Orang Keuangan
Samuel Mulia ;
Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 Juli 2015
Sewaktu ia masih hidup, saya
memberi ayah predikat ”orang keuangan”. Predikat itu karena ia nyaris
memandang semua keadaan berdasarkan angka dan kemampuan otaknya yang terbatas
itu.
Begitu tidak masuk akalnya, ia
akan membatalkan rencana. Melihat caranya mengelola kehidupan itu, saya
sampai pernah berpikir, manusia yang paling takut menghadapi gejolak dunia
ini, yaa... orang yang seperti ayah saya itu. Ia yang memiliki ketergantungan
yang sangat pada angka.
Otak
Awalnya saya berpikir ia kikir.
Lama-lama, saya melihat dia hanya kelihatan kikir. Ia dan saya memiliki
perbedaan dalam melihat nilai sebuah barang. Bisa dikatakan ia jarang sekali
mengutamakan kesenangan hatinya, tetapi sering memenuhi kesenangan uangnya.
Sekali waktu, ia pernah
menjelaskan mengapa ia tak perlu memiliki mobil supermahal. ”Mau mahal, mau
murah, sama saja. Namanya mobil, yaa... buat alat transportasi. Titik. Yang
penting kamu nyampe di tujuan yang kamu inginkan, bukan?”
Beberapa tahun yang lalu saat ia
pergi ke Amerika, saya menitipkan tas bermerek. Pulang dari bepergian ke
Amerika itu ia mencak-mencak. ”Kamu tuh enggak waras. Masak tas kecil segini
harganya sampai jutaan rupiah. Enggak ada bagus-bagusnya.” Kemudian dia
wanti-wanti, kalau itu adalah tas pertama dan terakhir yang ia belikan dengan
uangnya itu.
Ayah saya memang orang yang tak
akan pernah bisa termakan gengsi. Mungkin karena dia melihat semua keadaan
hanya berdasarkan untung, rugi, dan fungsi. Maka buatnya, gengsi itu adalah
hanya sebuah kesia-siaan belaka kalau diikuti.
Saya teringat di masa kecil
dahulu, ia tak segan-segannya membawa pena dengan merek sebuah pembalut
wanita. Pena itu didapatnya dari bonus yang disertakan bersama kotak pembalut
wanita yang dibeli istrinya.
Ketika kami menegur untuk
mengganti dengan pena yang lebih baik, ia berkomentar begini, ”Ngapain beli
lagi. Kan udah dapat gratis. Pena sama aja. Mau mahal atau enggak, sama-sama
buat nulis.Emang selama ini kita bisa punya uang gara-gara aku nulis pakai
pena emas? Kamu bisa sekolah ke luar negeri, itu yaa... karena pena plastik
ini.”
Iman
Pada masa masih menjadi mahasiswa,
saya sudah bekerja di sebuah perusahaan ekspor pakaian jadi. Sedikit bagian
dari upah pertama sebesar dua ratus lima puluh rupiah itu saya belikan roti
kesenangan ayah di salah satu toko roti terenak di kota Denpasar. Kalau tidak
salah, cerita ini pernah saya tulis sebelumnya.
Ketika saya menyerahkan roti
kesenangannya itu, komentar yang pertama kali keluar dari mulut yang penuh
perhitungan keuangan itu begini. ”Kamu enggak usah royak-royal. Kayak orang
kaya aja. Mending kamu simpan uangnya.”
Jadi yang pertama terlintas di
benaknya selalu uang, selalu untung rugi. Ia sampai lupa bahwa di dunia ini
ada istilah keajaiban. Mungkin orang seperti ayah saya keder kepada yang tak
bisa diperhitungkan, keder kalau tak bisa melihat untung rugi dari awal. Saya
sendiri tak tahu apakah menurutnya, kehadirannya di dunia ini sebuah
keberuntungan atau kerugian.
Saya menulis semua ini berdasarkan
apa yang saya lihat soal bagaimana ayah saya mengelola hidup dengan memberi
persentase sangat besar di sisi perhitungan uang, memberi persentase besar
untuk akalnya dan kemampuannya berhitung. Dan yaaa… kok kebetulan ayah saya
itu bisa dikatakan otaknya tokcer apalagi soal angka.
Sebelum ia meninggal dunia, ia
sempat terbaring di rumah sakit. Kondisinya saat masuk sedikit buruk dan
kemudian beberapa hari kemudian menjadi sehat walafiat. Menurut
perhitungannya sebagai dokter, ia akan sehat dalam satu minggu dan bisa
kembali ke rumahnya. Pada kenyataannya, ia memang kembali. Kembali ke rumah
Penciptanya.
Kalau saya melihat ke belakang,
ayah juga banyak menghadapi kekecewaan karena di tengah kepandaiannya yang
super, ia juga beberapa kali menghadapi kegagalan dalam usaha dan perhitungan
dan kemampuan otaknya tidak menyelamatkannya.
Mungkin ayah saya salah berhitung.
Namun buat saya, hidup itu bukan semata-mata soal yang harus dihitung.
Berhitung itu diperlukan, tetapi itu bukan tempat bergantung sepenuhnya.
Berhitung tidak menjamin masa
depan yang pasti. Berhitung ada batasnya dan melelahkan. Berhitung itu
membuat keder, berhitung itu mengecilkan arti Yang Mahakuasa, berhitung itu
membatasi Tuhan untuk bekerja sepenuhnya dalam hidup seseorang, dan lama-lama
berhitung bisa menjadi Tuhan untuk hidup. Itu menurut saya yang IQ-nya
jongkok banget.
Dengan kondisi IQ macam itu, saya
memilih selain berhitung, untuk berani hidup juga dengan iman. Membiarkan
Yang Mahakuasa terlibat di dalam perhitungan yang saya buat. Sesuatu yang tak
bisa dijelaskan dengan otak, tidak dengan perhitungan angka dan kalkulator.
Tetapi yang menurut pengalaman saya sungguh meringankan perjalanan, tidak
mengecewakan, tidak membuat keder dan selalu menguntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar