Moralitas Menyelamatkan Masa Depan
HS Dillon ; Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Nasional, 2001
|
KOMPAS,
16 Juli 2015
Sekitar medio Juni lalu Paus Fransiskus menyampaikan pesan
”Laudato Si’, mi’ Signore”, atau ”Terpujilah Engkau, Tuhanku” dalam
terjemahan bebasnya.
Kendati sesuai dengan tugas pokok dan fungsi seorang Paus,
dokumen mengambil bentuk sepucuk surat kepada lingkar uskupnya, pada
hakikatnya ensiklik ini merupakan pesan Paus kepada kita semua. Pesan yang
bertajuk ”merawat rumah bersama menghadapi perubahan iklim” langsung memicu
respons berbagai negara.
Politikus yang dangkal dan ambisius, penganut agama
Katolik sekalipun, menampik pesan seraya mendesak agar Paus tidak mencampuri
dunia praktis mereka. Yang menyambut sangat antusias justru para pakar dan
aktivis perubahan iklim, kesenjangan sosial,kemiskinan, sertakeadilan sosial
lintas agama.
Apa sebenarnya yang disampaikan Paus Fransiskus? Dalam 180
halaman ensiklik, terungkaplah sebuah visi terpaut permukiman kumuh Buenos
Aires dengan suatu konsistensi teguh keberpihakan kepada kaum papa. Dengan
kelugasan mantan guru dan bahasa sangat menyentuh, Paus pada intinya menarik
perhatian kita kepada rumah bersama kita yang sedang rusak dengan dampak
menimpa semua, terutama negara dan penduduk miskin.Paus membidik konglomerat,
maskapai energi, politikus tak berwawasan, ilmuwan vulgar, ekonom neolib,
warga tak acuh, serta media yang rabun.
Paus Fransiskus menyesalkan ketakpedulian para penguasa,
khususnya pemimpin negara kaya dan para industrialis, yang paling menikmati
paradigma bahan bakar fosil sekarang. Ia juga mendakwa negara paling maju
telah lebih dulu menikmati penggunaan batubara, minyak, dan gas bumi sehingga
berutang sosial yang besar kepada negara berkembang.
Paus mendesak agar para penguasa mengubah pola hidup,
produksi, dan konsumsi yang mengancam kelestarian menjadi cara merawat rumah
bersama yang lebih bertanggung jawab.
Cara kita kini merawat lingkungan terkait erat dengan cara
kita saling merawat. ”Kita bukan menghadapi dua krisis yang berbeda, tetapi
sebuah krisis kompleks yang melingkupi aspek sosial maupun lingkungan.”Karena
itu, hanya sebuah revolusi kultural yang beraniyang dapat menyelamatkan
manusia dari sedotan spiral menghancurkan diri, wanti-wanti sang Paus.
Desakan Joko Widodo
Pada saat bersamaan, pada tataran negara-bangsa, Presiden
Joko Widodo pernah mendesak pentingnya melaksanakan revolusi mental untuk
menyelamatkan Republik. Wacana revolusi mental tentu lahir untuk mengadakan
koreksi mendasar kepada paradigma pertumbuhan ekstraktif yang merusak
lingkungan sembari meminggirkan rakyat kecil. Mungkin pesan Paus kali ini
hadir tepat waktu untuk kembali mengingatkan kita pada janji Jokowi tersebut.
”Pujian kepadamu, ya Tuhanku”, merupakan madah indah Santo
Fransiskus dari Asisi, sosok yang sangat mencintai alam dengan segala
makhluknya. Senandung ini mengingatkan bahwa rumah kita ini ibarat saudara
perempuan, sahabat kita berbagi kehidupan, dan ibarat seorang ibu cantik yang
merangkul kita mesra. Paus mengingatkan bahwa saudara perempuan kita sedang
meratap kini karena manusia sudah melukai segala yang diberikan Tuhan
kepadanya melalui tindakan tak bertanggung jawab. Manusia memandang diri
sebagai tuan dan pemilik yang berhak merampok Ibu Pertiwi sesuka hati.
Kekerasan yang bermukim di hati kita dilukai dosa tecermin
juga dalam gejala penyakit yang timbul di lahan, air, udara, dan segala
bentuk kehidupan. Itu sebabnya Bumi yang sudah diperkosa terbilang di antara
kaum miskin yang paling ditelantarkan. Kita sudah melupakan bahwa kita ini
hanya debu, badan kita terbangun dari elemen-elemen Bumi, kita mengirup
udaranya dan menerima kehidupan dan penyegaran melalui airnya
Karena itu, Paus Fransiskus menuntut negara maju harus
melunasi utang ini dengan mengurangi konsumsi energi tak terbarukan dan
membantu negara kurang mampumengimplementasi kebijakan dan program
pembangunan berkelanjutan.
Nicholas Stern, ekonom Inggris, yang menerbitkan laporan
sangat berpengaruh tentang perubahan iklim beberapa tahun lalu, menyatakan
bahwa ensiklik Paus sangat bermakna karena dapat jadi tuntunan bagi pemimpin
lain, terutama karena kegagalan kepala negara dan pemerintahan negara
industri menampilkan kepemimpinan politik selama ini.
Aktivis Naomi Klein amat bersyukur bahwa Paus telah
mengaitkan perubahan iklim dengan kapitalisme, peran ketakadilan ekonomi,
konsumtivisme, dan mengajukan tuntutan agar negara maju melunasi utang sosial
dan finansial kepada negara berkembang sebagai imbalan kerusakan planet selama
ini. Mengutip langsung dari ensiklik: ”Mindset yang menolak mengambil
keputusan radikal untuk meluruskan tren pemanasan global adalah mindset
serupa yang menghalangi tercapainya tujuan menghapuskan kemiskinan.”
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyambut ensiklik
Paus Fransiskus seraya menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab besar
merawat dan melindungi ru- mah bersama, Bumi, dan menunjukkan solidaritas
dengan warga termiskin paling rentan, mereka yang paling menderita akibat
dampak perubahan iklim.
Paus Fransiskus menutup ensiklik dengan memanjatkan doa ke
hadapan Tuhan yang hadir di seluruh jagat, ”...Oh Tuhan Sang Miskin, kuatkan
kami menyelamatkan mereka yang dilupakan dan yang ditelantarkan di Bumi yang
demikian berharga di mataMu. Bawalah kesembuhan ke dalam kehidupan kami agar
kami melindungi Bumi dan bukan memangsanya, agar kami menyemai keindahan
bukan polusi dan kehancuran.”
Beranikah kita memupuk kekuatan moral merebut keadilan
sosial menghadapi penguasa dan pengusaha yang sudah demikian dirasuki
keserakahan? Jawaban jujur hanya dalam nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar