Pada
periode awal reformasi pecah di negeri ini, ada euforia kebebasan yang
melanda rakyat. Saat itu, entah kenapa, setiap orang gampang tersulut
emosinya. Mereka cepat marah, lalu main hakim sendiri. Membunuh orang
atas nama kebersamaan (massa), menjarah harta benda perusahaan-perusahaan
yang dinilai sebagai milik kerabat elite pada rezim Orde Baru, dan
membakar fasilitas-fasilitas negara atas nama ketidaksenangan.
Di
Provinsi Lampung, di tempat penulis pernah tinggal, kantor Polsek Jabung
dan Polsek Sukadana—keduanya di wilayah Kabupaten Lampung Timur—hangus
dibakar massa. Aksi itu dipicu oleh ulah polisi menangkap warga setempat
yang diduga terlibat dalam kasus kriminal berupa pembegalan dan penadahan
hasil begal.
Sebetulnya,
polisi tak salah. Sebab, pada saat itu marak kasus pembegalan yang dipicu
buruknya situasi perekonomian rakyat pasca-reformasi. Berbagai sektor
usaha rakyat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak memberi hasil
maksimal akibat kurang bagusnya tata niaga berbagai komoditas pertanian
dan perkebunan. Pemerintah daerah sendiri malah sibuk membenahi dan
menata sistem birokrasi untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan. Rakyat
jadi malas berusaha dan memilih melakukan tindak kriminal berupa pembegalan.
Aksi
ini diketahui semua lapisan masyarakat, karena hasil kejahatan berupa
kendaraan bermotor dijual dengan sistem tebus. Mereka yang menjadi korban
boleh menebus sepeda motornya yang berhasil dibawa pembegal, dan
transaksi berlangsung secara terbuka, bahkan acap disaksikan oleh para
tokoh masyarakat. Polisi sendiri mengetahui persoalan ini, dan memilih
untuk mendiamkannya.
Namun,
ketika ada kebijakan dari pimpinan polisi untuk memberantas kejahatan
pembegalan karena sangat meresahkan, situasi menjadi berubah. Kebijakan
pimpinan polisi itu diaplikasikan dengan strategi membentuk kompi-kompi
polisi berpatroli sepeda motor yang disebut Kompi Walet yang dipimpin
langsung oleh seorang perwira menengah, dan efektif menghentikan aksi
pembegalan di sejumlah tempat yang diduga rawan. Tidak sedikit pembegal
yang terkapar karena ditembak, sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku
laiknya. Banyak juga jaringan yang ditangkap, termasuk para tokoh
masyarakat, yang kemudian dititipkan di polsek-polsek di wilayah di mana
pelaku tertangkap.
Pembakaran
kantor Polsek Jabung dan Polsek Sukadana dipicu oleh penangkapan tokoh
masyarakat yang diduga sebagai pelaku begal. Masyarakat setempat marah,
lalu merangsek ke dalam markas polisi untuk membebaskan tokoh mereka.
Aksi massa berhenti bersamaan dengan hangusnya markas polisi. Kasus itu
pun berlanjut dengan penangkapan tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat
dalam provokasi massa. Sejak itu, kasus pembegalan mulai berkurang di
kawasan Kabupaten Lampung Timur. Para pelaku tindak kriminal di daerah
itu memutuskan merantau, meskipun tetap menjadi pelaku tindak kejahatan.
Kemarahan
massa menjadi hal yang wajar pada era awal reformasi bergulir di negeri
ini. Euforia kebebasan membuat semua orang mendefinisikan reformasi
sebagai laku bebas untuk merayakan kemerdekaan atas segala hal setelah
puluhan tahun dikekang rezim Orde Baru. Tapi, sekitar sewindu sesudah
reformasi, perlahan-lahan rakyat mulai kembali pada posisi sebagai warga
bangsa yang tidak boleh memanjakan emosi.
Pemahaman
rakyat tentang reformasi menjadi lebih dewasa, seiring dengan semakin
terbukanya peluang bagi setiap warga bangsa untuk mengekspresikan diri di
era otonomi daerah. Meskipun demikian, yang diperoleh rakyat tidak lebih
bagus dari yang diharapkan, karena otonomi daerah dipahami secara keliru
oleh para elite daerah sebagai momentum untuk menjadi penguasa yang
lalim. Akibatnya, perhatian terhadap kebutuhan masyarakat menjadi
terabaikan, karena setiap elite sibuk membangun jaringan sendiri bersama
kolega-koleganya untuk menguasai sumber-sumber penghasilan yang ada.
