Profil
Chairil Anwar adalah Penyair Indonesia terkenal yang lahir pada 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara. Penyair yang sangat terkenal dengan karyanya berjudul “Aku” ini meninggal dunia di usia yang masih cukup muda, tepatnya pada 28 April 1949 di Jakarta.
Chairil Anwar lahir dari pasangan Toeloes yang merupakan mantan bupati di salah satu kota di Riau, dengan seorang wanita bernama Saleha yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Sutan Sjahrir. Setelah cukup usia, Chairil Anwar masuk ke sekolah dasar khusus pribumi, yaitu HIS atau Hollandsch Inlandsche School. Setelah selesai menempuh pendidikan di HIS, ia melanjutkan ke MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setara dengan SMP. Menurut beberapa catatan sejarah, Chairil Anwar tidak pernah menyelesaikan pendidikannya. Namun, dia memiliki jiwa sastra yang sangat tinggi, terbukti dengan seringnya ia menghabiskan waktu untuk membaca beberapa karya pengarang internasional yang sangat terkenal. Chairil Anwar pun menguasai beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, dan juga bahasa Jerman .
Saat Chairil Anwar menginjak usia 20-an, Chairil Anwar memiliki gaya hidup yang kurang teratur. Hal ini membuat kondisi tubuhnya menjadi kacau dan sangat lemah, sehingga beberapa penyakit mulai menggerogoti kesehatannya. Saat usianya hampir menginjak 27 tahun, Chairil Anwar meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya. Ia kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak dan selalu diziarahi oleh banyak pengagumnya sampai saat ini.
Karya Sastra
Chairil Anwar mulai menyukai dunia sastra sejak usia belasan tahun. Ia pun sudah mulai menulis syair dan puisi saat usianya masih menginjak remaja, tapi karya-karya pertamanya tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Karya Chairil Anwar yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun 1942 adalah karya yang membuat namanya dikenal banyak orang. Laki-laki yang sempat bekerja sebagai penyiar radio Jepang yang berpusat di Jakarta ini selalu menciptakan karya yang bertema kematian.
Berikut ini adalah beberapa karya Chairil Anwar yang sempat ia ciptakan selama masa hidupnya dan yang sudah dipublikasikan.
1. Aku Ini Binatang Jalang, merupakan koleksi sajak yang dibuat Chairil Anwar dari taun 1942 sampai tahun 1949.
2. Deru Campur Debu, karya Chairil Anwar yang diterbitkan dalam sebuah buku pada tahun 1949.
3. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, karya Chairil Anwar pada tahun 1949.
4. Tiga Menguak Takdir , karya ini merupakan kumpulan sajak dan puisi yang dibuat Chairil Anwar bersama Rivai Apin dan juga Asrul Sani.
Itulah beberapa karya Chairil Anwar yang banyak dikenal oleh masyarakat, terutama para sastrawan Indonesia. Masih sangat banyak karya ciptaan penyair yang dinobatkan sebagai pelopor puisi modern Indonesia ini. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, karya Chairil Anwar pun diterjemahkan dalam bahasa asing. Hal ini membuktikan bahwa karya penyair yang sering dijuluki Si Binatang Jalang ini memang diakui oleh dunia.
Apresiasi Puisi
Tiga puluh tujuh puisi yang disajikan di sini hanya merupakan sebagian dari puisi-puisi Chairil Anwar. Beberapa puisi terkenal Chairil sengaja disimpan di urutan atas, walaupun urutan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan sebagai daftar peringkat. Penyertaan daftar isi puisi di sini hanya dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengetahui puisi-puisi yang tersaji di sini dan agar dapat mengakses puisi yang dikehendaki dengan lebih cepat.
Sama seperti para penyair lainnya, puisi-puisi Chairil juga memotret semangat zamannya. Pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, dan perang kemerdekaan telah mempengaruhi lahirnya puisi-puisi Chairil Anwar seperti Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, dan Prajurit Jaga Malam. Namun, sama dengan sejumlah penyair lainnya, sebagian puisi Chairil juga berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya dan juga perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan dan (terlebih lagi) kematian. Puisi-puisi tentang kisah dan renungan percintaan Chairil dapat dinikmati di Mirat Muda Chairil Muda, Sajak Putih, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Sia-Sia. Sedangkan puisi-puisinya yang bicara tentang kematian bisa disimak antara lain di Yang Terampas dan Yang Putus, Cintaku Jauh di Pulau, dan Suara Malam.
