Tiga Kesadaran Keutamaan
Sudaryono ; Guru
Besar Arsitektur dan Perencanaan FT UGM
|
KOMPAS,
11 Juli 2015
Nilai-nilai keutamaan bangsa
dirasa kian merosot akibat tiadanya keteladanan elite. Demikian kesimpulan
wawancara Kompas terhadap sejumlah tokoh pada edisi 27 Juni 2015.
Keutamaan telah menjadi terpilah,
terkeping, dan terjauhkan dari sifatnya yang utuh. Keutuhan keutamaan,
meminjam konstruksi berpikir Husserl (1954, 1970), terbagi dalam tiga lapis
kesadaran: (1) keutamaan sebagai kesadaran transendental; (2) keutamaan
sebagai kesadaran intensional; dan (3) keutamaan sebagai kesadaran life world.
Hubungan antartiga kesadaran itu
hierarkis. Artinya, kesadaran transendental keutamaan yang bersumber pada
nilai-nilai menjadi dasar bagi terbangunnya kesadaran ”niat” atau intensi
tentang keutamaan, yang bermuara pada ”perbuatan keutamaan” dalam dunia sosial
(life world).
Dalam payung berpikir Husserl,
ketiga kesadaran itu satu keutuhan kesadaran, tetapi dalam praktik kehidupan
berbangsa kita belasan tahun terakhir, ketiga lapis kesadaran itu berjalan
terpisah dan telah membangun gugus-gugus kenyataan sosial yang tidak saling
terhubung.
Kesadaran
keutamaan
Kesadaran transendental merupakan
hulu kesadaran keutamaan. Dalam kesadaran ini, nilai-nilai keutamaan
bersemayam dalam waktu yang panjang serta dalam skala satuan masyarakat yang
luas berupa acuan nilai, ajakan kebaikan, ajaran keselamatan, dan patokan
keutamaan.
Pada digit yang lebih teraba,
kesadaran ini telah menyublim dalam bentuk lembaga-lembaga keagamaan, adat,
budaya, dan sosial kemasyarakatan. Dalam payung kesadaran ini, kumpulan
manusia yang banyak dan berbeda-beda telah disatukan dalam suatu ”gerak
keutamaan”.
Dalam kenyataan sosial berbangsa
dan bernegara di Indonesia, kesadaran transendental akan ”gerak keutamaan”
pada belasan tahun terakhir telah terhenti hanya menjadi sekadar gerakan
intelektual, gerakan kajian, dan gerakan tekstual saja.
Keutamaan telah terhenti di
rumah-rumah keagamaan, di ruang-ruang seminar, di kursus-kursus berbiaya
mahal, di ruang-ruang iklan, dan di pesan-pesan berantai media sosial yang
mengharukan.
Kesadaran ini telah tersumbat oleh
kekuatan-kekuatan yang hadir dari samping berupa egoisme, kepentingan
kelompok, dan bahkan mungkin ketidakikhlasan melihat karya-karya keutamaan
yang dibangun oleh orang lain.
Karena kesadaran transendental
tersumbat, kesadaran ini tidak mampu lagi merembes ke bawah apalagi mendorong
terbangunnya kesadaran intensional dan kesadaran perbuatan keutamaan (life world). Barangkali situasi
seperti itulah yang menjadi keprihatinan para tokoh yang ditulis Kompas.
Kesadaran
intensional
Secara hierarkis, kesadaran
intensional seharusnya merupakan turunan dari kesadaran transendental tentang
keutamaan. Artinya, tujuan serta konsep keutamaan dirumuskan berdasarkan
nilai-nilai luhur yang bersemayam di hulu kemuliaan. ”Niat” keutamaan
seharusnya dibangun di bawah mandat nilai-nilai yang berhulu pada ajaran
keluhuran dan kemuliaan.
Namun, dalam praktik kehidupan
sosial kita, ”niat-niat keutamaan” dirumuskan secara horizontal berdasarkan
kepentingan jangka pendek pribadi ataupun kelompok. Keutamaan digerakkan
menjadi media untuk menghasilkan efek-efek bertarget ekonomi, politik, dan
unjuk kekuasaan. Keutamaan menjadi sekadar kemasan dan label, sekadar
fenomena ”seakan-akan”.
Keutamaan bukan lagi didorong oleh
tujuan untuk menggerakkan nilai-nilai keluhuran menjadi kenyataan sosial
dalam bentuk perbuatan keutamaan, melainkan sekadar alat mencari raihan
bersifat sesaat. Sangat memprihatinkan memang.
Kesadaran
”life world”
Sebagai kesadaran life world, ”keutamaan” yang berhulu
pada kesadaran transendental dan intensional mestinya muncul sebagai
jaring-jaring perbuatan keluhuran, mulai dari skala keluarga, masyarakat
sampai negara. Dalam kesadaran ini, keutamaan telah menjadi perbuatan
keseharian yang dilakukan dan tanpa target pujian, keuntungan ekonomi,
kenaikan rating, ataupun panen perolehan suara politik.
Namun, sama halnya dengan nasib
kesadaran intensional, dalam realitas berkebangsaan dan bernegara, kita
menjumpai keutamaan telah bercampur aduk antara keutamaan yang ”sesungguhnya”
dengan keutamaan ”yang tidak sesungguhnya”. Keutamaan yang ”sesungguhnya”
adalah keutamaan yang hadir berdasarkan kesadaran intensional dan kesadaran
transendental. Sementara keutamaan yang ”tidak sesungguhnya” adalah keutamaan
yang secara sadar diproduksi tanpa kesadaran yang berhulu pada keluhuran dan
kemuliaan budi manusia, tetapi dihadirkan sebagai persembahan untuk
mendatangkan kemuliaan dan keluhuran ekonomi ataupun politik pribadi dan
kelompok.
Dalam kenyataan sosial bisa saja
terjadi, misalnya bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada suatu kelompok
masyarakat diminta kembali oleh pemberinya tanpa rasa malu karena ternyata si
pemberi bantuan gagal meraih panen suara politik.
Optimisme
Saya sangat setuju dengan
Haryatmoko, Bambang Sulistyo, Sallahudin Wahid, Garin Nugroho, Ainun Najib,
dan Khofifah yang dikutip Kompas, bahwa nilai-nilai keutamaan masih
bersemayam di dada manusia-manusia Indonesia.
Pada peristiwa-peristiwa besar
kemanusiaan, seperti gempa di Yogyakarta dan sekitarnya (2006), hal itu
dibuktikan. Pada hari pertama gempa, setelah para korban dimakamkan, malam
harinya hujan deras mengguyur. Warga yang rumahnya roboh berteduh di rumah-rumah
warga yang tegak.
Pada hari kedua, warga dari
daerah-daerah lain berdatangan membawa apa saja yang bisa dibawa. Dari mi
instan, ayam goreng, nasi bungkus, susu bayi, selimut, tenda, dan bahan-bahan
lain meski mereka tidak saling mengenal. Yang mereka kenal adalah
manusia-manusia yang sedang mendapat musibah dan perlu mendapat pertolongan.
Hari-hari berikutnya warga dari
daerah-daerah lain tak hanya membawa bahan makanan dan minuman saja, tetapi
juga membawa sekop, cangkul dan peralatan-peralatan lain untuk membersihkan
puing-puing rumah yang roboh, dan membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan
yang masih bisa dimanfaatkan. Suasana ketulusan dan keikhlasan kemanusiaan
yang ”anonim” ini berjalan dengan tenang sampai kira-kira hari kelima setelah
gempa.
Disebut ”anonim” karena yang
ditolong dan si penolong tak saling kenal dan bagi mereka tak penting saling
mengenal identitas diri di antara mereka.
Namun, pada hari keenam setelah
gempa, di beberapa sudut desa di wilayah gempa mulai bermunculan bendera,
papan nama, dan kantong-kantong bantuan yang sudah berlabel lembaga si
pemberi bantuan. Pada hari ketujuh dan seterusnya, bendera-bendera dan
papan-papan nama semakin bertebaran di wilayah gempa. Mulailah terjadi
percampuran antara ”penolong sesungguhnya” dan ”penolong yang tidak
sesungguhnya”.
Dampaknya, di antara warga mulai
tumbuh perasaan iri satu sama lain karena nilai dan jumlah bantuan yang
diterima tak sama, tergantung bendera dari lembaga mana si pemberi bantuan.
Jadi, kesimpulannya, nilai-nilai
keutamaan, keluhuran, dan ketulusan memang masih ada di dalam kesadaran
(transendental, intensional, dan life
world) diri manusia-manusia Indonesia, tetapi hal itu memang sangat rawan
untuk direbut oleh lembaga-lembaga yang ”berbendera kepentingan”.
Itulah pelajaran yang sangat
berharga bagi bangsa ini karena hal ini juga terulang terjadi lagi pada
peristiwa erupsi Merapi pada 2010 dan mungkin juga pada peristiwa-peristiwa
kemanusiaan lain ke depan.
Pesan dari pelajaran tersebut
adalah negara harus kuat dalam mendampingi dan melindungi peristiwa-peristiwa
kemanusiaan yang ”spontan” dan ”anonim” ini. Maka ”bendera-bendera
kepentingan” tak dibiarkan merebut nilai-nilai keutamaan dari dada
manusia-manusia Indonesia yang kenyataannya memang masih menjadi harta karun
melimpah bagi gerak pembangunan bangsa ke depan.
Pelajaran lain yang juga perlu
direnungkan oleh bangsa ini adalah ternyata ”gempa kepentingan” dan ”erupsi
kepentingan” dari kelompok-kelompok kepentingan jauh lebih dahsyat dalam
merobohkan kesadaran nilai-nilai keutamaan bangsa ini, daripada gempa
tektonik maupun erupsi Merapi. Negara memang perlu segera membangun Badan
Penanggulangan Bencana Erosi Keutamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar