Arswendo
Atmowiloto, Stamina Berkarya, dan
Tiga Kata Bertuah Yus
Ariyanto : Kontributor Tirto.id |
TIRTO.ID, 26 November 2022
Arswendo Atmowiloto bukan melulu perkara tabloid
Monitor yang menghebohkan itu. Ia adalah sosok di balik sangat banyak karya –
cerpen, esai, puisi, sandiwara, novel, skenario sinetron/film. Tema yang dirambahnya beraneka. Ia menulis cerita
silat Senopati Pamungkas. Cerita ini sebelumnya dimuat di majalah HAI pada
1984. Dua tahun kemudian, dijadikan buku. Berlatar belakang zaman Singosari, epos ini
membentangkan intrik-intrik di dalam istana, luapan asmara, juga rivalitas di
antara para pendekar. “….Senopati Pamungkas diselesaikan karena,
terutama, saran-saran dari mereka yang menganggap perlu hadirnya kisah para
pendekar yang besar dari tanah tercinta, dengan kaki menginjak sawah, hutan,
laut, keraton,” kata Arswendo di sampul belakang buku tersebut. Tiga tahun sebelum kisah ini hadir di HAI,
Arswendo meluncurkan Dua Ibu. Tidak ada jurus-jurus silat yang dimunculkan
atau sikut-sikutan perebutan kekuasaan. Novel ini mengisahkan problematika
bocah beranjak remaja, Mamid, dengan perempuan yang melahirkan dirinya dan
perempuan lain yang membesarkan dirinya. Pada 1979, Arswendo mengikuti program penulisan
kreatif di University of Iowa, Amerika Serikat. Jauh dari keluarga, ia
terkenang jasa sebuah keluarga yang ikut membesarkan dirinya. Pada saat
bersamaan, ia teringat ibu kandungnya. “Kedua tema itu saya rangkaikan dan lahirlah Dua
Ibu. Ibu dalam pengertian saya adalah seorang yang melahirkan dan seorang
yang memberikan kebahagiaannya sendiri untuk orang lain dengan rasa bahagia,”
tulis Arswendo dalam esai “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif” (1982). Dunia priyayi Jawa pun dijamahnya dalam Canting
(1986). Dengan lancar dan memukau, Arswendo menggambarkan kehidupan priyayi
Jawa pada awal 1960-an sampai 1970-an, komplet dengan deskripsi alam pikiran
dan nilai-nilai etis yang mereka peluk. Hal lain yang juga menakjubkan adalah lukisan
tentang pasar yang menjadi “kantor” buat perempuan, ketika di rumah mereka
hanya menjadi “pelayan” suami. Juga untuk Tuginem alias Bu Bei, anak buruh
batik yang “naik kelas” ke lingkungan menak Solo. Bukan Kaleng-kaleng Produktivitas mencederai kualitas? Pada 1972,
Arswendo memenangkan Hadiah Zakse untuk esai bertajuk "Buyung-Hok dalam
Kreativitas Kompromi." Naskahnya, Penantang Tuhan dan Bayiku yang
Pertama, memperoleh penghargaan dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1972 dan 1973. Pada 1975, dalam sayembara yang sama, dia
menggondol hadiah harapan atas drama Sang Pangeran. Dramanya yang lain, Sang
Pemahat, memperoleh Hadiah Harapan I Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara
Anak-anak DKJ 1976. Pada dekade 1980-an, jumlah penghargaan terus
bertambah. Dua Ibu menyabet hadiah Yayasan Buku Utama pada 1981. Pada 1987,
Arswendo memperoleh Hadiah Sastra ASEAN. “Saya menulis karena bisanya cuma menulis. Sejak
SMA saya tidak bisa nerusin sekolah, nggak punya duit, maka ya menulis…sejak
kelas dua SMA saya sudah menulis dan laku,” kata Arswendo kepada majalah
sastra Horison edisi Januari 1989. Menulis sudah menjadi kebutuhan. Ia mengaku tidak
pernah tiga hari berturut-turut tidak menulis. Ia merasa “tidak hadir” jika
tidak menulis. Pemicunya adalah kegemaran membaca. Saat bocah,
ia menjadi anggota tempat penyewaan buku di kampung halamannya di Solo, Jawa
Tengah. Ia membaca buku apa saja. Nafsu membaca jauh melebihi kemampuan
finansialnya. Kegemaran ini juga yang membuatnya sering menilap buku-buku
sewaan tersebut. “Ini semua adalah latar belakang modal yang luar
biasa. Tanpa banyak membaca, keinginan saya untuk menjadi pengarang tak akan
pernah lahir,” tulis Arswendo dalam “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif.” Arswendo lahir di Solo, 26 November 1948. Ia anak
ketiga dari enam bersaudara. Nama aslinya Sarwendo Atmowiloto. Ayahnya,
pegawai balai kota Solo, wafat ketika Arswendo masih di sekolah dasar. Ibunya
menyusul sang ayah pada 1965. Alkisah, ketika di SMA, iseng-iseng Arswendo
membuat cerpen. Ia mengirim ke Gelora Berdikari, majalah mingguan di Solo.
