsiliasi Data Akumulasi
Tulisan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut di atas. Intinya saya mengusulkan agar selain membawa file data laporan keuangan untuk keperluan rekonsiliasi dengan KPPN, satker juga diwajibkan untuk membawa file backup data SAI. Setiap bulan KPPN menyimpan dan memperbarui arsip backup data SAI yang telah berstatus rekon SAMA milik semua satker di wilayah kerjanya, dan setiap bulan pula copy data tersebut dikirim ke Kanwil DJPb/UAPPA-W untuk dilakukan proses rekonsiliasi di tingkat wilayah. Sama halnya dengan KPPN, Kanwil DJPb juga diwajibkan menyimpan file backup data SAI tingkat wilayah yang telah berstatus rekon SAMA dan setiap bulan mengirimkan copy data tersebut ke Direktorat Sistem Perbendaharaan (Dit. SP)/Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK) di Jakarta untuk dilakukan proses rekonsiliasi di tingkat UAPPA-E1 dan tingkat UAPA.
Selain itu, saya juga mengusulkan agar data laporan keuangan satker yang setiap bulan direkonsiliasi dengan data KPPN bukan “data bulanan” melainkan “data akumulasi” (mulai bulan Januari), karena pada hakekatnya laporan keuangan tersebut bersifat akumulasi dan bukan bersifat bulanan (walaupun proses pembuatan laporannya dilakukan setiap bulan). Rekonsiliasi data laporan keuangan secara kumulatip tersebut diperlukan terutama untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan terhadap data satker/KPPN yang sebelumnya telah direkonsiliasi, baik perubahan data yang terjadi karena suatu kesengajaan ataupun tidak.
Menyiasati Masalah Kinerja Rekonsiliasi
Walaupun gagasan yang saya usulkan tersebut nampak menjanjikan suatu harapan baru berupa semakin membaiknya kinerja rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W, UAPPA-E1 dan UAPA, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar supaya pelaksanaannya di semua jenjang unit akuntansi tidak menemui hambatan yang cukup berart. Pertama, diperlukan suatu peraturan (payung hukum) yang intinya untuk menjamin supaya ide atau gagasan tersebut dapat efektif dilaksanakan di tingkat KPPN, Kanwil dan Dit. APK. Kedua, pengiriman file backup data SAI melalui KPPN/Kanwil DJPb/Dit.APK kepada unit akuntansi Kementerian Negara/Lembaga secara berjenjang tersebut sifatnya membantu dan bukan menggantikan kewajiban UAKPA/ UAPPA-W/UAPPA-E1 untuk mengirimkan data laporan keuangannya ke jenjang unit akuntansi di atasnya. Ketiga, mengingat kinerja rekonsiliasi di tingkat UAKPA/KPPN dapat dipastikan akan mempengaruhi kinerja rekonsiliasi pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi, maka pengalokasian sumberdaya (resources) dan pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi perlu lebih difokuskan pada proses rekonsiliasi di tingkat paling bawah tersebut. Keempat, program aplikasi yang terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga ia bukan hanya dapat menghilangkan masalah rekonsiliasi yang bersumber dari aplikasi itu sendiri, tetapi juga dapat membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses rekonsiliasi secara keseluruhan.
Menyikapi Peraturan tentang Pelaksanaan Rekonsiliasi
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh KPPN dalam melaksanakan rekonsiliasi data laporan keuangan dengan satker adalah bagaimana ia harus menyikapi suatu peraturan, termasuk pemahaman kita terhadapnya, yang kurang mendukung terhadap peningkatan kinerja rekonsiliasi. Sebagai contoh, KPPN ingin meningkatkan kinerja rekonsiliasinya dengan satker-satker di wilayah kerjanya, antara lain dengan cara memberikan sanksi berupa hambatan pencairan dana terhadap satker-satker penerbit SPM-LS yang tidak melaksanakan rekonsiliasi dengan KPPN. Namun, di sisi lain, KPPN tidak memiliki payung hukum untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Sejumlah KPPN nekad menerapkan sanksi hambatan pencairan data (walaupun tidak secara tertulis) kepada satker-satker penerbit SPM-LS dan ternyata telah berhasil meningkatkan kinerja rekonsiliasinya dengan satker. Sementara KPPN yang menyikapi peraturan rekonsiliasi secara kaku terbukti cenderung memiliki kinerja rekonsiliasi yang rata-rata relatif lebih rendah.
Contoh lain adalah mengenai peraturan yang mengharuskan satker untuk membawa berkas laporan keuangan (hardcopy) beserta Arsip Data Komputer(ADK)nya untuk digunakan sebagai bahan rekonsiliasi dengan KPPN. Dalam praktek, sejumlah KPPN telah melakukan improvisasi dengan cara menghapus ketentuan bahwa satker harus membawa berkas laporan keuangan dan membolehkan satker hanya membawa ADK(data softcopy laporan keuangan)nya saja, dan kebijakan inipun terbukti telah mampu meningkatkan jumlah satker yang melakukan rekonsiliasi dengan KPPN. Satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa ketentuan yang mengharuskan semua satker untuk menyampaikan berkas laporan keuangannya ke KPPN tersebut jelas telah membuat biaya rekonsiliasi menjadi sangat tinggi (costly) dengan hasil yang seringkali nihil. Apalagi kalau kita amati pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN dan juga di Kanwil DJPb, ternyata pada umumnya nasib berkas laporan keuangan yang dibawa oleh satker-satker tersebut mirip dengan nasib sebagian berkas laporan bulanan mereka ke kantor pusat yang sama sekali tidak terjamah, dan biasanya langsung masuk ke arsip “keranjang sampah”.
Satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa berkas laporan keuangan memang diperlukan misalnya untuk bahan analisa dalam kegiatan pembinaan/pemeriksaan pelaporan keuangan, tetapi tidak diperlukan dalam kegiatan rekonsiliasi (pencocokan) data laporan keuangan yang pada era sekarang ini prosesnya dapat dilakukan per data transaksi keuangan dengan menggunakan program aplikasi. Meskipun demikian, untuk mengoptimalkan hasil rekonsiliasi dengan satker, KPPN perlu melakukan proses validasi data dan analisa laporan keuangannya secara efektif. Maksudnya tentu saja agar proses rekonsiliasi dengan satker dapat menghasilkan status data laporan keuangan yang “SAMA dan BENAR”, bukan yang “SAMA tapi SALAH”. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar setiap akhir bulan (awal bulan berikutnya) KPPN segera melakukan proses validasi data dan analisa laporan keuangannya secara efektif, termasuk tindak lanjut perbaikan datanya, sebelum melakukan rekonsiliasi data dengan satker-satker di wilayah kerjanya.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh KPPN adalah bagaimana ia menyikapi dan merespon suatu peraturan (PMK Nomor 59/PMK.06/ 2005) yang menyatakan bahwa UAKPA harus melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan, sedangkan UAPPA-W harus melakukan rekonsiliasi dengan Kanwil DJPb setiap triwulan. Dalam hal ini nampaknya hampir semua KPPN telah menafsirkan peraturan tersebut bahwa data laporan keuangan yang direkonsiliasi dengan KPPN/Kanwil DJPb adalah “data bulanan” untuk data UAKPA dan “data triwulanan” untuk data UAPPA-W. Dengan demikian, dan sesuai dengan praktek rekonsiliasi yang selama ini mereka lakukan, mereka tidak pernah melakukan rekonsiliasi ulang terhadap data bulanan/triwulanan satker/UAPPA-W yang telah dilakukan rekonsiliasi.
Ketentuan dan pemahaman tersebut di atas mengasumsikan bahwa data keuangan yang telah direkonsiliasi dengan hasil status rekon SAMA tidak mungkin dikemudian hari dinyatakan salah (tidak valid) sehingga perlu diperbaiki dan dilakukan rekonsiliasi-ulang. Fakta menunjukkan bahwa data keuangan yang telah direkonsiliasi dengan status rekon SAMA ternyata di kemudian hari bisa dinyatakan salah melalui proses validasi yang kriterianya telah dikembangkan lebih lanjut oleh pembuat aplikasi, dan karenanya perlu diperbaiki dan dilakukan rekonsiliasi ulang. Selain itu, sebagaimana kita ketahui bahwa sepanjang tahun 2006 ini telah terbit sejumlah Surat Edaran yang meminta KPPN untuk memperbaiki sebagian datanya mulai bulan Januari 2006 sampai dengan bulan terakhir yang telah tersedia datanya. Tentunya untuk menjamin agar data satker dan data KPPN sama, semua perbaikan data yang telah dilakukan oleh KPPN tersebut harus ditindaklanjuti dengan perbaikan data yang sama di satker/UAKPA dan dilakukan proses rekonsiliasi-ulang. Pertimbangan lainnya bahwa rekonsiliasi-ulang diperlukan adalah karena tidak seorangpun dapat menjamin bahwa tidak akan pernah terjadi data rusak (korup) di satker ataupun di KPPN yang dapat mengakibatkan laporan keuangan satker dan KPPN yang semula berstatus rekon SAMA menjadi TDK SAMA?
Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut diatas, sebagaimana telah disebutkan dimuka, saya mengusulkan supaya data laporan keuangan satker yang setiap bulan direkonsiliasi dengan data KPPN bukan sekedar “data bulanan”, melainkan “data akumulasi” mulai bulan Januari. Hal serupa juga perlu dilakukan pada pelaksanaan rekonsiliasi di tingkat Kanwil DJPb dan di tingkat Direktorat APK. Tentunya ketentuan tersebut perlu dipertegas dalam suatu Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mengatur tentang pelaksanaan rekonsiliasi data laporan keuangan pemerintah pusat.
Membantu Rekonsiliasi Tingkat Kanwil DJPb/Dit. APK
Pada bagian awal tulisan ini telah saya kemukakan tentang pentingnya KPPN menyimpan file backup data SAI semua satker di wilayah kerjanya yang status rekonnya telah SAMA untuk membantu pelaksanaan rekonsiliasi data keuangan pada tingkat UAPPA-W dan seterusnya pada jenjang yang lebih tinggi. Gagasan tersebut muncul setelah melihat kenyataan bahwa dalam praktek seringkali ditemui sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan rekonsiliasi seperti (1) satker/UAKPA telah mengirim data laporan keuangan ke UAPPA-W sebelum KPPN menyatakan bahwa data keuangan satker tersebut telah sama dengan data KPPN, (2) data satker yang telah diperbaiki pada saat rekonsiliasi di KPPN tidak disimpan kembali (direstore) ke dalam database aplikasi SAI satker yang bersangkutan, (3) pada saat rekonsiliasi dengan satker Seksi Vera melakukan perbaikan data KPPN tidak pada data server KPPN, tetapi pada copy data server KPPN di Seksi Vera yang dimaksudkan untuk mempercepat proses rekonsiliasi dengan satker, dan (4) sejumlah satker telah melakukan rekonsiliasi dengan KPPN tetapi tidak mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W.
Dengan digunakannya arsip data SAI satker yang status rekonnya dengan KPPN telah SAMA pada proses rekonsiliasi tingkat Kanwil DJPb dan tingkat Dit. APK, diharapkan praktek-praktek penyimpangan prosedur rekonsiliasi tersebut di atas tidak lagi memperburuk kinerja rekonsiliasi di tingkat Kanwil DJPb dan tingkat Dit. APK. Dalam hal ini file backup data SAI satker yang copynya dikirim ke Kanwil DJPb dan Dit. SP/Dit. APK tersebut dapat juga digunakan sebagai acuan oleh Kanwil DJPb/ Dit. APK untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan prosedur rekonsiliasi di tingkat KPPN tersebut, termasuk untuk menguji sejauhmana cakupan proses rekonsiliasi di KPPN telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.
