Perpanjangan KK Freeport
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Hukum Internasional UI
|
KOMPAS,
15 Juli 2015
Kepala Pusat Komunikasi Publik
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam jumpa pers di
Jakarta, 10 Juni 2015, mengatakan akan ada kepastian kelanjutan operasi PT
Freeport Indonesia untuk 20 tahun mendatang. Keputusan diambil menyusul
kesediaan PT Freeport Indonesia (FI) mempercepat perubahan rezim kontrak
karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebelum kontrak
berakhir pada 2021. Apakah alasan FI
yang akhirnya bersedia mengubah KK ke IUPK?
Apakah karena FI akhirnya pasrah dan ikhlas untuk tunduk pada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba)? Sesuatu yang di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sulit
dilakukan. Pada masa itu renegosiasi telah dilakukan dan berjalan sangat
alot. Hasil maksimal adalah nota kesepahaman (MOU) terkait pokok-pokok yang
akan diubah dalam KK, bukan amandemen terhadap KK itu sendiri. Ternyata bukan
alasan tersebut. Alasan utama FI bersedia mengubah KK menjadi IUPK adalah
keinginan untuk mendapatkan kepastian perpanjangan operasi FI pada tahun ini.
Induk perusahaan FI, Freeport
McMoran, berencana mengeluarkan investasi sekitar 17,3 miliar dollar AS.
Investasi terdiri dari 15 miliar dollar AS untuk tambang bawah tanah dan
infrastruktur serta 2,3 miliar dollar AS untuk smelter. Tentu investasi besar butuh waktu lebih
lama agar investasi menghasilkan keuntungan. Bagi FI, apabila pemerintah
menyetujui perubahan KK menjadi IUPK, ini merupakan kepastian untuk
berinvestasi yang melebihi jangka waktu KK.
Kesulitan FI untuk mendapat
kepastian perpanjangan apabila mempertahankan KK bersumber pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini. Di samping UU Minerba, juga berlaku
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 yang telah diamandemen terakhir
dengan PP No 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Berdasarkan Pasal 112B
Ayat (2) PP No 77/2014 disebutkan bahwa permohonan perpanjangan KK dapat
diajukan ke Menteri ESDM paling cepat dua tahun atau paling lambat enam bulan
sebelum berakhirnya KK. Jika ketentuan ini diikuti, FI hanya dapat mengajukan
perpanjangan KK paling cepat 2019.
Padahal, 2019 adalah tahun
terakhir masa jabatan Presiden Jokowi. Tentu saat itu pemerintah tak boleh
mengambil keputusan strategis. Ini berarti perpanjangan operasi FI akan
digantung, sementara rencana investasi harus dilakukan tahun ini. Situasi ini
tentu tidak menguntungkan bagi Freeport McMoran.
Penyelundupan
hukum
Jika KK FI diubah menjadi IUPK
tahun ini, FI akan mendapat kepastian perpanjangan. Ini karena berdasarkan
Pasal 83 huruf (g) UU Minerba ditentukan bahwa IUPK diberikan untuk jangka
waktu 20 tahun. Bahkan, IUPK dapat diperpanjang untuk dua kali 10 tahun.
Artinya, dengan IUPK, FI akan mengakhiri kegiatannya pada 2035. Lebih lama 14
tahun dari berakhirnya KK pada 2021. Belum lagi jika FI berkeinginan
memaksimalkan perpanjangan IUPK. Ini berarti FI bisa beroperasi di Indonesia
hingga 2055.
Padahal, bila merujuk pada KK FI
pada 1967, FI seharusnya mengakhiri operasinya tahun 1997. Jika saat ini FI
masih beroperasi hingga 2021, hal itu karena tahun 1991 pemerintah dan FI
mengakhiri KK 1967 dan kemudian membuat KK baru untuk jangka waktu 20 tahun.
Meski tak ada yang dilanggar, cara
perpanjangan ini tak sesuai dengan apa yang disepakati dalam KK 1967. Upaya
sama sepertinya akan dilakukan oleh FI dengan kesediaannya mengubah KK
menjadi IUPK. Dua cara mendapat perpanjangan
FI dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum. Makna penyelundupan hukum
adalah secara formal tak ada aturan yang dilanggar, tetapi secara moral ada
rekayasa hukum yang dilakukan.
Penyelundupan hukum seperti ini
akan menyisakan masalah pada kemudian hari. Bisa jadi para pejabat yang
menyetujui perubahan menghadapi jeratan hukum pidana karena dicurigai adanya
perilaku koruptif oleh aparat penegak hukum.
