Republik
Tanpa Nakhoda
Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UI
Sumber
: KOMPAS, 31
Januari 2012
Politik di Republik ini seperti bekerja di
dua ruang yang berbeda. Yang pertama adalah ruang politik kelembagaan. Di ruang
ini, politik steril dari segenap isu akar rumput yang kumuh. Fokus utama
politik ruang pertama ini adalah urusan pertumbuhan ekonomi, peringkat laik
investasi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan indeks persepsi korupsi.
Sementara itu, ruang kedua politik bekerja di lapangan tanpa pendingin ruangan.
Politik di ruang kedua bekerja di jalan tol yang disumbat, lahan yang dirampas,
dan bantaran kali yang digusur.
Politik di ruang kedua tidak terstruktur dan
hadir lebih sebagai peristiwa yang mengejutkan, tetapi bermakna. Persoalannya,
mengapa politik ruang pertama yang gilang-gemilang tidak dapat meredam ledakan
sosial di ruang kedua?
Negara
yang Terkepung
Semua teori negara mengatakan betapa negara
adalah transformasi khaos menjadi kosmos. Negara hadir mengubah ketidaktertiban
sosial menjadi ketertiban politik. Transformasi itu sejatinya adalah sebuah
tindak kekerasan. Negara adalah imperatif ketertiban yang dipaksakan kepada
demos yang tak terorganisasi. Ini memiliki dua dampak yang sama dahsyatnya.
Pertama, negara memerlukan legitimasi abadi
agar kekerasan purba yang dilakukannya dapat tetap terlindungi secara etis.
Kedua, negara sejatinya ibarat perawan yang berada di sarang penyamun. Ia
senantiasa dibayang-bayangi demos yang terus mengancam eksistensinya. Imperatif
ketertiban dari negara sewaktu-waktu dapat dibantah oleh demos sehingga
ketertiban politik pun kembali koyak.
Legitimasi direbut negara dengan menjalankan
politik ruang pertama. Penyelenggara negara bekerja 24 jam untuk menggenjot
kesejahteraan umum dengan segenap indikatornya. Ketika pertumbuhan ekonomi di
atas rata-rata, angka kemiskinan menurun, dan korupsi diminimalkan, legitimasi
akan dipanen secara berkala. Maka, logika penyelenggara negara selalu berpijak
pada politik kelembagaan. Wakil menteri diperbanyak. Lembaga ad hoc ditambah.
Staf khusus dibentuk. Sentra pengaduan dibangun. Semua itu dilakukan guna
menuntaskan proyek besar pembangunan kesejahteraan yang notabene berfungsi
sebagai katalisator ledakan sosial.
Persoalannya, berbagai peristiwa belakangan
ini, mulai dari kasus Mesuji hingga pembakaran kantor bupati di Bima,
menunjukkan sesuatu yang berbeda. Politik ruang pertama hanya mendapat tepuk
tangan setiap laporan tahunan di parlemen. Politik di ruang kedua sama sekali
tak mendapat manfaat dari segenap kemajuan yang digelorakan politik ruang
pertama. Buktinya, demos tetap menjadi korban ketakadilan. Demos tak dapat
beribadah secara leluasa. Demos tak dapat menikmati panen dari tanahnya
sendiri. Demos dihukum karena mencuri sandal. Dan, demos pun diupah di bawah
standar hidup layak.
Jangan heran apabila demos bertiwikrama ke
wujud semulanya. Demos kembali mengganas seperti masa hipotetis ketika negara
belum hadir. Legitimasi yang dipupuk di ruang berpendingin gagal meredam akar
rumput yang bergolak panas. Demos tak peduli dengan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang digenjot oleh konsumsi kelas menengah tak berarti
apa-apa bagi demos yang tak sanggup membeli beras.
Frustrasi sosial tanpa katalisasi pun meluas.
Demos kembali teringat pada kekerasan purba yang dilakukan negara. Alhasil,
penyelenggara negara akhirnya terkepung dan legitimasi merosot tajam. Siasat
yang tersisa adalah citra. Itu sebabnya politik dewasa ini disesaki oleh
lembaga pemoles citra. Biro-biro iklan kebanjiran proyek setiap akhir tahun
anggaran. Delusi politik ruang pertama adalah demos akan terhasut dan melunak
oleh citra, kesan, dan advertorial.
Lalu
Bagaimana?
Setiap penyelenggara negara harus paham bahwa
dirinya ibarat seekor tuna di lautan hiu. Dirinya secara permanen selalu berada
di bawah ancaman demos. Apalagi ketika ketakadilan merajalela. Kita harus paham
satu hal. Wibawa tak dapat dibeli. Kebijakan tak dapat diserahkan kepada
konsultan untuk dipikirkan dan dibedaki. Demos semakin dewasa dan cerdas. Mere-
ka dapat membedakan mana loyang mana emas.
Demos mengganas ketika republik seperti
berjalan tanpa nakhoda. Dia mengganas ketika pemerintah daerah tak mau
melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Dia mengganas ketika kepala negara
menyelesaikan masalah dengan instruksi dan lembaga ad hoc. Republik ini gemuk
instruksi tetapi kurus implementasi. Lembaga lahir dan mati silih berganti.
Alih-alih mengatasi kemiskinan struktural, kita lebih suka membuat struktur
baru yang inefisien.
Demos marah besar ketika upah mini- mum
Kabupaten Bekasi yang sudah dipu- tuskan gubernur kemudian digugat asosi- asi
pengusaha. Di mana wibawa pemerin- tah di depan para cukong? Hakim pun,
sayangnya, memenangkan gugatan pengusaha. Di sini Republik kembali berjalan
tanpa nakhoda. Pemerintah pusat hanya bisa bingung dan belingsatan ketika Jalan
Tol Cikampek ditutup demos hampir 20 jam.
Penyelenggara negara terlalu anonim untuk
dijadikan tertuduh. Setiap kapal pu- nya nakhoda. Setiap negara punya kepala
negara. Kepala negara dituntut mengendalikan Republik saat badai. Dia juga
ditun- tut dapat mengantisipasi badai. Badai sosial, ekonomi, dan politik yang
melanda Republik sayangnya direspons sang nakhoda dengan diktum pertumbuhan
ekonomi belaka. Tak ada keputusan yang me- nentukan di saat darurat. Artinya,
nakho- da memiliki jabatan, tetapi tuna-kedaulatan.
Ibarat kapal, negara harus berlayar dengan
panduan yang benar. Konstitusi adalah panduan bagi siapa pun nakhoda Republik
ini. Konstitusi menggariskan bahwa kekayaan alam harus berdampak sosial yang
adil dan merata. Perekonomian tak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar bebas
yang abai terhadap kesenjangan sosial. Sang nakhoda, sayangnya, mengendalikan
Republik dengan panduan sendiri. Tak heran, petani pun korban ketika lahannya
dicaplok pengusaha perkebunan yang dilindungi penguasa. Nakhoda sepertinya
lebih berpihak pada badai ketimbang panduan yang diwariskan pembuat kapal.
Saya ingin memakai bahasa terang. Kita
memerlukan nakhoda baru. Nakhoda yang dapat bekerja di dua ruang politik
sekaligus. Dia yang cakap menjaga stabilitas makroekonomi, juga lihai
menyelesaikan persoalan akar rumput. Nakhoda baru nanti harus sadar dirinya
adalah ikan tuna di lautan hiu. Demos adalah hiu yang tak dapat dihasut dengan
citra. Demos tak silau dengan pertumbuhan ekonomi dan peringkat laik investasi.
Demos hanya kembali tenang apabila kesepakatan upah minimum dilaksanakan, tanah
yang dicaplok dikembalikan, ganti rugi dibayarkan, dan rumah ibadah dapat
didirikan.
Kita harus selalu ingat. Politik bukan
reproduksi kesan, melainkan produksi sebuah kekinian baru. Nakhoda Republik ini
tak dinilai berdasarkan jumlah iklan yang menampilkan wajahnya. Dia dinilai
berdasarkan kemampuan menciptakan kebaruan dari ketiadaan. Kita tiba-tiba rindu
sosok seperti Gus Dur yang mampu menciptakan kekinian baru bagi pluralisme.
Kita rindu politisi yang mampu menciptakan monumen kemanusiaan yang tak lekang
dimakan kala. Kita tak sabar dinakhodai politisi sejati yang memainkan politik
dua ruang secara murni dan konsisten. Kita rindu nakhoda baru. ●