Apa yang Salah dengan G30S/PKI?
Sulastomo, Ketua
Umum PB HMI 1963-1966
SUMBER : KOMPAS, 31 Maret 2012
Pada 17 Oktober 1965, dua minggu setelah
peristiwa itu, kami berkeliling di Jawa Tengah. Di Klaten, di tepi sebuah
sungai, hati kami tersayat melihat mayat bergelimpangan.
Itulah dampak peristiwa politik yang diawali
dengan penculikan dan kemudian pembunuhan pemimpin teras Angkatan Darat oleh
Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari.
G30S ternyata sebuah gerakan kudeta, terbukti
dari berbagai pengumuman pemimpin gerakan itu yang membentuk Dewan Revolusi dan
menyatakan kabinet demisioner. Dewan Revolusi di pusat akan ditindaklanjuti
dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah.
Di Yogyakarta, pembentukan Dewan Revolusi
juga disertai pembunuhan Komandan Korem Yogya Kolonel Katamso dan Letkol
Soegiono. Di belakang G30S adalah Biro Khusus PKI yang dibentuk Ketua CC PKI DN
Aidit. Pengumuman G30S/Dewan Revolusi dipersiapkan oleh Biro Khusus PKI. Wajar
jika kemudian G30S diperkenalkan sebagai G30S/PKI meski kemudian dika- takan
gerakan itu tak sepenuhnya menjadi kebijakan CC PKI.
CC PKI tidak pernah mengutuk gerakan itu.
Begitulah sifat kepemimpinan partai komunis bahwa Ketua CC PKI DN Aidit memiliki
wewenang melakukan semua itu. Kalau berhasil, mungkin akan diakui juga sebagai
kebijakan semua CC PKI.
Pasca-G30S/PKI sebagaimana kita ketahui
terjadi gontok- gontokan, bahkan pembunuhan terhadap saudara-saudara kita yang
dianggap anggota PKI atau simpatisannya. Ribuan orang terbunuh atau dibunuh,
mayat mereka dibuang ke sungai sebagaimana dikemukakan di atas.
Bung Karno sebenarnya berusaha melerai,
antara lain, dengan mengharapkan peran Himpunan Mahasiswa Islam. Beberapa kali
Pengurus Besar HMI melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno
membicarakan upaya melerai suasana gontok-gontokan ini. HMI mengirim tim ke
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, harus diakui, upaya melerai ini gagal.
Masyarakat sudah telanjur terbius suasana membunuh atau dibunuh. Mengapa?
Tidak berlebihan jika peristiwa itu merupakan
kelanjutan dari berbagai peristiwa sebelumnya. Suasana politik nasional yang
panas mengawali peristiwa G30S/PKI antara yang pro-PKI dan anti-PKI. Kekuatan
anti-PKI satu demi satu dibubarkan, mulai dari Partai Masyumi/PSI, Partai
Murba, Gerakan Kebudayaan Manifes Kebudayaan, hingga Badan Pendukung
Soekarnoisme yang terdiri atas kalangan pers. Puncaknya tuntutan terhadap
pembubaran HMI yang hendak dipaksakan DN Aidit hanya dua hari sebelum G30S/PKI
pada rapat umum CGMI yang dihadiri sekitar 10.000 mahasiswa di Istora Senayan
di hadapan Bung Karno dan Waperdam Leimena.
Baik Bung Karno maupun Pak Leimena menolak
tuntutan pembubaran HMI. Suasana politik bertumpu pada Bung Karno, PKI, dan
juga Angkatan Darat. Kondisi politik pada waktu itu oleh PKI digambarkan telah
”hamil tua” yang mengindikasikan suatu kejadian luar biasa akan terjadi.
Pada 4 Agustus ada berita Bung Karno sakit.
Dikabarkan, Bung Karno kemungkinan tak mampu lagi melaksanakan tugas
sehari-hari. Siapa yang akan menggantikan Bung Karno? Rumor politik yang
beredar, wajar kalau ada spekulasi antara PKI atau Angkatan Darat. Siapa yang
mendahului mengambil inisiatif, dialah yang akan memenangi pertarungan politik
nasional. Dengan timbulnya peristiwa G30S/PKI, bisa saja DN Aidit mengambil
prakarsa mendahului meski justru berdampak fatal bagi PKI.
Sifat gerakan komunis, antara lain, radikal.
Demikian juga di Indonesia. Korban berjatuhan dalam jumlah besar dan sering
disertai kebiadaban sebagaimana peristiwa Madiun 1948. G30S/PKI juga dimulai
dengan penculikan dan pembunuhan keji. Fenomena inilah yang mewarnai kejiwaan
rakyat Indonesia pasca-G30S/PKI sehingga suasana membunuh atau dibunuh muncul
di masyarakat.
Korbannya, ribuan anggota dan simpatisan PKI
terbunuh atau termarjinalkan di masyarakat. Kalau mereka mahasiswa, kuliahnya
dihentikan; kalau pekerja, bisa kehilangan pekerjaannya dan KTP-nya ditandai
khusus sehingga kehilangan hak sipilnya. Hukum karma seolah-olah berlaku meski
bisa juga dianggap sebagai pelanggaran HAM sehingga niat Presiden SBY meminta
maaf, menurut Romo Magnis, perlu didukung.
Secara Budaya
Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas
peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan
PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras
TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun
1948? Haruskah Presiden SBY juga minta maaf kepada mereka? Bukankah semua itu
juga bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?
Beberapa tahun lalu Ketua CGMI di tahun 1965,
Mas Hardoyo, meninggal dunia. Kami dapat pemberitahuan melalui SMS. Di rumah
duka banyak perhatian ditujukan kepada kami. Sebagian dari pelayat adalah para
bekas tahanan politik PKI atau anggota dan simpatisan PKI. Tanpa kami duga,
kami diundang memberi sambutan dan diperkenalkan sebagai ”sahabat” Mas Hardoyo.
Di depan jenazah Mas Hardoyo, kami sampaikan
bahwa Mas Hardoyo adalah teman diskusi yang sering panas disebabkan kami saling
berbeda pendapat. Mas Hardoyo memimpin gerakan pembubaran HMI di kalangan
mahasiswa. Namun, sebagai manusia, kami ada persamaan: akan menghadap Tuhan dan
pada saat seperti inilah kita harus memaafkan siapa saja yang mendahului kita.
Mas Hardoyo ternyata juga dikebumikan sesuai dengan ajaran agamanya.
Beberapa tahun lalu Presiden SBY
menganugerahkan kepada Pak Syafrudin Prawiranegara pahlawan nasional. Dapat
dikatakan, Pak Syafrudin bisa mereprentasikan pemimpin Masyumi yang hak-hak
sipilnya pernah direnggut. Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai
penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami
tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili.
Demikian juga langkah anak-anak eks Darul
Islam, anak-anak pahlawan revolusi, dan juga anak-anak eks PKI yang berhimpun
dalam satu organisasi merupakan pendekatan budaya penyelesaian pelanggaran HAM
yang dipelopori anak-anak kita.
Dengan pendekatan budaya seperti ini dendam
di antara sesama warga bangsa dengan sendirinya terkubur. Sebaliknya, minta
maaf pada salah satu golongan saja lebih politis sehingga masih meninggalkan
implikasi politik. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden SBY tak perlu
minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya
rekonsiliasi nasional. ●