Cerpen itu dibikin dalam rangka mengejar cinta seorang dara yang menjadi
primadona di sekolahnya. Eh, ternyata dimuat. Gelora Berdikari sebenarnya menggunakan bahasa
Indonesia. Namun, ada halaman yang dijatahkan untuk karangan-karangan
berbahasa Jawa – seperti halnya cerpen pertama Arswendo tersebut. Sejak itu karangan-karangan lain menyusul di
berbagai media. Semula tulisan-tulisannya selalu ditampik. Tapi ketika
memakai nama Arswendo, bukan Sarwendo, tulisannya diterbitkan. "Nama Sarwendo tak membawa berkah
rupanya," ujar pria yang ketika kecil ingin menjadi dokter ini seperti
dimuat Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984. Ia kuliah di IKIP Solo tapi berhenti karena
ketiadaan duit. Setelah setop kuliah, Arswendo sempat bekerja di pabrik bihun
dan pabrik susu. Pun pernah menjadi pemungut bola tenis. Urusan tulis-menulis
jalan terus. Karier kewartawanan dimulai ketika muncul harian
berbahasa Jawa, Dharma Kandha dan Dharma Nyata di Solo. Sambil mencari nafkah
di media tersebut, ia menjadi koresponden lepas majalah TEMPO. Arswendo merantau ke Jakarta pada 1973 saat
diminta menjadi redaktur pelaksana majalah humor Astaga. Dari Astaga yang tak panjang usia, Arswendo
mengelola Midi, majalah remaja milik Kelompok Kompas Gramedia. Midi ditutup,
HAI terbit dan Arswendo diminta memimpin. Ketika mengelola HAI ini,
produktivitas melesat luar biasa. Serial Imung, Serial Kiki dan Komplotannya,
dan Senopati Pamungkas lahir di periode ini. Ia juga menulis dengan nama samaran Titi Nginung.
Di bawah nama ini, meluncur di antaranya novel Opera Jakarta, Opera
Bulutangkis, Opera Pencakar Langit, dan Opera Jakarta-Hong Kong. Ayah tiga anak ini menjangkau pula dunia televisi
dengan menulis skenario Jendela Rumah Kita. Ini serial drama yang banyak
dipuji dan tayang pada 1989-1990 di TVRI. Serial ini membuat Dede Yusuf
kondang. Demikian pula Desy Ratnasari yang nongol di beberapa episode. Lalu, Arswendo menjadi salah seorang penulis
skenario serial Aku Cinta Indonesia (ACI) yang merupakan buah kerja sama
Departemen Penerangan denga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sinetron
ini disambut hangat publik – yang saat itu hanya bisa menonton TVRI, belum
ada televisi swasta. Sinetron ini tayang April 1985 sampai awal 1990-an. Bahkan saat dibui 5 tahun gara-gara Monitor,
Arswendo menghasilkan puluhan tulisan pendek, tiga skenario, dan tujuh novel.
Banyak di antaranya dengan nama samaran. Formula “Tiga Kata” Dalam “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif,”
Arswendo mengungkapkan tiga hal yang selalu dipegangnya saat berkarya. Yaitu,
jujur, kreatif, dan terbuka. Jujur, yaitu menyampaikan apa yang hendak
dikatakan. Ia mengaku tidak peduli apakah kelak tulisannya dianggap bernilai
sastra atau tidak. Ia ogah dipasung beban itu. “Saya harus jujur pada proses penciptaan. Tidak
ada gangguan atau bayangan untuk mengabdi pada media tertentu,” tulis suami
Agnes Sri Hartini ini. Perihal kreatif, tentu tak jauh dari ikhtiar
mencoba cara atau gagasan baru. Arswendo jelas nyaris identik dengan
kreativitas. Satu contoh, ia mengasuh rubrik “Pergaulan Sehat” di majalah HAI
yang berisi pendidikan seks. Ia cuek saja saja meski kritik menghampiri
karena meyakini hal-ihwal seksualitas penting diketahui remaja dengan benar. Meski tak langsung soal penulisan, contoh “kreativitas”
lain adalah keputusan majalah HAI untuk menghapus rubrik ramalan bintang atau
astrologi. “Rasanya semua majalah, dan tidak usah remaja,
asal ada bau hiburan, ada rubrik perbintangan…Tapi karena soal pilihan
against the mainstream… Jatuhlah putusan bahwa rubrik semacam itu tidak ada
di HAI. Alasannya bisa dibikin panjang… remaja disadarkan berpikir rasional,
tidak boleh cengeng dan mencengengkan diri kepada tahayul, dan tak usah
dilibatkan nasib yang menjadi bagian penerbitan buku-buku model stensilan di
pinggir jalan,” tulis Arswendo di HAI No. 37/1988. Terbuka maksudnya terkait kritik dan pujian. Pada
awal 1970-an, ia rajin menyambangi para penulis senior untuk mencari masukan,
entah kritik atau pujian. “Saya pergi ke Jogja melihat Darmanto Jatman
berceramah. Ia meledek cerpen saya tapi saya bangga. Orang sebesar Darmanto
toh membaca cerpen-cerpen saya,” akunya. Darmanto adalah penyair dan esais
yang berkiprah di Semarang sambil menjadi dosen di Fakultas Psikologi Undip. Ia juga menemui Sapardi Djoko Damono, Sanento
Juliman, Motinggo Boesje, dan sejumlah penulis lain. Pada gilirannya, ia pun menjelma panutan para
kreator muda. Ketika Arswendo berulang tahun ke-70, sutradara dan penulis
skenario, Salman Aristo, menulis status di akun Facebook-nya. Aristo mengaku
pernah menyampaikan pertanyaan banyak orang: kok bisa Arswendo sangat
produktif. Sambil tertawa, Arswendo menjawab, “Waktu 24 jam
itu banyak sekali. Coba deh, pakai dengan baik.” Mulai hari itu, ungkap Aristo, dua kalimat di
atas “jadi mantra dalam hati”-nya. Tak sampai setahun kemudian, Arswendo wafat pada
19 Juli 2019 lantaran kanker prostat. Rampung sudah hidup yang jujur,
kreatif, dan terbuka. ● Sumber :
https://tirto.id/arswendo-atmowiloto-stamina-berkarya-dan-tiga-kata-bertuah-gy7l |