PISA
dan Daya Baca Bangsa
Gufran A Ibrahim ; Ketua Pokja Literasi Membaca
Menulis,
Gerakan Literasi Nasional,
Kemdikbud
|
KOMPAS, 29 April 2017
Akhir 2016,
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)— yang melaksanakan
penilaian tiga tahunan atas budaya literasi 72 negara melalui Program for International
Students Assessment—melansir indeks budaya literasi siswa antarbangsa. Indeks literasi sains dan matematika siswa
Indonesia naik cukup bermakna masing-masing 21 dan 11 poin: 382 poin pada
2012 menjadi 403 tahun 2015, serta 375 tahun 2012 dan 386 pada 2015. Indeks
literasi membaca hanya naik satu poin: 396 pada 2012 dan 397 pada 2015.
Bukan teks tunggal
Apa sebab
penaikan indeks literasi membaca lamban ketimbang sains dan matematika; juga
ketimbang kemajuan membaca siswa bangsa lain peserta uji Program for
International Students Assessment (PISA)?
Pertama, teks
bacaan dalam uji PISA adalah multiteks dan berbasis komputer. Sajiannya
begitu canggih. Isi dan struktur teksnya dalam tampilan beragam genre wacana
dengan memadukan kata, kalimat, grafik, peta, dan ragaan yang dibentuk dalam
tautan lintas-teks dengan siasat rujuk silang (cross-reference).
Untuk menukik
ke kedalaman makna multiteks seperti ini, sedikitnya dibutuhkan dua kecakapan
penting: (1) terampil menangkap makna yang tersaji dalam paragraf; dan (2)
kecepatan mengemas tautan makna antarteks, antarteks dengan grafik, antarteks
dan simbol, serta relasi makna antargrafik. Yang pertama berkaitan keluasan
dan kedalaman penguasaan kosa kata, yang kedua berkelindan dengan
keterampilan menggerakkan pandangan dan kecekatan jari.
Dengan tetap
menjaga ingatan tentang temuan makna anaforik dalam ke-”sedang”-an jelajah
teks, siswa harus mempersiapkan prediksi atas kemungkinan makna kataforik
yang akan dijumpai pada informasi dan teks tertaut. Artinya, pergerakan mata
bukan pergerakan fisik semata, melainkan juga kekuatan ingatan pada bagian
teks yang dilewati. Tentu saja, di atas dua kecakapan kinestetik ini,
dipersyaratkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kedua, jika
hanya terbiasa berhadapan dengan teks tunggal di sekolah, yaitu teks hanya
rangkaian paragraf, siswa kita akan kesulitan luar biasa menghadapi teks
ragam genre dalam kemasan multimedia. Siswa yang hanya terbiasa membaca
sebagai ”cara menyandikan kembali lambanglambang ortografi secara diam atau
nyaring” akan ”kewalahan” menghadapi teks kompleks yang disodorkan uji PISA.
Apabila siswa
kita tak menjadikan membaca sebagai aktivitas harian, di sekolah ataupun di
rumah, kepayahan akan menghadang saat menghadapi rumitnya struktur fisik dan
kedalaman makna multiteks dalam kemasan multimedia. Apalagi jika siswa
membaca hanya kalau ada tugas sekolah. Belum lagi pembelajaran di kelas yang
tidak mendorong strategi membaca yang variatif dan eksploratif serta inovasi
model membaca yang mengenalkan keragaman genre teks.
Kalau benar
siswa yang jadi sasaran uji PISA tak terbiasa mengenali dan membaca teks
kompleks, maka gagal paham atas ”rimba” semantik multiteks sebenarnya
bersumber dari persoalan yang sederhana tapi mendasar dalam belajar, yaitu
ihwal ”kebiasaan” dan ”kebisaan”.
Kalau saja
belajar didefinsikan secara sederhana sebagai aktivitas psikokognitif siswa
”membiasakan” tindakan pemerolehan pengetahuan-kecakapan-keterampilan, maka
kepandaian dan kesuksesan menukik ke kedalaman teks-teks
multigenre-multimedia dan menangkap spektrum maknanya hanya akan bisa
dibentuk melalui ”pembiasaan” mengenali dan membaca teks-teks tersebut. Jika
kelas di sekolah hanya bisa dan biasa membelajarkan membaca teks-teks tunggal
dan sederhana yang nir-inovasi, siswa hanya akan bisa mencapai kepandaian
setingkat itu: kemampuan baca paling dasar.