Dewasa ini aparat penegak hukum
tak membedakan pejabat yang melakukan kebijakan inovatif dengan menyimpang
dari peraturan perundang-undangan dengan pejabat yang diduga melakukan
kejahatan korupsi apabila dalam dua kejadian itu ditemukan adanya kerugian
negara. Bahkan, di dunia pertambangan mineral dan batubara ada ketentuan yang
dapat menjerat secara pidana para pejabat yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan izin apabila menyimpang dari UU Minerba.
Pasal 165 UU Minerba menentukan,
"Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan
dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah)", Karena itu,
siapa pun pejabat yang memberi persetujuan perubahan KK FI jadi IUPK
berpotensi dijerat secara pidana. Ini berarti perpanjangan FI akan memakan
tumbal: FI dapat terus menjalankan usahanya di Indonesia di atas penderitaan
para pejabat dan keluarganya.
Empati
Jika rasa empati yang dikedepankan
Freeport McMoran dan FI, sejak awal seharusnya FI tak memaksakan kehendak
untuk mendapat perpanjangan dengan mengatasnamakan apa pun. Rakyat di negeri ini sudah lama merindukan
agar kekayaan alam Indonesia benar-benar dapat memberi manfaat untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Ayat
(3) UUD 1945. Ini pun terekam dalam Nawacita pemerintahan Jokowi. Memang menjadi pertanyaan mengapa Freeport
McMoran dan FI sebagai penggarap (kontraktor) akhirnya bisa lebih berkuasa
dari pemilik wilayah tambang, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Terlebih lagi jika pemerintah menyetujui IUPK dan perpanjangannya, Freeport
McMoran akan berada di Indonesia 88 tahun yang seharusnya hanya 30 tahun
berdasarkan KK 1967.
Freeport McMoran sebagai
perusahaan yang berkedudukan di AS juga seharusnya paham di alam yang
demokratis tak mungkin lagi pejabat mengambil kebijakan tanpa mendengar suara
rakyat. Suara rakyat menghendaki agar
keterlibatan asing dalam pengeksploitasian sumber daya alam Indonesia pada
saat berakhirnya kontrak untuk diakhiri. Contohnya di PT Inalum dan Blok
Mahakam. Terkait kontraktor di bidang
pertambangan saat UU Minerba dibahas, pemerintah sebenarnya sudah melindungi
kepentingan para kontraktor.
Keberadaan mereka tetap
dipertahankan hingga berakhirnya kontrak sebagaimana diatur Pasal 169 (a) UU
Minerba. Ini disebabkan pada masa itu ada aspirasi di masyarakat yang
kemudian ditangkap anggota DPR agar Indonesia mengikuti nasionalisasi yang
dilakukan Presiden Venezuela Hugo Chavez. Oleh karena itu, tak adil apabila
saat ini Freeport McMoran membuat sulit posisi pemerintah untuk memberikan
kepastian perpanjangan karena akan melakukan investasi besar-besaran.
Saat ini yang justru harus
dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan persiapan pengambilalihan operasi
FI setelah berakhirnya KK pada 2021. Bukan justru sebaliknya hendak
memberikan perpanjangan. Untuk itu,
pemerintah perlu membentuk tim yang mengkaji berbagai aspek terkait
pengambilalihan meski masih enam tahun lagi. Kajian dilakukan mulai dari
kepastian tak terganggunya operasi FI, siapa yang akan mengambil alih
kedudukan Freeport McMoran, ketersediaan dana dalam melakukan pengembangan,
termasuk sumber daya manusia. Segala persiapan perlu dilakukan layaknya
ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia melakukan proses
peralihan dari negara jajahan menjadi negara merdeka.
Jangan sampai pemerintah tak siap
ketika KK berakhir, bahkan saat 2019 FI meminta perpanjangan. Tentu saja jika
berdasarkan kajian tim ternyata Indonesia belum mampu melakukan
pengambilalihan KK FI di 2021, tim dapat merekomendasikan agar keberadaan
Freeport McMoran diperpanjang.
Di sini perpanjangan bukan
dimintakan oleh Freeport McMoran, tetapi atas permintaan Indonesia agar
Freeport McMoran terus ada di Indonesia. Dalam konstruksi ini kedaulatan ada
di tangan Pemerintah RI, dan Indonesia akan dijauhkan dari tuduhan alergi
yang berbau asing atau nasionalisme sempit. Jika keberadaan FI tetap
dipertahankan dan untuk memastikan para pejabat tak dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana, semua peraturan perundang-undangan bidang
minerba yang bertentangan harus diamandemen.
Proses amandemen pun harus mengikutsertakan DPR dan publik, di samping
terjaminnya transparansi serta berlaku untuk semua kontraktor. Satu hal yang
pasti, amandemen tak boleh karena semata untuk mengistimewakan dan
mengakomodasi kepentingan Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar