Balai
Kota DKI Jakarta Setelah Ahok Cuti
Daniel HT ;
Kompasianer dari FakFak, Papua
Barat
|
KOMPASIANA, 29 Oktober
2016
Di hari terakhir Ahok masuk kerja sebelum
menjalani masa cuti wajibnya sebagai calon petahana gubernur DKI Jakarta,
warga semakin banyak mendatangi Balai Kota untuk bertemu dan mengadu kepada
Ahok (Berita Satu TV). Untuk pertama kalinya sejak Ahok menjadi Gubernur DKI
Jakarta, di hari pertama dia cuti, Jumat pagi (28/10/2016), suasana di
pendopo Balai Kota DKI Jakarta lain daripada biasanya: sunyi-senyap, tidak
ada satu pun warga yang tampak di sana. Padahal, selama ini, di pendopo Balai
Kota itu, sejak Ahok menjadi gubernur, setiap pagi di hari kerja, selalu dipenuhi warga Jakarta yang mengantri untuk bertemu langsung dengannya,
muka dengan muka, untuk berbagai keperluan, mulai dari yang serius, mengadu
kepada Ahok tentang aneka masalah yang dihadapinya, sampai dengan yang hanya
ingin foto bersama, atau untuk menyampaikan undangan pernikahannya atau
kerabatnya. Setiap hari, saat datang ke Balai Kota, sebelum masuk ke ruang
kerjanya, Ahok selalu dengan sabar dan serius mendengar satu per satu apa
yang diadukan warga kepadanya. Setiap pengaduan itu jika memang layak
dibantu, segera ditindaklanjuti untuk diselesaikan secepat-cepatnya. Untuk
keperluan itu beberapa staf sudah selalu siap siaga untuk menindaklanjutinya
sesuai dengan arahan Ahok. (Kompas.com)
Masalah serius yang diadukan warga kepada
Ahok, misalnya, yang pernah diadukan seorang warga dari rumah susun Tipar,
Cakung, Jakarta, yang bernama Tuminah. Ia datang ke Balai Kota pada 6
September 2016, dan mengadu langsung kepada Ahok bahwa anaknya yang bernama
Niki Pradana diserang orang dengan senjata tajam, lalu ketika hendak
melarikan diri, dia ditabrak mobil, anak itu menderita luka parah, dia
dilarikan ke Rumah Sakit Ananda, Bekasi. Tuminah tidak mampu membayar biaya
perawatan anaknya di rumah sakit swasta itu, ia meminta bantuan Ahok. Saat
itu juga Ahok memerintahkan stafnya agar segera mendatangi rumah sakit itu
untuk membayar biaya perawatannya, dan memindahkan Niki ke RSUD DKI Jakarta.
Saat staf Ahok ke rumah sakit itu, pihak rumah sakit menyatakan Niki tidak
perlu dipindahkan, karena sudah melewati masa kritisnya, dan beberapa hari
lagi sudah boleh pulang. Semua biaya perawatannya pun dibayar Ahok. Sedangkan
masalah lain yang lebih ringan sampai dengan yang aneh-aneh, misalnya ada
warga yang mengadu baru saja putus cinta dan minta nasihat Ahok; ada PNS yang
mengadu karena suaminya selingkuh; ada
seorang perempuan yang minta uang melahirkan, lalu setelah melahirkan,
ia kembali lagi dengan membawa anaknya ke Balai Kota, menemui Ahok, kali ini
untuk minta uang susu; ada warga yang minta uang tiket kereta api untuk
pulang kampung, dan sebagainya.
Menurut salah satu staf Ahok, Kamillus,
menghadapi pengaduan-pengaduan itu, biasanya Ahok akan menyuruh staf lainnya
untuk melakukan survei hari itu juga terhadap beberapa aduan yang butuh
disurvei. Setelah yakin warga butuh bantuan, Ahok akan membantu. Tetapi,
bantuan itu hampir selalu tidak dalam bentuk menyerahkan langsung uang tunai
kepada yang bersangkutan, melainkan langsung dibayarkan kepada pihak yang
berhak menerimannya. "Ada yang mau pulang ke kampung enggak bisa beli
tiket, kami belikan tiket. Kami kasih dalam bentuk tiket, bukan kasih duit.
