Teologi
Polri dan KPK
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2015
Wakil Ketua Muslimat NU Cabang Arab Saudi Hj Rufinah
Madrais, misalnya, menyatakan kegundahannya atas perang antara KPK dan Polri
itu. Berita tentang penetapan calon kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka
pelaku korupsi oleh KPK, yang kemudian dibalas dengan penetapan Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka perekayasa keterangan palsu oleh
Bareskrim Polri, telah menyentak perhatian publik.
Meski mungkin ada yang berpura-pura menyebut peristiwa itu
sebagai dinamika, tak bisa dihindari sebenarnya banyak yang menyebut
peristiwa tersebut sebagai perang antara KPK dan Polri. Ia menarik perhatian
bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri, terutama di
kalangan warga negara Indonesia. Ketika pada Sabtu dini hari pekan lalu
(24/1) saya mendarat di Jeddah, dua aktivis Ansor NU di Arab Saudi, Maksum
Jalal dan Nurkholis, yang menjemput saya di bandara juga menanyakan soal
kisruh Polri vs KPK itu.
Begitu juga ketika ngobrol-ngobrol ringan saat bertemu
dengan orang-orang Indonesia di Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjid Haram
(Mekkah), yang paling banyak ditanyakan kepada saya adalah perang antara KPK
dan Polri. Semua sedih dan prihatin karena pada saat kita sedang dituntut
untuk serius memerangi korupsi ternyata terjadi perang antarkedua institusi
penegak hukum itu sehingga memberi kesan kita tak serius memerangi korupsi.
Sebenarnya kalau kita melihat peristiwa itu secara jernih
dan seimbang, kedua pihak mungkin sama-sama melakukan kekeliruan. Tapi tak
terhindarkan yang muncul dalam opini publik adalah terjadinya upaya pelemahan
terhadap KPK. Banyak yang kesal, mengapa Polri melakukan itu.
Orang kemudian tidak lagi menyebut Budi Gunawan sebagai
oknum, melainkan menyebut Polri sebagai institusi. Tanpa sadar kemudian mulai
timbul ketidaksukaan terhadap Polri. Itu yang membahayakan.
Menyebut Polri korup secara institusi apalagi sampai
menimbulkan antipati dan kebencian di tengah-tengah masyarakat sangatlah
tidak baik. Polri adalah lembaga penegak hukum yang keberadaannya disebutkan
eksplisit di dalam konstitusi kita. Negara ini memerlukan Polri untuk
mengawal upaya pencapaian tujuan-tujuan bernegara terutama untuk menjamin
ketertiban, keamanan, dan ketenteraman di dalam masyarakat.
Karena itu polisi diberi monopoli oleh hukum untuk
menggunakan senjata demi menjamin keamanan dan ketertiban. Harus kita akui,
dalam melaksanakan tugas-tugasnya itu Polri sebagai institusi secara umum
sudah bekerja dengan baik. Kalau mau objektif, kita tak boleh memandang Polri
hanya sebatas markas besar, apalagi hanya sebagian kecil oknumnya saja. Kita
harus melihat masih banyak polisi yang baik dan penuh dedikasi.
Lihatlah kerja serius polisi sampai ke pelosok-pelosok
kecamatan dan desa terpencil yang mampu memberi jaminan kepada rakyat untuk
hidup tenang dan nyaman, aman dari berbagai ancaman. Bayangkan, betapa
mengerikan seandainya Polri menyatakan berhenti bekerja atau mogok selama
satu jam saja.
Tentu selama satu jam itu tidak ada penegak hukum yang
bisa menjaga ketertiban di tempat-tempat umum, menangkap perampok, pembobol
ATM, pemerkosa, pembuat kerusuhan, pembunuh sadis, penyelundup, dan pengedar
narkoba sehingga bisa terjadi kehancuran di mana-mana.
Seumpama setelah satu jam Polri mengumumkan berhenti mogok
dan siap aktif kembali, tentu semuanya sudah terlambat dan terlanjur hancur.
Itulah sebabnya semarah apa pun kita terhadap oknumoknum di Polri, jangan
sampai kebablasan merusak Polri sebagai institusi. Gerakan #Save-Polri yang
sekarang muncul adalah sama dengan gerakan #SaveKPK yang sama-sama ingin memelihara
kebaikan bagi negara kita.
Kalau soal oknum berperilaku korup itu adanya bukan hanya
di Polri, tetapi juga ada di mana-mana, termasuk di berbagai LSM bahkan
ormasormas keagamaan sekalipun. Karena sedang berceramah di Jeddah, saya
sedikit menggunakan pendekatan teologis dengan mengatakan bahwa Polri adalah
representasi negara dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.
Maka itu Polri tidak boleh didelegitimasi. Begitu
pentingnya ketaatan terhadap pemerintah yang menyelenggarakan keamanan sehingga
dari sudut agama Imam Nawawi pernah mengatakan, kita tidak boleh melakukan
perlawanan terhadap pemerintah karena hal itu bisa menyengsarakan rakyat.
Maksudnya tentu bukan tidak boleh mengkritik atau
mengontrol, melainkan tidak boleh mendelegitimasi aparat pemerintah yang
melakukan tugas-tugas menyelenggarakan keamanan dan ketertiban. Dalam pada
itu Ibn Taymiyah pernah mengatakan, ”Enam
puluh tahun diperintah oleh pemerintah yang jelek adalah lebih baik daripada
satu malam saja tidak ada pemerintah.”
Dalil Ibn Taymiyah ini pun tak dimaksudkan untuk
menoleransi tampilnya pemerintahan yang korup. Kritik dan kontrol terhadap
pemerintah atau aparat penegak hukum tetap dianjurkan, tetapi dalam batas
jangan sampai menimbulkan chaos karena lumpuhnya pemerintah. Kita harus tetap
tegas dan galak terhadap oknum-oknum yang korup, siapa pun mereka.
Tapi dalam konteks perang antar-dua lembaga penegak hukum
ini kita juga harus selalu dalam posisi menyelamatkan dan menguatkan KPK dan
Polri karena keduanya dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas pencapaian
tujuan kita bernegara. ●
|