JUMAT 26 September 2014.
Matahari terbit di pagi hari seperti biasanya. Jalan-jalan raya di Ibu Kota
tetap macet, dan masih dipenuhi spanduk-spanduk seperti “Aktivis 98 Tolak
Pilkada oleh DPRD” dan “Rakyat Dukung SBY dan Partai Demokrat Dukung Pilkada
Langsung”. Tapi ada yang berbeda. Di media sosial, di kantor-kantor,
orang-orang menggerutu menyimak berita di surat kabar, radio dan televisi
(sepertinya ada yang aneh jika di kantor atau tempatmu beraktivitas,
keadaannya adem-ayem seolah tadi malam adalah malam yang biasa-biasa saja dan
tidak terjadi apa-apa). Rupanya, penyebabnya pada dini harinya, Rapat
Paripurna DPR mengesahkan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang. Konsekuensinya,
sudah kita tahu: kini kepala-kepala daerah akan kembali dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebanyak 135 suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memilih
opsi Pilkada Langsung, kalah jumlah dalam voting yang dimenangkan oleh 226
suara anggota DPR dengan opsi Pilkada Tidak Langsung (oleh DPRD)-nya. Koalisi
PDIP-PKB-Hanura yang dibangun sejak Pilpres, seperti diprediksi sedari awal,
gagal memenangkan pertarungan Parlementer untuk mempertahankan Pilkada
Langsung dari usulan perubahan yang dibawa oleh pihak Pemerintah melalui RUU
Pilkada. Ketiga Fraksi tersebut memang kalah jumlah dari Koalisi Merah-Putih
yang digagas Prabowo Subianto.
Rapat Paripurna tersebut juga diwarnai oleh tingkah memuakkan dari SBY
dan Partai Demokrat yang dipimpinnya. Beberapa waktu sebelumnya, SBY
menyatakan secara publik bahwa Ia mendukung Pilkada tetap dilaksanakan secara
Langsung (hal yang aneh mengingat usulan RUU Pilkada itu sendiri datangnya
adalah dari pihak pemerintah dimana ia menjadi Presiden). Perkembangan ini
memberikan angin segar dan harapan bagi publik yang sebelumnya sudah cemas
akan hasil akhir pertarungan kedua opsi, mengingat besarnya jumlah anggota
DPR dari Fraksi Partai Demokrat, yaitu sekitar sepertiga dari jumlah total.
Namun, di saat-saat menentukan, Fraksi Partai Demokrat melakukan jurus
mabuk yang tak tertebak, Walk Out dari
Rapat. Perkembangan ini seketika mengubah kembali konstelasi kekuatan di
parlemen. Dan hasilnya, sudah kita ketahui bersama.
Pelajaran
dari Tragedi UU Pilkada
Dari hiruk pikuk perdebatan publik tentang RUU Pilkada ini, ada beberapa
pelajaran yang musti kita camkan supaya kelak tidak terjatuh lagi ke dalam
lubang yang sama.
Pertama, kasus Pilkada oleh DPRD ini tidak bisa terlepas konteksnya
dari pertentangan Koalisi Merah Putih melawan Koalisi PDIP-Hanura-PKB sejak
Pilpres 2014. Yang pertama disebut, menyokong Prabowo sebagai capres yang
sejak masa kampanye telah kita tunjukkan bersama-sama betapa berbahayanya Ia.
Dengan menangnya Jokowi, KMP/Koalisi Merah Putih ternyata tidak serta merta
bubar dan merapat satu per satu ke kubu pemenang. Bahkan UU Pilkada ini
bukanlah pukulan balik mereka yang pertama. Sebelumnya, DPR (fraksi-fraksi
KMP) juga sudah mengesahkan RUU MD3 menjadi Undang-Undang dengan segala
bahayanya bagi demokrasi.
Di masa kampanye Pilpres, wacana yang kita bangun bersama adalah bahwa
ini bukan sekadar pertarungan Jokowi vs Prabowo atau PDIP vs Gerindra. Lebih
dari itu, ini adalah usaha Orba untuk bangkit kembali, usaha Oligarki untuk
mempertahankan status quo, dan manuver hama-hama demokrasi untuk merusak ladang
demokrasi yang sedang proses bertumbuh di Indonesia. Ternyata usaha kembali
ke Orba tersebut tidak begitu saja gagal dengan kekalahan KMP dengan
Prabowo-nya di Pilpres. Oligarki tetap berusaha berkuasa melalui DPR. Contoh
sederhana adalah dengan mengurangi kuorum untuk menyepakati hasil rapat di
DPR menjadi 2/3 melalui UU MD3, sehingga kontrol kualitas untuk produk
legislasi menjadi lebih buruk, dan akan dipilihnya kepala-kepala daerah
kembali melalui DPRD—KMP memiliki basis suara DPRD di lebih banyak daerah di
banding koalisi lawannya.
Di penghujung dekade 1990, Orba telah jatuh di antaranya karena
aksi-aksi turun ke jalan. Namun ternyata usaha untuk menggagalkan berkuasanya
kembali Orba melalui kotak suara di Pilpres 2014 tidak benar-benar berhasil.
Menghadapi tren KMP sebagai simbolisasi baru bagi tendensi-tendensi politik
Orba yang terus bermanuver dengan lancar di DPR, tentunya partisipasi politik
yang lebih aktif (lebih dari kotak suara dan gerakan media sosial) dari
gerakan rakyat menjadi syarat bagi penjegalan manuver-manuver KMP.
Kedua, terlepas dari bagaimanapun perdebatan publik yang bergulir di
luar gedung Parlemen, pada akhirnya, hasil keputusan tersebut dikeluarkan
melalui Rapat Paripurna DPR. Hasil akhir ada di tangan PARTAI POLITIK yang diwakili
para anggota dewan di fraksinya masing-masing.
Berbagai kampanye (termasuk demonstrasi dan petisi on-line) yang
dilakukan civil society telah
berhasil mempengaruhi opini publik. Namun, ia belum berhasil mempengaruhi
hasil Rapat Paripurna yang dilakukan para anggota dewan. Ia belum berhasil
mempengaruhi hasil akhir apakah Pilkada Langsung akan tetap berjalan atau
berhenti. Pepatah Arab menyatakan, ‘Al-Haqqu
Bi La Nizham Yaghlibuhul Bathilu Bi Nizham’, Kebaikan yang Tidak Terorganisir
Akan Dikalahkan oleh Kejahatan yang Terorganisir. Selama gerakan
ekstraparlementer tesebut tidak berhasil memberikan tekanan/hambatan yang
nyata bagi agenda-agenda yang digulirkan oligarki melalui wakil-wakilnya di
DPR, selama itu pula gerakan tersebut tidak berhasil melakukan intervensi
efektif ke dalam proses politik yang terjadi di Senayan.
Ketiga, dari pengalaman yang sudah terjadi seperti disinggung di atas,
kita belajar (sekali lagi) bahwa sungguh, partai-partai borjuis tidak bisa
dipercaya. Terkadang ada spektrum politik yang terbentang sehingga tampak
yang mana yang liberal-progresif, dan yang mana yang konservatif-reaksioner.
Namun pada prinsipnya, semua partai borjuis tidak ada yang bertujuan
memperjuangkan sosialisme, tidak ada yang benar-benar setia pada demokrasi,
tidak ada yang membasiskan diri pada perjuangan gerakan rakyat sehingga
aspirasi merekalah yang kemudian tercermin menjadi agenda politik partai.
Partai borjuis (di samping tekanan-tekanan anggota atau publik di luarnya
yang bersifat relatif) bagaimanapun selalu milik segelintir elit, sehingga
kepentingan mereka inilah yang dilayani.
Wacana-wacana yang terus disuarakan gerakan-gerakan rakyat tentang
dibutuhkannya transformasi gerakan dari level sektoral-ekonomi (gerakan buruh
menuntut upah layak, gerakan tani menuntut kepemilikan tanah, dll.) ke level
politik sudah semakin mendesak dan perlu segera dikonkretkan. Kebutuhan akan
dibangunnya partai politik baru yang membasiskan dirinya pada massa dan
organisasi gerakan-gerakan rakyat sekaligus konsisten memperjuangkan aspirasi
kelasnya yaitu sosialisme di Indonesia, harus segera dijawab dengan pendirian
partai elektoral-parlementer.
Parpol semacam ini dibutuhkan untuk melengkapi dan meningkatkan level
perjuangan dari ekstra-parlementer menjadi sekaligus extra dan intra
parlementer. Kasus UU Pilkada ini memberikan pelajaran penting sekali bagi
kelas pekerja tentang urgensi berpolitik praktis dalam bentuk partai yang
ikut Pemilu dan menempatkan wakilnya di DPR, mengingat pelajaran pertama yang
kita ambil di atas, adalah bahwa pada akhirnya keputusan politik-hukum keluar
dari Parlemen, bukan jalanan.