Di antara puisi-puisi Chairil, Aku adalah puisi yang paling dikenal luas oleh masyarakat. Dalam puisi tersebut kita bisa mengenal karakter Chairil yang keras dan keinginan kuatnya untuk berjuang dan tetap bertahan hidup. Chairil mengaku “Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang/..Hingga hilang pedih peri/…Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi”
Chairil juga merekam peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede, Kabupaten Karawang, pada 9 Desember 1947 dalam puisinya Krawang-Bekasi. Dalam puisi ini Chairil menyampaikan pesan dari korban peristiwa pembantaian tersebut “Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian/Kenang,kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”
Dalam beberapa situs di internet kita bisa menemukan puisi Chairil dengan judul Maju. Namun apabila diamati ternyata puisi tersebut merupakan bagian dari puisi Diponegoro. Dengan kata lain, kemungkinan puisi Diponegoro merupakan pengembangan lebih lanjut dari puisi Maju. Dalam puisi Maju kita juga tidak dapat menemukan secara jelas kaitannya dengan sosok Diponegoro, sehingga puisi tersebut dapat dibaca dan dipahami secara terpisah.
Tidak seperti Rendra atau Taufiq Ismail yang kadang menulis puisi yang sangat panjang, Chairil termasuk penyair yang hemat kata. Tidak pula seperti Rendra dan Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim penguasa, Chairil lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Hal tersebut bisa mengerti karena tidak seperti Rendra atau Taufiq, di mata penguasa Chairil bukanlah apa-apa. Maksudnya, pada waktu itu Chairil bukanlah tokoh yang secara aktif terlibat dalam perjuangan melawan Belanda, walaupun secara jelas ia mendukung perjuangan para tokoh pendiri bangsa. Ia menjadi penyair terkenal karena kemudian H.B. Jasin dan sejumlah pengamat sastra lainnya menemukan keping-keping puisinya yang dimuat di sejumlah media.
Kumpulan Puisi
1.
A k u
(Semangat)
2.
Krawang-Bekasi
3.
Diponegoro
4.
D o a – Kepada Pemeluk Teguh
5.
Derai Derai Cemara
6.
Yang Terampas dan Yang Putus
7.
Cintaku Jauh di Pulau
8.
Senja di Pelabuhan Kecil -- Buat Sri
Ajati
9.
Malam di Pegunungan
10.
Sajak Putih
-- Buat Tunanganku Mirat
11.
Di Mesjid
12.
I s a -- Kepada
Nasrani Sejati
13.
Rumahku
14.
Penerimaan
15.
Merdeka
16.
Prajurit Penjaga Malam
17.
Persetujuan dengan Bung Karno
18.
Tak Sepadan
19.
Hukum
20.
Taman
21.
Mirat muda, Chairil muda
22.
Lagu Orang Usiran
23.
Buat Nyonya N
24.
Kupu Malam dan Biniku
25.
Penghidupan
26.
Aku Berkisar antara Mereka
27.
Ajakan
28.
Nisan -- untuk Nenekanda
29.
Sorga
30.
Suara Malam
31.
Malam
32.
Sia-Sia
33.
Pelarian
34.
Selamat Tinggal
35.
Hampa – Kepada Sri yang sangsi
36.
Sendiri
37.
Aku Berada Kembali
A k u (Semangat) *)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
1945
*) Puisi ini mempunyai dua judul, yaitu “Aku”
dan “Semangat”. Judul aslinya adalah
“Aku”, namun pada masa itu lalu diubah oleh Pusat Kebudayaan menjadi “Semangat”
untuk menyesuaikan dengan semangat zaman dan supaya lolos sensor. “Aku” mempunyai interpretasi individualistis,
sedangkan “Semangat” mempunyai interpretasi sebagai perjuangan kolektif yang
dibutuhkan pada masa itu.
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara
Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk
kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa
berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda(s)
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
1943
D o a
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
1943
Derai Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Yang Terampas dan Yang Terputus
Kelam dan angin lalu mempesiang
diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d)
sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam
diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan
peristiwa berlalu beku
1949
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku
tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Malam di Pegunungan
Aku berpikir: Bulan inikah yang
membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Sajak Putih
Buat Tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
1944
Di
Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
1943
I s a
Kepada Nasrani Sejati
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya : aku salah ?
kulihat tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
1943
Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
1943
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan
berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan
berbagi.
1943
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
1943
Prajurit
Penjaga Malam
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku
selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu !
1948
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari
kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat
satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
1948
Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
1943
Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul. Banyak
menangkis pukul
Bungkuk jalannya -- Lesu
Pucat mukanya -- Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan Jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa : Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti !
1943
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding
permadani
halus lembut dipijak kaki
Bagi kita itu bukan halangan
Karena
dalam taman punya kita berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan
‘nusia
1943
Mirat
Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang
sebelah
Ketawa diadukan giginya pada mulut
Chairil,
dan bertanya : “Adakah, adakah kau
selalu mesra dan aku bagimu indah ?”