Satu hal yang ingin saya tekankan di sini bahwa pengiriman data backup SAI ke Dit. APK tidak harus melalui Kanwil DJPb. KPPN dapat mengirimkan data backup SAI tersebut langsung ke Dit. APK/Dit. SP pada saat yang hampir bersamaan ketika ia mengirimkannya ke Kanwil DJPb dengan memanfaatkan fasilitas komunikasi data intranet yang telah tersedia di semua KPPN. Diharapkan secara internal setiap bulan/triwulan Kanwil DJPb/Dit. APK dapat melakukan rekonsiliasi data SAU dan data SAI yang telah mereka terima dan menyampaikan hasil rekonsiliasi yang masih berstatus TDK SAMA ke KPPN-KPPN yang bersangkutan, termasuk ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA, untuk ditindaklanjuti.
Perlu diketahui bahwa bukan hal yang mustahil bahwa dari hasil rekonsiliasi antara data SAU dan data SAI tersebut masih ditemukan data yang status rekonnya TDK SAMA. Kesalahan bisa terjadi pada data SAU ataupun data SAI. Sebagaimana telah disebut dimuka, kesalahan data SAU/KPPN dapat terjadi apabila Seksi Vera melakukan perbaikan data KPPN tidak pada data server KPPN melainkan pada copy data server KPPN di Seksi Vera. Sedangkan kesalahan data SAI bisa terjadi antara lain apabila cakupan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Seksi Vera KPPN tidak selengkap cakupan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Kanwil DJPb/Dit. APK. Sebagai contoh, Seksi Vera KPPN tidak melaksanakan rekonsiliasi data akumulasi mulai Januari, data pagu, data realisasi belanja sampai dengan kode fungsi-subfungsi-program, dan data realisasi UP, sementara Kanwil DJPb/Dit. APK telah melaksanakan semua cakupan rekonsiliasi tersebut.
Pada bagian awal tulisan ini saya mengusulkan agar file backup data SAI yang copynya dikirim KPPN ke Kanwil DJPb dan Dit. SP/Dit. APK tersebut digunakan oleh UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA sebagai bahan kompilasi (penggabungan) data keuangan satker-satker di wilayah kerja mereka dan rekonsiliasi dengan Kanwil DJPb/Dit. APK. Lalu, apabila UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA telah mendapatkan file backup data SAI dari Kanwil DJPb/Dit. APK, apakah satker (UAKPA)/UAPPA-W/UAPPA-E1 masih harus menyampaikan laporan keuangan beserta ADKnya ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA?
Jawabannya tentu saja “ya” karena, sebagaimana telah disebutkan dimuka, pengiriman file backup data SAI ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA tersebut sifatnya membantu (complementary) dan bukan menggantikan kewajiban UAKPA/ UAPPA-W/UAPPA-E1 untuk mengirimkan data laporan keuangannya ke jenjang unit akuntansi di atasnya. Bagaimanapun kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan adanya satker yang tidak/belum (pernah) melakukan rekonsiliasi dengan KPPN tetapi telah mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W. Dengan demikian, meskipun pengiriman file backup data SAI satker melalui KPPN/Kanwil DJPb/Dit. APK ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA tersebut sangat membantu kelancaran proses pengiriman data laporan keuangannya ke jenjang unit-unit akuntansi yang lebih tinggi, namun ia tidak bisa/boleh sama sekali menggantikannya.
Untuk membantu UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA agar mereka dapat secepatnya melakukan identifikasi dan mengambil tindakan terhadap satker-satker yang bermasalah dalam hal pengiriman dan penyajian data laporan keuangannya, saya mengusulkan agar pengiriman file backup data SAI (termasuk hasil rekonsiliasi data SAU dan data SAI yang masih berstatus rekon TDK SAMA) oleh Kanwil DJPb/Dit. APK kepada mereka dapat dilakukan secara bulanan/triwulanan. Dalam hal ini diharapkan program aplikasi komputer dapat membantu mempermudah pemilahan satker-satker yang status data rekonnya masih bermasalah (TDK SAMA) tersebut berdasarkan UAPA (kementerian negara/lembaga), UAPPA-E1 (unit eselon-1) dan UAPPA-W (unit akuntansi tingkat wilayah).
Fokus pada Pelaksanaan Rekonsiliasi Tingkat KPPN
Sebagaimana telah disebutkan dimuka, saya mengusulkan agar pengalokasian sumberdaya (resources) dan pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi lebih difokuskan pada proses rekonsiliasi di tingkat satker/KPPN. Dalam hal ini pelaksanaan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada satker-satker (yang menurut tupoksi Ditjen Perbendaharaan dilakukan oleh pegawai Bidang Akuntansi dan Pelaporan) perlu melibatkan pegawai KPPN dan lebih difokuskan pada satker-satker yang masih bermasalah dalam pelaksanaan rekonsiliasinya dengan KPPN. Keterlibatan pegawai KPPN secara lebih intens dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis kepada satker-satker bermasalah di wilayah kerjanya tersebut selain dapat menghemat biaya perjalanan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis (yang selama ini sering dilakukan oleh pegawai Bidang Akuntansi dan Pelaporan Kanwil DJPb) juga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan bimbingan teknis kepada satker. Bukankah pegawai KPPN yang notabene sering berhubungan dengan satker-satker di wilayah kerjanya pada prinsipnya lebih mengetahui satker-satker mana yang bermasalah dan masalah apa yang sedang mereka hadapi? Dalam konteks tersebut, kegiatan pemberdayaan pegawai KPPN, khususnya yang terkait dengan kegiatan bimbingan teknis dan ditujukan untuk mengatasi masalah satker-satker yang bermasalah di wilayah kerjanya, menjadi sangat relevan untuk diperhatikan di masa-masa mendatang.
Satu hal yang perlu kita perhatikan bahwa masalah dominan yang dihadapi oleh satker-satker yang bermasalah bukan hanya masalah SDM yang kurang terlatih dalam menggunakan aplikasi komputer, tetapi juga masalah sarana komputer yang kurang memadai atau bahkan sama sekali tidak tersedia. Dalam hal ini, menurut hemat saya, perlu dipertimbangkan adanya ketentuan yang mengharuskan KPPN untuk secara periodik menyampaikan Laporan Daftar Satker-satker yang Bermasalah, baik dalam hal penguasaan aplikasi SAI maupun dalam hal ketersediaan sarana komputer yang memadai, kepada Kanwil DJPb. Sementara itu Kanwil DJPb diminta untuk melakukan kompilasi dan menyampaikan hasil kompilasi laporan tersebut ke kantor pusat (Dit. APK dan Ditjen Anggaran/Dit. PA) untuk ditindaklanjuti.
Bagi Dit. APK dan Kanwil DJPb, laporan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun rencana kegiatan pembinaan SAI dan pelaporan keuangannya terhadap satker-satker di kementerian negara/lembaga. Sedangkan bagi Ditjen Anggaran/Dit. PA, laporan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penyediaan anggaran dan pelaksanaannya untuk program pengadaan sarana komputer bagi satker-satker yang belum memilikinya. Pada saat ini, kebutuhan sarana komputer bagi setiap satker merupakan hal yang sangat mendesak. Pelaksanaan SAI dan rekonsiliasi data keuangan antara satker dan KPPN tidak dapat berlangsung secara optimal tanpa dukungan sarana komputer yang memadai. Dan ini sejalan dengan tekad kita bersama bahwa dokumen SPM satker yang diajukan ke KPPN harus merupakan hasil dari aplikasi SPM satker dan dilampiri dengan ADKnya. Bagaimanapun, masa transisi dokumen SPM dan laporan keuangan satker yang dibuat secara manual harus segera kita akhiri.
Selain masalah SDM dan sarana komputer satker yang belum memadai, hal lain yang perlu kita perhatikan adalah masalah pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN. Di dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2006 sebenarnya telah diatur tentang pedoman pelaksanaan rekonsiliasi, termasuk cakupan rekonsiliasi yang harus dilaksanakan oleh KPPN. Namun, pengawasan terhadap pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN perlu dilakukan bukan hanya karena dalam praktek ia rentan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan tetapi juga karena pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi itu sendiri tidak secara tegas diatur dalam peraturan tersebut kecuali berupa dokumen Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) dan lampiran hasil rekonsiliasinya.
Bahkan dalam ketentuan mengenai penandatanganan BAR di tingkat KPPN, sebagaimana diatur dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006, pun mengandung kontroversi dalam pelaksanaannya. Kontroversi tersebut bersumber dari, di satu sisi, ketentuan tentang prosedur rekonsiliasi antara KPPN dan UAKPA yang menetapkan bahwa BAR ditandatangani oleh Kepala KPPN selaku Kuasa BUN dan Kepala satker selaku Kuasa PA. Di sisi lain, format BAR sebagaimana tercantum dalam lampiran I Perdirjen tersebut tidak menetapkan secara definitif siapa yang harus menandatangani BAR (dalam format BAR hanya tertulis bahwa para penandatangannya adalah a.n Kuasa BUN dan a.n. Kuasa PA). Satu hal yang harus kita perhatikan adalah walaupun penetapan Kepala KPPN dan Kepala satker sebagai penandatangan BAR mempunyai tujuan yang baik, yakni agar mereka dapat melihat/mengawasi secara langsung hasil rekonsiliasi tersebut, namun hal tersebut dikhawatirkan dapat menghambat proses pelayanan rekonsiliasi di KPPN, dimana waktu yang tersedia relatif terbatas namun satker yang harus dilayani berjumlah sangat banyak. Selain itu, barangkali ini yang paling penting untuk dijadikan sebagai acuan, Peraturan Menteri Keuangan nomor 59/PMK.06/2005 sendiri (lihat lampiran II) telah menetapkan bahwa BAR “ditandatangani oleh petugas rekonsiliasi dari KPPN dan UAKPA”.
Bicara tentang pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN erat kaitannya dengan kinerja rekonsiliasi KPPN, yakni berapa jumlah satker di wilayah kerjanya yang telah melaksanakan rekonsiliasi, yang belum melaksanakan rekonsiliasi dan yang hasil rekonsiliasinya (status rekon datanya) telah SAMA. Sangat disayangkan bahwa dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 tersebut di atas tidak diatur tentang kewajiban KPPN untuk menyampaikan Laporan Monitoring Pelaksanaan Rekonsiliasi satker-satker di wilayah kerjanya dengan menggunakan format yang telah disediakan/dibakukan. Siapapun di antara kita tentu akan mengakui bahwa keberadaan laporan monitoring pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN tersebut sangat bermanfaat dan dapat membantu Kepala KPPN, Kepala Kanwil DJPb dan Direktur APK dalam menetapkan keputusan dan mengambil kebijakan yang terkait dengan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada satker-satker.
Satu hal yang perlu kita perhatikan dalam pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN (demikian pula di Kanwil DJPb dan Dit. APK) adalah bahwa hasil rekonsiliasi, yang biasanya dinyatakan dalam status rekon SAMA atau TDK SAMA, tergantung antara lain pada sejauhmana cakupan rekonsiliasi dilaksanakan oleh KPPN (Kanwil DJPb/Dit. APK). KPPN yang hanya melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanjanya akan mempunyai kinerja rekonsiliasi yang nampak lebih baik dibandingkan dengan KPPN yang melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanja dan data pagunya. Sementara KPPN yang melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanja, pagu, pendapatan (setoran PNBP) dan data UP (Uang Persediaan)nya akan mempunyai kinerja rekonsiliasi yang nampak lebih buruk. Dengan kata lain, kinerja rekonsiliasi KPPN akan nampak semakin buruk apabila ia melakukan rekonsiliasi dengan menggunakan cakupan datanya yang lebih lengkap. Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengawasan agar semua KPPN melaksanakan rekonsiliasi dengan cakupan data sesuai dengan ketentuan cakupan rekonsiliasi yang telah ditetapkan dalam Perdirjen nonor PER-66/PB/2006?
