Menyusun
Rencana Kabur dari Kemiskinan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM, 19 Juni 2017
Bagi saya penyebab utama kemiskinan adalah pola pikir dan
kemalasan. Artinya, kalau mau membebaskan diri dari kemiskinan, orang harus
mengubah pola pikirnya, dan bekerja keras.
Akibatnya saya dikritik. Kata pengritik, seolah saya
hendak mengatakan bahwa orang-orang miskin itu pemalas. Kemiskinan, kata
mereka, bukan melulu soal kerja keras atau pemalas, tapi juga terkait dengan
kebijakan pemerintah. Mereka menyebutnya kemiskinan struktural.
“Kurang keras bagaimana lagi para buruh atau kuli itu
bekerja, tetap saja mereka miskin,” kata mereka.
Ketika bicara soal kemiskinan dan orang miskin, saya lebih
suka membicarakannya sebagai “kita”, bukan “mereka”. Maka, ketika saya bicara
soal kemalasan, itu bukan untuk menuding atau merendahkan, tapi sebagai
evaluasi untuk memperbaiki diri. Ini soal mencari apa yang salah, bukan
menyalahkan.
Banyak orang bekerja keras, tapi tetap miskin. Apa yang
kurang kalau begitu? Saya suka mengandaikan kemiskinan itu seperti gravitasi.
Kita dan semua benda bermassa terikat oleh gaya gravitasi bumi. Kalau kita
melompat ke atas, kita akan ditarik kembali ke muka bumi. Kalau kita terbang
dengan pesawat, kita harus mendarat kembali.
Bisakah kita lepas dari ikatan gaya gravitasi itu? Bisa.
Hanya saja, kita memerlukan energi besar. Energi itu setara dengan yang
diperlukan untuk melempar benda dengan kecepatan 11,2 km/detik, atau 40.320
km/jam.
Kecepatan ini disebut escape velocity atau kecepatan
kabur. Seberapa cepat itu? Rekor kecepatan tertinggi sebuah pesawat terbang
hingga saat ini adalah 3.530 km per jam, jauh di bawah kecepatan kabur tadi.
Para penjelajah ruang angkasa berhasil membebaskan diri
mereka dari ikatan gravitasi bumi. Dengan roket yang membawa bahan bakar
sumber energi dalam jumlah besar. Sejumlah energi digunakan dalam suatu
rentang waktu yang lama.
Artinya, diperlukan energi dalam jumlah besar, juga
diperlukan waktu yang lama. Bila tidak cukup, apa boleh buat, kita akan
kembali jatuh ke bumi.
Begitu pula dengan kerja untuk membebaskan diri dari
kemiskinan. Kerja keras saja tidak cukup. Kita perlu kerja keras dalam waktu
yang lama, dan juga perlu strategi untuk memastikan bahwa kita tidak terjatuh
kembali. Saya menyebutnya dengan rencana kabur, atau escape plan.
Berikut beberapa kunci dalam rencana kabur untuk membebaskan
diri dari kemiskinan.
Pertama, pastikan kita bekerja dengan penghasilan memadai.
Bekerja tanpa penghasilan memadai, seberapa keras pun, seberapa lama pun,
tidak akan membebaskan kita dari kemiskinan.
Intinya, harus ada sejumlah uang dari penghasilan kita
yang kita sisihkan untuk memperbesar tenaga kita dalam rangka membebaskan
diri tadi.
Bagaimana kalau yang kita terima saat ini ternyata kurang?
Cari pekerjaan lain. Tapi bagaimana bila tidak ada pilihan lain? Ada! Yang
mengatakan tidak ada itu adalah orang yang menderita penyakit miskin pikiran.
Itu yang membuat dia tidak bisa keluar dari kemiskinan.
Maaf, saya harus mengatakan ini. Saya melihat begitu
banyak orang yang melakukan pekerjaan tanpa masa depan. Mereka bekerja hanya
cukup untuk makan sehari-hari, bahkan kurang. Tapi mereka tidak mau berganti
pekerjaan.
Kebanyakan berkata, tidak ada pilihan lain. Pilihan ada
banyak, dan diambil oleh orang lain. Orang lain bisa, kenapa kita tidak?
Mau contoh nyata? Pekerjaan sebagai pak ogah, pedagang
asongan, dan sejenisnya itu, bukan pekerjaan yang bisa membebaskan diri dari
kemiskinan. Kalaupun bisa, diperlukan strategi yang sangat khusus, yang nanti
akan dijelaskan lebih lanjut.
Kedua, lakukan pekerjaan dengan peningkatan penghasilan.
Tanpa peningkatan, kita akan terus bekerja dalam waktu yang lama, dan sulit
untuk lepas dari kemiskinan. Tapi, bagaimana caranya?
Kalau kita pedagang asongan, cobalah untuk menjual lebih
banyak dari yang lain, dengan cerdik mencari tempat berjualan, atau barang
yang dijual.
Tabunglah sejumlah penghasilan untuk dijadikan modal,
menambah barang dagangan. Atau, gunakan itu sebagai modal untuk mempekerjakan
orang lain.
Seorang tukang harus meningkatkan keterampilannya agar
upahnya bertambah. Perlahan ia harus meningkatkan posisi dari tukang biasa
menjadi kepala tukang, atau mandor. Kelak ia bisa meningkat jadi pemborong
kecil-kecilan.
Apakah semua ini nyata? Ya, ini semua nyata. Ada banyak
orang yang berhasil dengan cara seperti itu. Sayangnya lebih banyak yang
bertahan, terikat erat pada zona nyaman yang sebenarnya sangat tak nyaman,
yaitu kemiskinan.
Jadi, ini jawaban atas pertanyaan tadi. Kerja keras saja
memang tidak cukup untuk bebas dari kemiskinan. Perlu kerja dengan
peningkatan.
Itulah yang dulu dilakukan emak saya. Ayah dulu bekerja
sebagai buruh tadi. Bagi Emak, itu bukan pekerjaan yang bisa membebaskan dia
dari kemiskinan, karena hasilnya sedikit dan tidak ada peningkatan.
Emak mengajak Ayah pindah ke kampung baru, membuka lahan,
dan membangun kebun. Punya kebun sendiri adalah langkah awal untuk
membebaskan diri dari kemiskinan.
Ketiga, prihatin. Artinya, menahan diri dari kemewahan
dalam bentuk apapun. Ada banyak orang yang segera ingin menikmati kemewahan
saat baru saja mendapat penghasilan lebih baik dari sebelumnya.
Sebagian bahkan tidak sadar bahwa tambahan penghasilan itu
sementara saja sifatnya. Mereka mengira itu kekal, lalu berfoya-foya. Saat
sumbernya hilang, barulah mereka menyesal.
Sepanjang masa sekolah dulu saya nyaris tak punya baju
selain seragam sekolah. Emak sengaja mengajari kami untuk menahan diri, meski
sebenarnya sudah mampu membelinya.
Emak memilih memakai uangnya untuk hal-hal yang lebih
berguna untuk masa depan. Demikian pula, Emak mengajari kami untuk tidak
jajan dan makan di luar. Lebih baik masak sendiri kalau ingin makan enak.
Keempat, lakukan apa saja. Apa saja yang bisa menambah
penghasilan, menjadikan hidup kita lebih baik. Kalau kita tidak bisa,
belajar. Jangan pernah membatasi diri dengan kata tidak bisa.
Banyak orang sukses dengan cara ini. Mencoba, belajar,
coba lagi, sampai berhasil. Dengan cara yang sama ia terus membesar.
Empat poin di atas mungkin belum cukup untuk membuat kita
bebas dari kemiskinan. Tapi empat poin itu fundamental. Tanpa itu, kita tidak
akan bisa membebaskan diri. ●
|