Sejarah menggelar kenyataan-kenyataan objektif yang terus berkembang,
namun keputusan politik (misalnya untuk mendirikan Parpol dan memanfaatkan
peluang yang disediakan perkembangan zaman yaitu dalam hal ini demokratisasi)
adalah pilihan-pilihan subyektif yang berdasar pada kejelian membaca
kenyataan ekonomi-politik serta arah geraknya, dan kemampuan untuk mensarikan
dari pembacaan tersebut strategi-strategi praktik politik yang konkret dan
membumi.
What
Is To Be Done?
Dari sekilas pelajaran yang kita ambil bersama dari kasus UU Pilkada di
atas, apa yang bisa dan harus dilakukan oleh Gerakan Kiri Indonesia untuk
mengatasi dan melampauinya?
Bringing
Class Analysis Back In
Seperti diterangkan Mao Tse Tung, dalam masyarakat berkelas,
sesungguhnya setiap individu adalah bagian dari sebuah kelas sosial, dan
setiap macam pikiran terhubung dengan sebuah kelas sosial tertentu. Tentu
termasuk di dalamnya, pemikiran tentang demokrasi dan bagaimana ia diterapkan
secara praktis. Dalam kejadian direbutnya hak memilih kepala daerah dari
warga negara, jelas Oligarki lah yang diuntungkan.
Sebenarnya, disadari atau tidak, di sisi lainnya kelas pekerja lah yang
paling akan merasakan akibat buruknya, apalagi dengan belum ada partai
politik milik kelas pekerja yang mewakili kepentingannya di legislatif.
Dengan semakin tersembunyi dan terlokalisirnya proses-proses politik di
segelintir elit yang memiliki keterputusan hubungan dengan konstituennya,
yakni para anggota kelas pekerja (mayoritas penduduk), representasi politik
yang sudah pincang dengan sendirinya, menjadi semakin lumpuh untuk
mengartikulasikan kepentingan publik (yang, sekali lagi, mayoritasnya adalah
kelas pekerja).
Itu dampak tidak langsung, dengan menerangkan bahwa sebenarnya ketika
kita membicarakan masyarakat-pada-umumnya, yang-publik, sesunguhnya kita sama
juga sedang membicarakan kelas pekerja sebagai sebuah subjek politik beserta
kepentingan-kepentingannya. Selain itu, kelas pekerja sebenarnya juga
merasakan dampak langsung, misalnya, 1) akan semakin sulit dilakukan
eksperimen-eksperimen pengambilalihan kekuasaan politik di level daera; 2)
Isu-isu sektoral seperti penentuan upah serta status kepemilikan tanah juga
akan terdampak jika logika ‘menitip nasib’ ke anggota dewan ini diteruskan;
3) Iklim perlawanan berbasis kelas yang sedang kita rasakan kebangkitannya
(kuantitas dan kualitas aksi sosial yang dilakukan kelas pekerja yang terus
membanyak dan mematang), akan mendapat hambatan berarti dengan kepala-kepala
daerah baru pilihan DPRD, yang tentunya akan lebih mudah berkongkalikong
dengan Oligarki dan akan lebih bergantung legitimasinya sebatas kepada DPRD.
Sehingga, saat kita memperjuangkan demokrasi dan pendalamannya dalam
praktik bernegara, kita perlu selalu sadar bahwa yang kita perjuangkan
sebenarnya adalah bagian dari kepentingan kelas pekerja, dan ia akan lebih
sering bertentangan daripada beririsan dengan kepentingan Oligarki. Jika
suatu kewajiban tidak dapat terlaksana tanpa terlaksananya terlebih dahulu
sesuatu hal, maka suatu hal itu juga menjadi sama wajibnya.
Oleh karena itu, analisis tentang keterbukaan politik dan keterlibatan
langsung warga negara dalam setiap proses politik termasuk memilih kepala
daerah, jangan direduksi sebagai sekadar isu demokrasi prosedural atau nilai
Indonesia vs nilai Barat. Sesungguhnya kepentingan kelas pekerja adalah jelas
dan terang di sini, yaitu untuk terus menyibak lebar celah-celah menuju
terwujudnya presentasi aktual kekuatan kelas pekerja dalam panggung politik
di Indonesia dan menendang jatuh Oligarki keluar dari panggung tersebut.