Ada tiga hal
penting terkait daya baca, yaitu kemampuan menukik ke kedalaman teks,
ketahanan menjaga fokus, dan pemeliharaan nalar untuk terus mengikuti
bangun-struktur teks, terus mengenali keragaman tipologi dan kompleksitas
teks. Tiga-tiganya memberi kontribusi pada efisiensi pemanfaatan waktu uji
dan keberhasilan menukik ke kedalaman teks kemudian menangkap makna bacaan.
Kalau saja
benar bahwa gagal paham atas multiteks karena soal ketaksabaran,
ketidakcermatan, dan dangkalnya pengalaman membaca siswa, maka upaya
pengecekan terhadap sebab-sebab ketumpulan (bu-)daya literasi membaca itu
harus dikembalikan ke sekolah. Terkait ini, pertanyaan penting perlu diajukan.
Seberapa sering siswa menyelesaikan tugas sekolah dengan membiasakan diri
membaca? Seberapa luas pengalaman mereka mengenali ragam teks, teks sederhana
hingga yang kompleks? Seberapa sering guru mendorong pembiasaan membaca.
Lalu, bagaimana guru memberi model membaca, mengenalkan genre dan ”rimba”
teks?
Ada dua cara
penting untuk meningkatkan budaya literasi membaca. Tentu tak sekadar untuk
kepentingan penilaian PISA, tetapi yang paling penting adalah memastikan
pelaksanaan pelajaran membaca benar-benar dibangun untuk membentuk daya baca.
Pertama, menemu-kenali sebab-sebab terdalam mengapa siswa kurang sabar dan
kurang cermat saat berhadapan dengan teks yang panjang dan dalam uji PISA.
Kedua, kita merumus- ulang paradigma pembelajaran membaca, tidak banyak
melalui mata pelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris), tetapi menyusun model
pembelajaran membaca bagi seluruh mata pelajaran.
Semua guru
mata pelajaran di sekolah dilatih model dan strategi membaca melalui model
pembelajaran andragogi, dengan tiga siasat penting: (1) pencanggihan cara
membaca; (2) peragaman jenis-jenis teks, dari teks tertulis—berbasis kertas
(paper base)—yang sederhana hingga teks kompleks; dan (3) pengenalan
teks-teks multimedia berbasis komputer—nirkertas (paperless).
Bukan sekadar PISA
Dua langkah
penting untuk memastikan daya baca siswa jadi lebih baik. Pertama, merancang
gerakan satu semester satu novel sebagai langkah awal pentradisian membaca.
Langkah membaca teks-teks naratif adalah tahap mula dari pembiasaan membaca.
Kedua, penciptaan model membaca produktif melalui peragaman teks bacaan untuk
beragam jenis teks dan pengenalan teks-teks bacaan yang multimedia, buku-buku
elektronik, serta pembiasaan mengenali tipologi dan kompleksitas teks-teks di
media daring.
Di atas
segalanya, pembiasaan menjadi bangsa pembaca bukan hanya perkara menghitung
nilai pencapaian setiap akhir belajar. Pembiasaan untuk keluar dari
ketidaksabaran dan ketidakcermatan dalam membaca adalah proyek kebudayaan
membaca; dan proyek kebudayaan membaca tidak bisa dikerjakan secara instan,
kecuali kalau kita hanya ingin meningkatkan indeks dan peringkat literasi
membaca kita.
Memang, PISA adalah salah satu alat ukur seberapa jauh hasil
belajar telah dicapai. Akan tetapi, jika cara-cara menumbuhkan budaya literasi
membaca yang hanya untuk menaikkan peringkat, sesungguhnya kita sedang
mendorong belajar bukan untuk mencapai kepandaian, melainkan belajar sekadar
mendapatkan nilai rapor dan peringkat. ●
|