Uangnya pakai uang operasional, Bapak. Dia enggak pakai sendiri, dia pakai
buat bantu orang," kata Kamillus.
Demikian pula dengan setiap warga yang hanya
ingin foto bersama dengannya, Ahok selalu melayani mereka satu per satu dengan
sabar, untuk undangan pernikahan warga yang disampaikan kepadanya, yang
kebetulan umumnya dari warga kurang mampu, Ahok selalu menyediakan waktunya
untuk sedapat mungkin memenuhi undangan-undangan itu.
Selama Ahok menjalankan cuti wajibnya sampai
dengan selesai (28 Oktober 2016 – 11 Februari 2017, tampaknya suasana di
pendopo Balai Kota itu akan selalu sepi dari warga sebagaimana yang terjadi
pada hari pertama Ahok cuti itu. Karena bagi sebagian warga DKI Jakarta itu,
Ahok tak tergantikan, meskipun sudah ada Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Sumarsono alias Soni sebagai pelaksana tugas (plt)
Gubernur DKI Jakarta. Terbukti dari suasana di Jumat pagi itu, tidak ada satu
pun warga yang datang ke pendopo Balai Kota untuk mengadu kepada plt.
Gubernur DKI itu.
Sumarsono sempat heran ketika tiba di Balai
Kota, melihat tidak ada satu pun warga yang ada di sana, “Kok, tidak ada
warga, ya?” tanyanya kepada petugas di sana, padahal ia juga membuka
kesempatan kepada warga untuk mengadu kepadanya seperti yang dilakukan Ahok.
Suasana
pendopo Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 28
Oktober 2016, di hari pertama Ahok cuti (Kompas.com) menurut petugas yang
biasa bertugas di sana, hanya ada beberapa warga yang datang, tetapi mereka
hanya menitip berkas pengaduannya, lalu pulang. Mereka tahu Sumarsono juga
membuka kesempatan warga mengadu kepadanya seperti yang dilakukan Ahok,
tetapi tetap saja yang mereka mau adalah Ahok, oleh karena itu tidak ada satu
pun warga yang menunggu Sumarsono untuk mengadu kepadanya. Mereka sudah
mempunyai rasa chemestry dengan Gubernur Ahok. Hubungan chemestry antara
warga/rakyat dengan pimpinannya seperti chemistry rakyat DKI Jakarta dengan
Gubernur Ahok memang tidak akan pernah bisa ditiru, dibuat-buat, apalagi
dipaksa-paksakan, karena semua itu berlangsung secara alamiah, spontan.
Seorang pimpinan yang baik dan bijaksana, yang
sungguh-sungguh berbakti kepada rakyatnya, tanpa pamrih apapun, pasti dengan
sendirinya akan membuat rakyat merasa tenteram, merasa dilindungi, diayomi,
dan diperhatikan. Sem Simanjutak,
warga Jakarta Utara, yang tidak tahu kalau Ahok sudah cuti, saat datang di
Balai Kota di Jumat pagi itu, mengaku kecewa berat ketika tahu Ahok tidak
berada di sana karena cuti. Padahal, maksud kedatangannya itu adalah untuk
menyampaikan undangan pernikahan keponakannya untuk Ahok. Sem berkisah, ia
pernah mengadu kepada Ahok karena ijazah anak tetangganya ditahan pihak
sekolah sampai dua tahun karena belum menyelesaikan kewajiban keuangannya
kepada pihak sekolah. Ia lalu menemani tetangganya itu mengadu kepada Ahok di
Balai Kota. Pengaduan itu langsung ditanggapi Ahok, 2-3 hari kemudian ijazah
anak tetangganya itu sudah ditebus, dan bisa diambil.
Asal muasal kebiasaan Ahok setiap pagi
menerima pengaduan warga itu berasal dari rasa cinta dan keperdulian sejati
darinya sebagai seorang pimpinan yang mengayomi. Sebagaimana yang pernah
diungkapkan Ahok, asal muasal dia setiap pagi menerima langsung pengaduan
warga kepadanya di pendopo Balai Kota itu adalah ketika ada saja warga yang
mengatakan kurang puas jika hanya mengadu melalui SMS, yang memang disediakan
Ahok untuk itu. Lalu, Ahok bilang, kalau belum puas, tunggu saja dia di Balai
Kota. Tunggu dia di sana, sebelum masuk ke ruang kerja, nanti bisa bertemu
langsung dia di situ, adukan saja langsung masalahnya, nanti diselesaikan.
Ternyata ucapannya itu benar-benar direspon
warga dengan melakukan apa yang disarankannya itu, dari situlah kebiasaan itu
berlangsung terus, sampai dengan saat Ahok terpaksa menjalani masa cutinya
sebagai calon petahana gubernur DKI Jakarta itu. Ahok sendiri juga langsung
merasa lebih senang jika bisa bertemu langsung dengan warga saat mereka
mengadu kepadanya itu, daripada hanya melalui SMS, karena dengan bertemu
langsung itu dia bisa tahu detail pokok masalahnya. Lagi pula kata Ahok:
“Kalau lihat muka orang kan, bisa ketahuan bohong enggak-nya. Dari matanya
ketahuan, laporan dia benar atau enggak-nya."
Sebagai manusia biasa, mungkin saja terkadang
ada rasa jenuh Ahok menjalani rutinitas seperti itu, tetapi ketika hal itu
ditanyakan kepadanya, Ahok spontan menjawab: "Namanya juga jadi pejabat,
pelayan. Ya begitu, mau gimana lagi."
Kecintaan Ahok dengan pekerjaannya sebagai
gubernur “pelayan rakyat” itu bukan sekadar slogan, tetapi benar-benar sudah dibuktikan oleh
Ahok selama dua tahun lebih masa baktinya itu, itulah sebab pula dia merasa
keberatan ketika dipaksakan untuk cuti dengan alasan harus memenuhi ketentuan
formal Undang-Undang Pilkada 2016, yang menetapkan calon petahana kepala daerah
wajib cuti selama masa kampanye pilkada (berkampanye atau tidak, harus cuti),
apalagi masa cuti itu terlalu lama: sampai empat bulan! Oleh karena itulah Ahok pun mengajukan uji
materi terhadap Pasal 70 Ayat 3 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada, yang mengatur ketentuan tersebut, ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Ahok mengharapkan MK mengabulkan permohonannya itu dengan mengubah
ketentuan tersebut menjadi cuti hanya wajib jika calon petahana kepala daerah
hendak menjalani kampanye. Jika tidak kampanye, ia boleh menjalankan tugas
jabatannya sebagai kepala daerah seperti biasa. (Baca artikel: MK Seharusnya
Menerima Permohonan Uji Materi dari Ahok)
Ahok sangat ingin tetap bekerja, terutama saat
pembahasan RAPBD DKI 2017 yang rawan dengan pencoleng-pencolengnya. Ia juga
telah menyatakan tekadnya bahwa jika MK mengabulkan permohonan uji materinya
itu, maka ia akan kembali bekerja seperti biasa. Menteri Dalam negeri Tjahjo
Kumolo juga sudah menyatakan bahwa jika MK mengabulkan permohonan uji materi
Ahok, dan berlaku surut, maka ia akan mencabut surat keputusannya (SK)
tentang plt kepala daerah itu. Dengan demikian pengangkatan plt Gubernur DKI
Jakarta dibatalkan, dan Ahok kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif.
Apalagi sesungguhnya pengangkatan plt kepala daerah berdasarkan SK Mendagri
itu rawan bermasalah secara hukum, karena di dalam SK itu disebutkan bahwa
plt kepala daerah diberi kewenangan membuat keputusan strategis, termasuk
penentuan APBD. Padahal Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dengan jelas menentukan: Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang
mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak
pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi
anggaran. ●
|