Democracy:
The More The Merrier
Menjalankan demokrasi tentunya bukanlah hal yang mudah. Mengadakan
Pemilu lima tahun sekali, itu mudah. Menahan waktu kekuasaan Presiden menjadi
hanya 2 periode, itu juga mudah. Tapi menerapkan demokrasi, menjadi manusia
dan masyarakat yang demokratis di kehidupan sehari-harinya, bukanlah hal yang
mudah.
Publik Indonesia dengan mudah mengamini begitu saja jargon-jargon yang
diserukan Oligarki, seperti ‘Demokrasi harus efektif dan efisien’, ‘Demokrasi
hanyalah cara untuk mencapai tujuan yaitu kesejahteraan’, ‘Demokrasi
Indonesia harus sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, dan nilai-nilai budaya
Indonesia’. Sehingga, demokrasi termaknai sebagai sebuah ide yang karena ia
muncul di dunia Barat sementara Indonesia berada di dunia Timur sehingga
memiliki budaya yang berbeda, maka harus diperlakukan dengan ‘hati-hati’ dan
‘Diambil baiknya saja yang cocok dengan Indonesia, sisanya tidak’.
Pertanyaannya, siapakah subjek politik Indonesia yang berotoritas
menentukan kecocokan dan ketidakcocokan tersebut? Apakah benar bahwa
demokrasi harus dipandang secara hati-hati karena tidak sesuai dengan tradisi
leluhur?
Sesungguhnya, jika sesuatu yang datang dari luar Indonesia maka
otomatis tidak bisa diterima begitu saja, lantas bagaimana dengan
Nasionalisme? Republik? Uang? Bahkan, agama-agama seperti Islam dan Kristen?
Baik atau tidaknya sesuatu tentu tidaklah bergantung pada dari mana ia
berasal.
Logika ‘demokrasi yang harus efektif dan efisien’ sebenarnya merupakan
oxymoron, karena sebenarnya demokrasi dengan sendirinya sudah tidak efisien.
Jika anda ingin efisiensi, belajarlah ke pabrik-pabrik di masyarakat
kapitalistik kita. Apakah mereka menerapkan demokrasi? Apakah setiap pekerja
memiliki haknya untuk berpendapat? Memilih apa yang ingin diproduksi dan
bagaimana dilakukan? Ketika kita berkomitmen dengan demokrasi, selayaknya
kita telah sadar di dalam kepala sendiri bahwa kesetaraan, keadilan, dan
kebebasan warga negara adalah penting dan hal yang mendasar, karena
ujung-ujungnya, untuknyalah negara itu sendiri kita pertahankan
keberadaannya.
Dan dengan begitu, kita menomorduakan persoalan efisiensi demi kebaikan
bersama yang kita lebih ingini. Saat berdemokrasi, kita harus siap lelah,
siap bersabar, bertoleransi, siap menang, siap kalah. Dari situlah kita
belajar bersama tentang kesatuan kita sebagai suatu masyarakat. Dari situlah
kita mendidik diri kita sendiri secara bersama-sama untuk berpolitik dengan
dewasa.
Semakin banyak dan semakin seringlah justru kita perlu mempraktikkan
demokrasi. Beradu pendapat, merumuskan bersama apa yang mau kita lakukan,
kebijakan seperti apa yang kita inginkan, siapa pemimpin yang kita sepakati,
termasuk di dalamnya siap menerima konsekuensi kalau aspirasi kita tidak
sesuai dengan aspirasi mayoritas.
Demokrasi prosedural kita hari ini perlu terus diperdalam menuju
demokrasi partisipatoris hingga demokrasi aktual, demokrasi re-presentatif:
demokrasi dengan kehadiran langsung tanpa perwakilan. Dan tentunya, seperti
terjadi di Kota Porto Alegre, Brazil (demokrasi partisipatoris dalam
perencanaan anggaran dan tata ruang kota) atau di Athena, Yunani (demokrasi
presentatif), pendalaman dari demokrasi yang prosedural dan representatif
lebih mudah dilaksanakan di lingkup masyarakat yang lebih kecil. Dalam hal
ini, politik daerah merupakan wahana yang perlu kita gunakan untuk
bereksperimen memperdalam demokrasi. Dan hal itu sangat dapat kita mulai
dari, pertama-tama, merebut kembali hak dan kepentingan kita untuk memiliki
kepala daerah pilihan kita sendiri, seluruh masyarakat secara bersama-sama.
Repolitisasi
Warga Negara
Survey-survey menunjukkan bahwa mayoritas yang sangat besar dari
masyarakat Indonesia sebenarnya memang lebih memilih Pilkada Langsung. Namun
itu ternyata tidak 100 persen. Masih ada bagian dari masyarakat kita yang
merasa rakyat belum cukup pintar. Mereka bisa salah memilih. Lebih baik
anggota DPRD saja yang memilih karena mereka lebih pintar-pintar, tentunya
tahu yang mana yang terbaik bagi kita semua.
Sekali lagi kita tidak bisa tidak mengutuk Orde Baru yang mayatnya
sedang ingin hidup kembali ini, karena warisannya sangat kentara dalam
men-depolitisasi warga negara. Memisahkan politik dari kehidupan warga negara
sehari-harinya, itulah esensi politik Orde Baru. Mengurung politik dalam
kotak suci yang sakral dan rumit sehingga politik bukanlah urusannya rakyat
jelata, melainkan urusan mereka saja, para orang berpendidikan tinggi
(teknokrat), elit politik, militer, dan birokrasi. Selama puluhan tahun di
bawah Orde Baru, rakyat Indonesia dipaksa untuk tidak memanfaatkan otaknya
dengan baik untuk mempertanyakan segala hal yang di hatinya terasa tidak baik
dan tidak wajar. Otak kolektif tersebut karenanya hampir lapuk. Baru setelah
tumbangnya Orde Baru otak kolektif itu panas kembali dan bekerja keras
‘berpolitik’, memikirkan politik.
Mendampingi fenomena populisme Jokowi adalah fenomena mulai memanasnya
kembali otak kolektif masyarakat Indonesia tersebut. Orang-orang di mana-mana
berbicara politik, mempertahankan pilihan politiknya dan menyerang pilihan
politik orang lain. Bukan hanya berbicara, tapi otot kolektif mereka juga
memanas kembali, semuanya bekerja politik. Memenangkan calon gacoannya,
menjadi relawan, mengawasi dari dekat proses prosedur Pilpres demi menjamin
kemenangan pihaknya. Dalam istilah yang lain, fenomena ini dapat disebut
sebagai active citizenship,
kewargaan aktif. Sesuatu yang di era Orde Baru dahulu seperti Oase di padang
pasir.
Namun active citizenship ini
tidaklah paripurna dalam dirinya sendiri. Ia masih perlu didorong lebih maju
lagi, untuk tidak saja berkutat pada personal Jokowi dan lawan-lawan
politiknya, tapi hingga ke pemerintilan kebijakan-kebijakannya di berbagai
aspek dan penghubungannya secara langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari
kita semua.
Misalnya, mendorong pemerintahan Jokowi menata ulang BPJS dari asuransi
komersial berlevel nasional yang di-endorse pemerintah menjadi asuransi
negara yang non-komersil. Tidak perlu ada premi karena menjamin kesehatan dan
keselamatan kerja warga negara adalah kewajiban dan tanggung jawab negara.
Dananya ada dari pos SDA yang mesti direbut pengelolaannya dari
perusahaan-perusahaan pengemplang pajak serta dari pos pajak itu sendiri yang
mesti ditingkatkan penerimaannya. Dengannya, langkah selanjutnya menuju
PST/Perlindungan Sosial Transformatif bisa mulai ditapaki. Tanpa langkah ini,
belum ada jaminan jika suatu saat kita atau anggota keluarga kita tertimpa
sakit yang gawat darurat, keselamatannya dapat relatif terjaga karena kita
tidak dipusingkan dengan persoalan biaya jaminan seperti yang sekarang ini
umum terjadi. Tidak perlu lagi terulang kejadian anggota keluarga kita gagal
terselamatkan hanya karena ada tindakan yang terlambat diambil oleh tenaga
medis, hanya karena belum ada jaminan kita dapat membayar biaya tindakan itu
nantinya.