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling
berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati
hilang secepuk segan, hilang secepuk
cemas
hiduplah Mirat dan Chairil dengan
deras
menuntut tinggi, tidak setapak
berjarak
dengan mati
1949
Lagu
Orang Usiran *)
Misalkan, kota ini punya penduduk
sepuluh juta
Ada yang tinggal dalam gedung, ada
yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat buat kita,
sayangku, tapi tidak ada tempat
buat kita
Pernah kita punya negeri, dan
terkenang sayu
Lihat dalam peta, akan kau ketemu di
situ
Sekarang kita tidak bisa ke situ,
sayangku, sekarang kita tidak bisa
ke situ
Di taman kuburan ada sebatang pohon
berdiri
Tumbuh subur saban kali musim semi
Pas jalan lama tidak bisa ditiru,
syangku, pas jalan lama tidak bisa ditiru
Tuan konsol hantam meja dan berkata :
“Kalau tidak punya pas jalan, kau
resmi tidak ada”
Tapi kita masih hidup saja, sayangku,
tapi kita masih hidup saja
Datang pada satu panitia, aku
ditawarkan kursi
Dengan hormat aku diminta datang
setahun lagi
Tapi ke mana kita pergi malam ini,
sayangku, tapi ke mana kita pergi
ini hari
Tiba di suatu rapat umum, pembicara
berdiri dan berkata :
“Jika mereka boleh masuk, mereka
colong beras kita”
Dia bicarakan kau dan aku, sayangku,
dia bicarakan kau dan aku
Kukira kudengar halilintar di langit
membelah
Adalah Hitler di Eropah yang bilang :
“Mereka pasti punah”
Ah, kitalah yang dimaksudnya,
sayangku, kitalah yang dimaksudnya
Kulihat anjing kecil dalam baju panas
terjaga
Kulihat pintu terbuka dan kucing
masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku,
tapi bukan Yahudi Jerman
Turun ke pelabuhan dan aku berdiri ke
tepi
Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka
sekali
Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku,
Cuma sepuluh kaki dari aku
Jalan lalu ke hutan, terlihat
burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-ahli politik
bernyanyi ria mereka di pohon
Mereka bukanlah para manusia,
sayangku, mereka bukanlah para-
manusia
Kumimpi melihat gedung yang
bertingkat seribu
Berjendela seribu dan berpintu seribu
Tidak ada satupun kita punya,
sayangku, tidak ada satupun kita punya
Berdiri di alun-alun besar ditimpa
salju
Sepuluh ribu serdadu berbaris datang
dan lalu
Mereka mencari kau dan aku, sayangku,
mereka mencari kau dan aku
*) Diterjemahkan oleh Chairil
Anwar, dari karya W.H. Auden dalam Song
XXXIII
1949
Buat
Nyonya N
Sudah terlampau puncak pada tahun
yang lalu
dan kini di turun ke rendahan datar
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak
tahu
Burung-burung asing bermain keliling
kepalanya
Dan buah-buah hutan ganjil mencap
warna pada gaun
Sepanjang jalan dia terkenang akan
menjadi Satu
atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan
lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di
puncak dia sungguh tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh
lagi
Selanjutnya tidak ada burung-burung
asing, buah-buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
Kupu
Malam dan Biniku
Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
1943
Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
1942
Aku Berkisar antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa dipinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda :
kenyataan-kenyataan yang didapatnya
(bioskop Capitol putar film Amerika
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte kami tunggu trem dari kota
Yang berderak di malam hari sebagai gigi masa
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja
Sedang tahun gempita terus berkata
Hujan menimpa. Kami tunggu trem
dari kota
Ah, hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam dan mereka dalam hatiku pula
1949
Ajakan
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di luar legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
1943
Nisan
Untuk Neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
1942
Sorga
Seperti ibu – nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula sampai di sorga
yang kata Masyumi-Muhammadiyah
bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh : Bisakah kiranya ?
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana ?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina,
punya kerlingnya Yati ?
1947
Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana
untuk damai dan reda
Mati
Barangkali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sadar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar
Atau ini
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadapi cahaya
………………………………………..
Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali ? Pintu tertutup dengan
keras
1943
Malam
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
1957
Sia-Sia
Penghabisan kali ini kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan :
untukmu
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya : apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama Tak
hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
1943
Pelarian
I
Tak tertahankan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak
berhingga
Hancur luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa
II
Dari kelam ke malam
Tertawa meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gulita
“Mau apa ? Rayu dan pelupa
Aku ada ! Pilih saja !
Bujuk dibeli ?
Atau sungai sunyi ?
Turut saja !”
Tak kuasa-terengkam
Ia dicengkam malam
1943
Selamat Tinggal
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!!
1943
Hampa
Kepada Sri yang selalu
sangsi
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
1943
Sendiri
Hidupnya
tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
1943
Aku
Berada Kembali
Aku
berada kembali. Banyak yang asing
Air
mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta
mega yang tersandar pada khatulistiwa lain
rasa
laut telah berubah dan dupunya wajah
juga
disinari matari lain
Hanya
Kelengangan
tinggal tetap saja
Lebih
lengang aku dikelok-kelok jalan
lebih
lengang pula ketika berada antara
yang
mengharap dan yang melepas
Telinga
kiri masih berpaling
ditarik
gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh
1949