Satu-satunya
sumber keuangan di daerah hanyalah anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD), muara dari sumber pembiayaan proyek-proyek fisik yang
peruntukannya untuk fasilitas publik. Namun, lantaran
pembangunan-pembangun proyek fisik itu dikuasai oleh jaringan pemegang
kekuasaan pemerintah daerah, korupsi pun merajalela seperti yang terjadi
akhir-akhir ini. Kualitas fasilitas-fasilitas publik menurun, sehingga
peruntukannya tidak seperti yang diharapkan. Pada akhirnya, situasi ini
mempengaruhi sistem ekonomi di daerah, yang implikasinya merusak
sumber-sumber perekonomian masyarakat.
Berbagai
sektor usaha masyarakat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak bisa
tumbuh seperti yang diharapkan, karena pasar dari komoditas yang
dihasilkan sangat terbatas. Petani menjadi produsen komoditas yang berada
di bawah kendali asosiasi-asosiasi yang dibentuk para pemilik modal,
sehingga hasil kerja petani tidak terbayar dengan hasil panennya.
Sedangkan harga berbagai komoditas sehari-hari terus melonjak, belum lagi
biaya-biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak terkendali
pertumbuhannya, sehingga rakyat semakin terpojok dan bertambah melarat.
Akibatnya,
rakyat tidak terlalu mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan, lalu
memanjakan diri dengan mimpi-mimpi dapat hidup makmur dengan cara cepat
dengan menghalalkan segala macam cara. Situasinya kembali ke periode awal
reformasi, ketika rakyat memilih jalan sesat untuk menghidupi diri dan
keluarganya dengan cara membudayakan berjudi dalam hidup. Patah semangat
karena hasil kerja tidak kunjung menggembirakan, rakyat kemudian memilih
bermimpi cepat menjadi kaya.
Mimpi
rakyat terkabul dengan hadirnya ragam jenis permainan judi. Permainan ini
sudah lama ada, tapi kemudian menjadi sangat menarik bagi rakyat,
sehingga pertumbuhannya begitu pesat. Nilai rupiah yang berputar dalam
permainan judi sangat tinggi, yang kemudian menyedot perhatian banyak
kalangan karena dalam permainan itu ada keuntungan yang bisa dibagi-bagi.
Bukan
rahasia lagi, judi yang berkembang di lingkungan masyarakat, seperti toto
gelap (togel), adalah
permainan yang tak akan pernah langgeng bila aparat
penegak hukum benar-benar melarangnya. Judi togel berlangsung kasatmata
di lingkungan masyarakat, menjadi percakapan sehari-hari, dilakukan
rakyat sesering mereka bernapas. Tapi aparat penegak hukum, seperti
polisi, melakukan pembiaran.
Judi
jenis togel menjadi keseharian masyarakat di negeri ini. Tindak kejahatan
ini berlangsung masif, dan mustahil jajaran penegak hukum tidak
mengetahuinya.
Mungkin
juga polisi memang tak mengetahuinya, karena persoalan judi sebagai
tindak kriminal hampir tidak pernah menjadi pembicaraan serius di
lingkungan Polri. Saat rapat pimpinan Polri digelar di auditorium PTIK,
Jakarta Selatan, Kamis, 31 Januari 2013, hanya ada tiga persoalan krusial
yang menjadi prioritas kerja Polri pada tahun ini. Ketiga persoalan itu
adalah korupsi, terorisme, dan konflik sosial.
Perjudian,
sebagai tindak kejahatan yang memiliki dampak sosial tinggi, juga bisa
berimplikasi terhadap terjadinya tindak kriminal dan konflik sosial,
tidak ada dalam prioritas kerja Polri. Ini menunjukkan bahwa Polri tak
terlalu risau oleh perjudian yang marak di lingkungan masyarakat,
sehingga tidak perlu penanganan serius.
Jika
benar begitu, berarti betul bahwa Polri memang melakukan pembiaran
terhadap maraknya perjudian di negeri ini. Tapi semoga saja asumsi ini
keliru, sehingga dampak perjudian yang begitu parah seperti yang
menewaskan Kepala Polsek Dolok Pardamean, AKP Andar Siahaan, tidak lagi
terulang. ●
|