Di atas adalah salah satu contoh bahwa bahkan urusan kasih sayang kita
dengan anggota keluarga, tidaklah dan tidaklah boleh terlepas dari politik
dan negara. Memisahkannya dengan sengaja bukan sekadar berarti kita bersikap
naif, tapi lebih dari itu, berarti kita telah mengidap penyakit kebutaan yang
paling menyedihkan yaitu BUTA POLITIK. Tidak dapat melihat keterhubungan
urusan hidup kita sehari-hari dengan politik negara. Apakah dikira biaya
pengobatan yang mahal itu tidak ada hubungannya dengan negara? Dengan
sukarela kita telah membayar pajak setiap harinya (setidaknya melalui pajak
pertambahan nilai di setiap barang yang kita beli), dan membiarkan SDA yang
sangat kaya di bawah dan atas tanah tempat kaki kita berpijak dikelola oleh
perusahaan-perusahaan. Kapankah kita boleh menagih bayaran, balasan dari itu
semua? Tentunya adalah saat kita berhadapan dengan hak-hak kita sebagai warga
negara. Saat itulah kita harus menagih, karena kita bernegara bukanlah
iseng-iseng berhadiah.
Kita selalu musti sadar bahwa kita bukan sekadar pelajar atau pekerja
atau ibu rumah tangga atau suami atau pacar dari seseorang. Kita setiap saatnya
juga sekaligus adalah WARGA NEGARA. Pada status itu tercantum secara inheren
konsekuensi-konsekuensi, yang terkadang tidak datang pada kita dengan
sendirinya kecuali kita menagihnya, menuntutnya. Dengan cara: BERPOLITIK.
Kewarganegaraan, dengannya, perlu kembali direpolitisasi.
We
Must Be Both The Arrow and The Bull’s Eye
Salahsatu argumen yang dilontarkan KMP adalah bahwa banyak kepala
daerah yang dipilih langsung ternyata kemudian tertangkap KPK. Arah dari
logika argumen ini adalah bahwa rakyat bisa salah memilih pemimpin.
Sebenarnya tidak ada penghubung yang membuktikan bahwa para kepala daerah
tersebut melakukan korupsi karena mereka dipilih secara langsung. Selain itu,
KPK juga telah ikut membantah argumen ini dengan menyatakan bahwa pemilihan
kepala daerah oleh DPRD justru membuka celah lebih besar untuk terjadinya
praktik korupsi.
Namun, sebenarnya ada sedikit unsur kebenaran di dalam argumen
tersebut. Rakyat bisa salah memilih pemimpin. Ini benar, walaupun sama
benarnya dengan bahwa wakil rakyat juga begitu, bisa salah memilih pemimpin.
Poinnya adalah yang telah disinggung di atas, yaitu perlu usaha serius untuk
memanaskan kembali otak dan otot kolektif masyarakat Indonesia untuk mampu
lagi memikirkan dan mengerjakan politik. Banyak dari kita yang telah terlalu
akut terpapar radiasi Orde Baru, yaitu penundukkan kesadaran politik rakyat
dan depolitisasi kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, bukan hanya Oligarki yang musti kita tendang keluar
panggung politik Indonesia, tapi juga bagian dari kita sendiri, masyarakat
Indonesia, orang-orang yang biasa saja, termasuk mayoritas di dalamnya kelas
pekerja, yang gagal memanaskan kembali otak dan otot politik mereka. Mereka
yang terjebak untuk berpikir tentang politik sekadar sebagai pertarungan kekuatan,
terlepas dari aspek etisnya, yaitu politik sebagai kewargaan dan bernegara,
yang dimaknai ulang secara progresif dengan serangkaian konsekuensinya.
Perjuangan memperdalam demokrasi dan menyibak lebar-lebar celah bagi
politik kelas pekerja, tidak bisa tidak, harus mencakup perjuangan membuat
panas kembali otak dan otot kolektif masyarakat Indonesia, supaya tidak lagi
alergi terhadap politik dan memandangnya sebagai hal yang jauh dari kehidupan
sehari-hari. Singkatnya, pendidikan politik progresif supaya semakin luas
lagi masyarakat yang mau menagih secara aktif konsekuensi kewargaannya dengan
cara berpolitik. Berdemonstrasi. Berpropaganda. Berpartai.
Bukan hanya kepada Oligarki kita perlu berteriak Revolusi, melainkan
kepada diri kita sendiri, masyarakat luas, orang-orang biasa, khususnya kelas
pekerja. Kepada kita sendiri, perlu diteriakkan Revolusi. Untuk konsisten
hidup dengan mata terbuka terhadap poltik dan segala keterhubungannya dengan
kehidupan sehari-hari semua orang. Kita harus menjadi anak panah yang melesat
menusuk, sekaligus juga menjadi sasaran tembaknya sendiri. We must be both the arrow and the bull’s
eye. ●
|