Laporan monitoring pelaksanaan rekonsiliasi sebagaimana telah saya usulkan sebelumnya tentu tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut apabila format laporannya tidak memuat cakupan rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh KPPN. Selain itu, apabila laporan tersebut dibuat secara manual, dengan menggunakan spreadsheet excell misalnya, maka kita tidak bisa menjamin bahwa laporan yang memuat cakupan rekonsiliasi tersebut telah dikerjakan oleh KPPN dengan benar.
Untuk mengawasi atau mengetahui apakah cakupan rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh KPPN telah sesuai dengan ketentuan yang ada, saya mengusulkan dibuatkan Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi yang dapat disajikan melalui menu aplikasi Vera dan memuat identitas BAES1 dan Satker serta unsur-unsur Cakupan Rekonsiliasi (Jenis Data dan Periode Bulan), Jumlah Transaksi Seluruhnya, Jumlah Transaksi yang telah SAMA dan Jumlah Transaksi yang belum SAMA. Berdasarkan informasi tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan yang dapat pula ditambahkan ke dalam form Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi tersebut bahwa status rekon data suatu satker telah SAMA atau masih TDK SAMA. Dengan cara demikian, kita bisa mendapatkan informasi yang lebih obyektif tentang status rekon data satker/KPPN.
Namun, terkait dengan cakupan rekonsiliasi, ada satu hal yang selama ini sering dipertanyakan oleh para petugas rekonsiliasi di KPPN dan juga di Kanwil DJPb, yakni apakah data UP (transaksi keuangan transito/non-anggaran) dan data realisasi pembiayaan termasuk dalam cakupan (unsur-unsur) yang harus direkonsiliasi dengan satker/UAPPA-W. Sebagaimana kita ketahui, menu rekonsiliasi data UP telah lama tersedia pada aplikasi Vera dan juga pada aplikasi Aklap. Namun, sayangnya di sisi lain, pedoman rekonsiliasi dan juga format BAR yang ada dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 sama sekali tidak mengindikasikan tentang perlunya data UP direkonsiliasi dengan satker/UAPPA-W. Sementara itu, realisasi pembiayaan secara jelas memang telah ditetapkan dalam Perdirjen tersebut sebagai unsur-unsur yang harus direkonsiliasi dengan satker. Namun, permasalahan tersebut muncul karena terdapat perbedaan antara unsur-unsur rekonsiliasi dalam Perdirjen yang secara eksplisit menyatakan bahwa realisasi pembiayaan harus direkonsiliasi dan format BAR yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa realisasi pembiayaan perlu direkonsiliasi.
Bagaimanapun, kita semua semestinya sependapat bahwa sepanjang bermanfaat dan tidak ada hambatan serius dalam proses rekonsiliasi antara data SAU dan data SAI maka pada prinsipnya semua data transaksi keuangan yang ada harus kita rekonsiliasi.
Peran Pengembangan Program Aplikasi
Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah upaya pengembangan program aplikasi yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksaan rekonsiliasi mulai dari tingkat UAKPA/KPPN sampai dengan tingkat UAPA/Dit. APK. Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa kita memerlukan pengembangan aplikasi di Kanwil DJPb dan Dit. APK yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan rekonsiliasi data SAU dan data SAI secara internal dengan mudah dan mencetak hasil rekonsiliasi yang TDK SAMA sedemikian rupa sehingga hasil printoutnya dapat dengan mudah disampaikan ke KPPN ataupun ke UAPA/UAPPA-E1/UAPPA-W untuk ditindaklanjuti.
Kembali mengulang apa yang telah saya sampaikan dimuka bahwa aplikasi Vera KPPN juga perlu dikembangkan sehingga ia dapat mencetak Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi yang berfungsi antara lain untuk menguji cakupan rekonsiliasi yang telah dilaksanakan oleh Seksi Vera. Demikian pula, terkait dengan keharusan satker untuk melakukan rekonsiliasi “data akumulasi” dengan KPPN dan menyampaikan ADK laporan keuangannya yang notabene sifatnya juga akumulatif (dari bulan Januari sd bulan ini/terakhir), maka parameter proses kirim data ke KPPN/UAPPA-W pada aplikasi SAI pun perlu disesuaikan agar pelaksanaan rekonsiliasi dan penyampaikan data laporan keuangan ke jenjang unit akuntansi yang lebih tinggi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Tentunya hal yang sama juga berlaku untuk parameter pengiriman data setiap bulan dari KPPN ke Kanwil DJPb/Dit. APK dan dari Kanwil DJPb ke Dit. APK. Pada prinsipnya, saya mengusulkan agar data laporan keuangan yang dikirim tersebut sedapat mungkin terdiri dari satu file pengiriman dimana semua jenis data keuangan, termasuk data pagu DIPA dan SKPA (dengan catatan bahwa pada tahun 2007 SKPA masih diterbitkan), telah ada/terekam di dalamnya.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan rekonsiliasi selama ini, seringkali ditemui status rekon TDK SAMA pada rekonsiliasi data pagu dan data setoran PNBP yang disebabkan oleh kurang terintegrasinya secara baik, termasuk perbedaan acuan yang digunakan, antara aplikasi SPM dan aplikasi SAI dan antara aplikasi SISPEN dan aplikasi SAI. Akibatnya, selama ini tanggal dan dokumen data pagu dan data setoran PNBP tidak dapat dilakukan rekonsiliasi. Pada pengembangan aplikasi berikutnya diharapkan masalah tersebut telah dapat diselesaikan, dan (bila aplikasi-aplikasi tersebut telah terintegrasi dengan baik) semestinya rekonsiliasi data realisasi setoran PNBP antara satker dan KPPN dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan kembali (sebagai catatan, Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 telah menetapkan bahwa semua data realisasi pendapatan yang berasal dari SISPEN, termasuk data setoran PNBP, tidak perlu dilakukan rekonsiliasi).
Hal lain lagi yang perlu saya tekankan dalam tulisan ini adalah banyaknya pilihan menu rekonsiliasi yang tidak disertai pedoman teknis (user’s guide) yang cukup jelas pada aplikasi Vera maupun pada aplikasi Aklap. Kondisi demikian seringkali mengakibatkan kebingungan bagi pengguna aplikasi untuk memilih menu rekonsiliasi mana yang seharusnya digunakannya. Sementara itu, prosedur rekonsiliasi dalam lampiran perdirjen nomor PER-66/PB/2006 tidak menyinggung sama sekali tentang menu-menu rekonsiliasi mana yang diperlukan dan sesuai dengan prosedur pelaksanaan rekonsiliasi yang telah baku. Pada kesempatan ini saya mengusulkan agar pilihan parameter menu rekonsiliasi pada aplikasi tersebut disederhanakan dan disesuaikan dengan pedoman dan cakupan rekonsiliasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, diharapkan para pengguna aplikasi tersebut tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam memilih menu rekonsiliasi (misalnya, data belanja tidak direkonsiliasi hingga kode fungsi, sub-fungsi, program, kegiatan dan sub-kegiatan) yang selama ini kadang sengaja mereka lakukan untuk mempercepat proses rekonsiliasi.
Akhirnya, semoga sumbangan pemikiran yang telah saya sampaikan tersebut di atas dapat merangsang pemikiran-pemikiran baru lainnya yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi kita semua dalam upaya mewujudkan laporan keuangan pemerintah yang kredibel dan tidak disclaimer lagi.