Islamofobia
di Negeri Muslim Haedar Nashir ; Ketua Umum PP Muhammadiyah |
REPUBLIKA, 28
Agustus 2021
Sungguh berani
dan ironis. Orang makin terbuka mengolok-olok Islam dan umat Islam di negeri
Indonesia tercinta. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan tercatat
sebagai negara muslim terbesar di dunia. Kenapa
sebagian orang begitu terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Islam dan
umat Islam? Ketika sejatinya Islam dan mayoritas kaum Muslim Indonesia
menampilkan diri dengan sikap moderat yang mengedepankan damai, toleran,
menyatu, maju, dan meng-Indonesia! Islam
dikatakan agama impor, “penjajah”, dan “agama perang” dengan nada sinis dan
apologi. Menghina Alquran dan mengganti sebutan Allah dengan “yang lain”. Menghina Nabi
Muhammad dengan berbagai julukan buruk, bahkan disebut “pendusta” dan
“berteman jin”. Umat Islam juga dilecehkan dengan nama “kadrun” (kadal gurun)
dan sebutan lain yang merendahkan. Pelakunya
oknum non-Muslim maupun Muslim. Di Pekanbaru yang menghina Alquran seorang
Muslim. Ada ustaz menyebut Nabi Muhammad “dekil”, “kotor”, dan
berlatarbelakang jelek. Kadang ingin memberi tekanan pada aspek ajaran
tertentu dengan logikanya sendiri, tetapi hasilnya bias dan salah pandang
tentang Islam. Kalau sebutan
Islam dan umat Islam sebagai “radikal”, “ekstrem”, dan “teroris” sudah lama
dan membuana. Mengukur kebenaran ajaran Islam dengan paradigma lain yang
sejatinya memang tidak sejalan dan bertentangan dengan Islam. Auranya semua
bermuatan pada penyakit lama, Islamofobia, yaitu sinisme, prasangka buruk,
salah paham, ketidaksukaan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam. Sama halnya,
pelecehan dan narasi kebencian juga sering menimpa agama lain di negeri manapun.
Menghina agama dan pemeluknya. Pelakunya mirip, yakni oknum pindah agama,
dari pemeluk agama yang sama, maupun dari penganut beda agama. Mengukur agama
lain dengan agamanya sendiri. Inilah masa ketika orang sangat terbuka dan
leluasa menista agama dan pemeluk agama. Islamofobia masif Islamofobia
adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka, ketakutan, dan
kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam. Istilah ini sudah lama berkembang awalnya
di Barat dan dalam era mutakhir menguat menjadi pandangan global setelah
tragedi serangan teroris 11 September 2001. Pelaku teror
itu beragama Islam. Sejak itu berkembang Islamofobia yang mendiskriminasi
umat Islam bukan hanya dalam hal beragama, tetapi dalam aspek kehidupan lain
di ruang publik. Islamofobia
merupakan pandangan anti Islam, baik yang dilakukan secara terbuka maupun
tersembunyi. Apa yang terjadi di Denmark, Norwegia, Swedia, dan Prancis dalam
kurun terakhir dengan kampanye terbuka anti Islam, Nabi Muhammad, imigran
Muslim, dan atribut keislaman lainnya merupakan Islamofobia yang makin
terbuka. Di ranah
global maupun di Tanah Air Indonesia kecenderungan alergi dan anti Islam ini
bercampur aduk dengan berbagai masalah yang tidak sederhana. Termasuk terkait
dengan kontestasi politik aliran. Apalagi di
masyarakat Barat yang liberal-sekuler yang menempatkan agama di ranah privat
dan domestik dengan kecenderungan anti-agama (agnotis) dan anti-tuhan (ateis)
yang memiliki kebebasan untuk hidup di masyarakat dan dijamin kebebasannya. Kehadiran media
sosial makin membuka ruang segala ekspresi dalam kehidupan beragama,
berbangsa, bernegara, dan relasi antar manusia secara global, sehingga setiap
orang atau kelompok seolah boleh bependapat dan berbuat apa saja. Sebagian
orang bahkan sengaja berbuat kontroversi, termasuk menghina agama dan
pemeluknya, demi mengejar viral untuk popularitas dan kepentingan diri secara
menerabas. Medsos menjadi
sumber masalah baru dalam relasi antarmanusia yang sering menyebarkan
sentimen-sentimen keagamaan, kesukuan, ras, dan golongan atau SARA. Islamofobia
makin menguat dan memperoleh tenpat dalam multikulturalisme yang menjunjung
tinggi nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan toleransi sebagai ideologi
dunia yang saat ini dominan. Menurut Derya Iner (2018), kelompok Islamofobia
ada yang secara fanatik anti Muslim dengan mengampanyekan antimasjid,
antimakanan halal, dan segala atribut keislaman. Sebagian ada pula yang tidak
terang-terangan dalam menunjukkan sikap tidak suka terhadap Islam dan
orang-orang Islam. Islamofobia
itu secara sosiologis masif, berimpitan dengan alam pikiran
liberalisme-sekuler atau humanisme-sekuler. Di antara orang yang menunjukkan
pandangan dan sikap anti atau tidak suka pada Islam tidak mengakui sebagai
penganut Islamofobia. Salman Rushdie
dan para pendukungnya pada 2006 mengumandangkan manifesto berjudul
"Together facing the new totalitarianism", yang menyebutkan
Islamofobia adalah "konsep buruk yang mencampurkan kritik terhadap Islam
sebagai agama dengan stigmatisasi terhadap para penganutnya.". Kelompok anti
Islam atau Islamofobia tidak selalu terbuka dan verbal, mereka terselebung
bermantelkan paham multikulturalisme yang naif seperti paham toleransi, pluralisme,
demokrasi, dan hak asasi manusia yang memandang Islam dan pemeluknya sebagai
sumber masalah kekerasan, terorisme, dan intoleransi dengan tolok ukurnya
sendiri. Di Barat
maupun di Indonesia, Islamofobia sering berimpitan dengan isu melawan
“radikalisme Islam”, yang memandang Islam dan Muslim sebagai sumber atau
terkait intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan kekerasan. Mereka yang
menganut paham anti terhadap radikalisme Islam sering terjebak pada
Islamofobia. Respons Islam Penganut
Islamofobia dalam teori maupun praktik tidak otomatis mereka yang beragama
non Islam, agnotis atau alergi terhadap Islam bahkan ateis, boleh jadi
dilakukan pula oleh mereka yang beragama Islam. Derya Iner (2018) melakukan
kajian bahwa Islamofobia dapat ditemukan di dalam isu dan pandangan
radikalisme sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme
Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang
dicurigai. Islamophobia
dan Islamist radicalism merupakan ideologi yang bertahan dan berkembang
dengan melakukan penyalahan (blaming), fitnah (defaming), dan pengecaman
terhadap pihak lain (other). Islamofobia,
baik yang terpisah maupun terkait melawan “Islam radikal” merupakan pandangan
bias dan sarat prasangka buruk terhadap Islam mesti diakhiri, sebab tidak
menguntungkan siapa pun. Pendukung multikulturalisme tidak diuntungkan oleh
Islamofobia. Sebab, arus
utama Islam dan kaum Muslim di dunia lebih-lebih di Indonesia prodemokrasi,
hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi sehingga dapat saling mendukung
dan bekerja sama. Kuncinya berdialog agar tidak saling memaksakan alam
pikirannya secara absolut dan membuka garis toleransi ketika satu sama lain
berbeda. Umat Islam
tentu dirugikan oleh Islamofobia karena menjadikan dirinya sebagai objek
diskriminasi dan perlakuan buruk. Padahal Islam pada dasarnya agama damai dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal yang rahmatan
lil-‘alamin. Namun, Islam
juga penting dihormati ketika memiliki dan menyebarluaskan nilai ajarannya
yang khusus yang boleh jadi berbeda dengan alam pikiran multikulturan, liberalisme,
dan humanisme sekuler. Cara berpakaian Muslimah yang khas, antiminuman keras,
hukum pernikahan, dan praktik Islam lainnya yang sejatinya ajaran-ajaran
Islam itu untuk menjaga atau memelihara kehidupan yang berkeadaban. Namun, kaum
Muslim dalam menghadapi Islamofobia tentu mesti dengan sikap cerdas dan
pandangan luas sesuai dengan ajaran damai Islam. Sejauh yang mengangkut
penghinaan, kebencian, penodaan, dan segala bentuk penistaan terhadap Islam,
Nabi, dan segala aspek keislaman maka dapat dilakukan melalui jalur hukum
yang semestinya. Jauhi sikap
main hakim sendiri yang bertentangan dengan hukum dan nilai luhur kemanusiaan
semesta. Bersamaan dengan itu penting terus mempromosikan dan manampilkan
pandangan serta praktik Islam yang mencerdaskan, mendamaikan, menyatukan,
mencerahkan, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Menurut Keskin
& Tuncer (2018), dalam konteks radikalisme-ekstremis, misalnya, narasi
keagamaan yang menyimpang yang berakar dalam teologi Islam tidak dapat
diabaikan sebagai faktor yang berkontribusi dalam terjadinya sebuah tindakan
kekerasan. Menganalisis
masalah dari sudut pandang teologis menjadi sebuah keharusan untuk memahami
pola pikir yang ada di balik skenario ini. Namun hal ini sama sekali tidak
membuat hubungan langsung antara Islam dan penyebab ekstremisme kekerasan,
tetapi justru menunjukkan bahwa interpretasi yang salah dari kitab suci Islam
berkontribusi terhadap radikalisasi umat Islam, khususnya pada kaum pemuda
Muslim. Sejumlah
kajian menunjukkan munculnya Islamofobia tidaklah berada dalam kondisi yang
vakum. Bagi pihak yang memang pada dasarnya sudah tidak suka kepada Islam,
maka Islamofobia akan terus tereproduksi. Bersamaan
dengan itu, baik terkait keagamaan maupun aspek kehidupan lainnya,
Islamofobia akan terus mengalami politisasi oleh banyak kepentingan
sebagaimana halnya fenomena radikalisme Islam. Menurut Schmid
(2013), pada beberapa tahun terakhir, istilah 'radikalisasi', layaknya
istilah terorisme, menjadi sangat terpolitisasi, yaitu telah digunakan dalam
permainan politik pelabelan (labeling) dan penyalahan (blaming). Termasuk
pemakaian tolok ukur Barat dengan paham multikulturalisme yang
liberal-sekuler. Bagi kaum
Muslimin sendiri penting untuk saksama dan waspada. Hadapi pandangan negatif
tentang Islam seperti Islamofobia dan isu radikalisme-ekstremis Islam dengan
orientasi muwajahah (aksi konstruktif) baik dalam ranah pemikiran maupun
praktik berislam. Penting terus
menyuarakan dan mempraktikkan keteladanan Islam yang berkeadaban mulia dan
rahmatan lil ‘alamin sebagaimana misi kerisalahan Nabi akhir zaman. Umat
Islam melalui para mubaligh, ulama, dan tokohnya penting makin bijak dan
saksama dalam menarasikan pesan-pesan Islam agar tidak menjurus atau membawa
muatan-muatan keagamaan yang radikal-ekstrem, yang membenarkan tudingan pihak
lain dalam bias radikalisme Islam dan Islamofobia. Buktikan bahwa
kaum Muslim, baik pribadi maupun kolektif, adalah uswah hasanah dalam segala
aspek kehidupan untuk membangun peradaban mulia di muka bumi ini! ● Sumber : https://www.republika.co.id/berita/qyium19525000/islamofobia-di-negeri-muslim |