|
KORAN SINDO, 30 April 2013
Rencana percepatan pergantian Kapolri sebagai antisipasi
pengamanan Pemilu 2014 mendapat respons beragam dari publik dan elite politik.
Selain karena masih relatif panjangnya masa pensiun Timur Pradopo, juga yang
lebih mendesak adalah pergantian Wakapolri yang akan memasuki masa pensiun pada
pertengahan 2013 ini.
Di samping itu, sejumlah problematika yang dihadapi Polri juga masih menjadi bagian yang sulit untuk diurai dan diselesaikan. Apalagi era kepimpinan Timur Pradopo sejak Oktober 2010 dianggap oleh sejumlah kalangan tidak cukup mampu menuntaskan masalah tersebut. Adapun tiga masalah tersebut adalah kasus korupsi di internal Polri, pola hubungan Polri dengan instansi lain seperti TNI dan KPK, serta kinerja Polri yang tak kunjung membaik setelah hampir 15 tahun berpisah dari TNI.
Agaknya apa yang menjadi pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengganti Kapolri saat ini bisa jadi tepat karena bila tiga permasalahan tersebut tidak tertuntaskan, kinerja Polri akan tersandera dan terus terinterupsi daripada fokus pada pengamanan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014.
Hal yang mana secara telanjang dipraktikkan oleh Timur Pradopo saat terus-menerus berupaya membela Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi saat menjabat sebagai kepala Korps Lantas Mabes Polri. Masalah yang kemudian muncul, apakah masih ada perwira Polri yang bersih dan bervisi membangun organisasi dan selaras dengan semangat keinginan publik? Pertanyaan retoris tersebut memang sulit dijawab apabila melihat kompleksitas permasalahan di Polri.
Tugas berat Kapolri baru sebelum memasuki 2014 adalah menyelesaikan tiga permasalahan tersebut. Makin kronisnya korupsi di internal Polri mencerminkan bahwa secara organisasi Polri butuh kepemimpinan yang tidak biasa dan memiliki komitmen untuk membawa Polri pada tingkatan yang lebih maju dari sebelumnya.
Dengan kata lain, menuntaskan kasus korupsi di internal Polri akan membawa efek positif bagi kinerja Polri dan hubungan Polri dengan instansi terkait lainnya, khususnya KPK dan TNI. Untuk mendapatkan calon Kapolri yang dapat menjamin langkah-langkah pembersihan internal dan penguatan kelembagaan sebagaimana yang dilakukan Hoegeng dan Awaloeddin Djamin ketika mereka memimpin Polri pada dua periode yang berbeda tentu tidak mudah.
Bila Hoegeng memimpin Polri pada awal Orde Baru dan mendapatkan tantangan tidak saja dari internal, tapi juga eksternal era itu, Awaloeddin Djamin melakukan bersih-bersih di Polri dengan menangkap dan menghukum Wakapolri ketika itu yang terlibat korupsi di internal Polri pada awal tahun 80-an. Permasalahan yang dihadapi Presiden SBY dan internal Polri sesungguhnya bergantung pada kepentingan masing-masing yang kerapkali tidak sinergis.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi Kapolri harus dekat dengan penguasa dan mendukung kepentingan pemerintah. Situasi tersebut berbanding terbalik dengan kepentingan internal Polri yang menginginkan agar presiden dapat memilih figur terbaik internal yang diusulkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes Polri.
Hal tersebut setidaknya tercermin dari pemilihan Kapolri Timur Pradopo oleh Presiden SBY yang tidak sesuai harapan internal. Di samping itu, masalah klasik yang terus muncul dalam pemilihan Kapolri dan memicu pertentangan di internal juga masalah angkatan dan koprs di internalPolri. Masalahangkatan lebih banyak terselesaikan dengan pendistribusian posisi jabatan apabila salah satu angkatan menjadi Kapolri.
Maka masalah kekorpsan cenderung mengarah pada seberapa besar akses kekuasaan untuk mendapat dukungan dan dipilih presiden. Sekadar ilustrasi, dua korps yang dinilai memiliki akses ekonomi yang lebih besar seperti Bareskrim dan Korps Lantas cenderung tidak memiliki masalah dengan dukungan finansial apa bila terpilih menjadi Kapolri. Sebaliknya, korps lain seperti Brimob, Baintelkam, Baharkam, dan sebagainya lebih banyak mengandalkan dukungan kepercayaan dan loyalitas daripada dukungan finansial.
Tak heran apabila komposisi pimpinan Polri yang ideal adalah gabungan dari dua kutub korps tersebut; kemampuan finansial dan loyalitas, selain yang memiliki komitmen bersih dan integritas personal yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang periode kali ini memiliki kewenangan yang lebih baik untuk menyampaikan figur- figur calon Kapolri kepada Presiden.
Kewenangan tersebut sedikit-banyak memberikan berbagai alternatif bagi Presiden untuk mengajukan calon Kapolri ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dalam konteks ini, Kompolnas tentu dapat menjadi salah satu penyaring dari figur-figur yang layak untuk dicalonkan ke Presiden untuk dipilih. Dari uraian tersebut, Kapolri masa depan adalah figur yang setidaknya memiliki komitmen dan dapat menuntaskan masalah korupsi di internal Polri.
Hal ini akan berkorelasi pada meningkatkan kinerja dan koordinasi dengan instansi terkait. Berkaitan dengan pengajuan dan keterpilihan figur Kapolri oleh Presiden kepada DPR, penting sekali untuk diperhatikan terkait dengan dinamika internal Polri. Salah satu cara untuk memahami dinamika internal Polri adalah Presiden harus benar-benar memperhatikan rekomendasi dari Wanjakti Mabes Polri dan Kompolnas. ●
Di samping itu, sejumlah problematika yang dihadapi Polri juga masih menjadi bagian yang sulit untuk diurai dan diselesaikan. Apalagi era kepimpinan Timur Pradopo sejak Oktober 2010 dianggap oleh sejumlah kalangan tidak cukup mampu menuntaskan masalah tersebut. Adapun tiga masalah tersebut adalah kasus korupsi di internal Polri, pola hubungan Polri dengan instansi lain seperti TNI dan KPK, serta kinerja Polri yang tak kunjung membaik setelah hampir 15 tahun berpisah dari TNI.
Agaknya apa yang menjadi pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengganti Kapolri saat ini bisa jadi tepat karena bila tiga permasalahan tersebut tidak tertuntaskan, kinerja Polri akan tersandera dan terus terinterupsi daripada fokus pada pengamanan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014.
Hal yang mana secara telanjang dipraktikkan oleh Timur Pradopo saat terus-menerus berupaya membela Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi saat menjabat sebagai kepala Korps Lantas Mabes Polri. Masalah yang kemudian muncul, apakah masih ada perwira Polri yang bersih dan bervisi membangun organisasi dan selaras dengan semangat keinginan publik? Pertanyaan retoris tersebut memang sulit dijawab apabila melihat kompleksitas permasalahan di Polri.
Tugas berat Kapolri baru sebelum memasuki 2014 adalah menyelesaikan tiga permasalahan tersebut. Makin kronisnya korupsi di internal Polri mencerminkan bahwa secara organisasi Polri butuh kepemimpinan yang tidak biasa dan memiliki komitmen untuk membawa Polri pada tingkatan yang lebih maju dari sebelumnya.
Dengan kata lain, menuntaskan kasus korupsi di internal Polri akan membawa efek positif bagi kinerja Polri dan hubungan Polri dengan instansi terkait lainnya, khususnya KPK dan TNI. Untuk mendapatkan calon Kapolri yang dapat menjamin langkah-langkah pembersihan internal dan penguatan kelembagaan sebagaimana yang dilakukan Hoegeng dan Awaloeddin Djamin ketika mereka memimpin Polri pada dua periode yang berbeda tentu tidak mudah.
Bila Hoegeng memimpin Polri pada awal Orde Baru dan mendapatkan tantangan tidak saja dari internal, tapi juga eksternal era itu, Awaloeddin Djamin melakukan bersih-bersih di Polri dengan menangkap dan menghukum Wakapolri ketika itu yang terlibat korupsi di internal Polri pada awal tahun 80-an. Permasalahan yang dihadapi Presiden SBY dan internal Polri sesungguhnya bergantung pada kepentingan masing-masing yang kerapkali tidak sinergis.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi Kapolri harus dekat dengan penguasa dan mendukung kepentingan pemerintah. Situasi tersebut berbanding terbalik dengan kepentingan internal Polri yang menginginkan agar presiden dapat memilih figur terbaik internal yang diusulkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes Polri.
Hal tersebut setidaknya tercermin dari pemilihan Kapolri Timur Pradopo oleh Presiden SBY yang tidak sesuai harapan internal. Di samping itu, masalah klasik yang terus muncul dalam pemilihan Kapolri dan memicu pertentangan di internal juga masalah angkatan dan koprs di internalPolri. Masalahangkatan lebih banyak terselesaikan dengan pendistribusian posisi jabatan apabila salah satu angkatan menjadi Kapolri.
Maka masalah kekorpsan cenderung mengarah pada seberapa besar akses kekuasaan untuk mendapat dukungan dan dipilih presiden. Sekadar ilustrasi, dua korps yang dinilai memiliki akses ekonomi yang lebih besar seperti Bareskrim dan Korps Lantas cenderung tidak memiliki masalah dengan dukungan finansial apa bila terpilih menjadi Kapolri. Sebaliknya, korps lain seperti Brimob, Baintelkam, Baharkam, dan sebagainya lebih banyak mengandalkan dukungan kepercayaan dan loyalitas daripada dukungan finansial.
Tak heran apabila komposisi pimpinan Polri yang ideal adalah gabungan dari dua kutub korps tersebut; kemampuan finansial dan loyalitas, selain yang memiliki komitmen bersih dan integritas personal yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang periode kali ini memiliki kewenangan yang lebih baik untuk menyampaikan figur- figur calon Kapolri kepada Presiden.
Kewenangan tersebut sedikit-banyak memberikan berbagai alternatif bagi Presiden untuk mengajukan calon Kapolri ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dalam konteks ini, Kompolnas tentu dapat menjadi salah satu penyaring dari figur-figur yang layak untuk dicalonkan ke Presiden untuk dipilih. Dari uraian tersebut, Kapolri masa depan adalah figur yang setidaknya memiliki komitmen dan dapat menuntaskan masalah korupsi di internal Polri.
Hal ini akan berkorelasi pada meningkatkan kinerja dan koordinasi dengan instansi terkait. Berkaitan dengan pengajuan dan keterpilihan figur Kapolri oleh Presiden kepada DPR, penting sekali untuk diperhatikan terkait dengan dinamika internal Polri. Salah satu cara untuk memahami dinamika internal Polri adalah Presiden harus benar-benar memperhatikan rekomendasi dari Wanjakti Mabes Polri dan Kompolnas. ●