Jogja
dalam Himpitan Logika Masa Lalu
Iqbal Aji Daryono
; Esais; Bisa disapa di akun Facebook-nya
|
DETIKNEWS,
27 Februari
2018
Waktu kami masih di Perth,
Australia, beberapa kali ibu saya datang berkunjung. Selain saya ajak
jalan-jalan cantik menonton segala yang indah-indah, sering juga saya bawa
dia blusukan ke tempat-tempat tak biasa. Misalnya ke sebuah kota dengan
ekonomi yang sekarat. Kota itu bernama Kalgoorlie, 600 kilometer di timur
Perth. Kota yang pernah menjadi salah satu kota terbesar di Australia karena
tambang emasnya itu kini nyaris mati akibat kehabisan sumber daya.
Di Kalgoorlie yang
mengenaskan, saya ingat emak saya bergumam. "Kasihan banget ya, orang
bule kok miskin-miskin begitu. Ternyata ada juga ya bule miskin."
Saya langsung terpingkal.
"Lho, Mak, kalo lihat orang Jawa miskin kok nggak kasihan-kasihan amat?
Begitu orang kulit putih yang miskin, kok jadi kasihan banget? Hahaha!"
Tentu saja, kesan yang muncul
di benak emak saya itu lazim saja bagi masyarakat awam pascakolonial. Kita
pernah dijajah orang Eropa selama ratusan tahun. Citra orang kulit putih
selalu kuat dan hebat, juga kaya raya. Kita inferior di depan mereka. Apalagi
pada masa selepas perang pun hegemoni budaya kulit putih terus meneguhkan
superioritas mereka. Lewat film, lewat foto-foto, lewat produk-produk
teknologi, dan entah lewat apa lagi.
Maka, para turis bule yang
datang ke tempat kita pun selalu kita anggap orang-orang kaya. Jadi jangan
kaget kalau teman Anda yang berpenampilan Kaukasoid diminta membayar dua atau
tiga kali lipat dari harga biasa, saat makan-minum di angkringan dekat rumah
saya. Dia di-thuthuk, kalau istilah Jawanya. Lha semua orang bule kan pasti
kaya! Hehehe.
Hari ini, setelah media
jenis apa pun dengan gampang kita akses, setelah jangkauan pergaulan meluas
dengan aneka kemudahan untuk melawan sindrom kurang piknik, kita tahu bahwa
teori sosial "semua orang kulit putih pasti kaya" itu mitos belaka.
Kita paham bahwa banyak wisatawan di bilangan Prawirotaman, Jogja adalah para
buruh rendahan di negaranya. Kita mengerti bahwa tak sedikit turis Australia
yang mabuk-mabukan di Legian adalah pengangguran di negeri mereka, mendapat
santunan dari negara, lalu dengan uang santunan itu mereka ke Bali
menghabiskan dolar untuk bertamasya.
Sebagaimana tidak semua
orang kulit putih itu kaya, tidak semua juga orang kulit berwarna itu miskin.
Kaya dan miskin toh bukan takdir yang melekat pada warna kulit dan ciri
fisik. Orang bisa kaya karena banyak kemungkinan. Karena kerja keras dipadu
kemampuan berhemat, karena cerdik campur licik, karena hidupnya beruntung
terus, karena punya akses ke banyak sumber ekonomi, karena licin dan lincah
dalam bergaul, karena berkah doa orangtua, dan lain-lain. Tapi kita semua
pasti mencibir kalau ada orang mengaku mak-cling otomatis jadi kaya hanya
karena sejak lahir sudah membawa warna kulit tertentu sesuai warna kulit
bapak-ibunya.
Iya, kan? Setuju, kan?
Kayak gitu aja kok masih pakai dibahas....
***
Pengantar
berpanjang-panjang barusan sebenarnya cuma untuk menemani kekaguman saya
kepada hasil keputusan pengadilan yang mementahkan gugatan Handoko, seorang
beretnis Tionghoa di Jogja. Dia menggugat peraturan yang melarang kepemilikan
tanah bagi warga keturunan Tionghoa di DIY. Namun gugatan itu dimentahkan,
dan salah satu pertimbangan dalam keputusan majelis hakim sungguh ajaib meski
sekilas terdengar mulia: "Untuk melindungi warga masyarakat yang ekonominya
relatif lemah."
Haduh. Kalau entitas
"warga Tionghoa" diperhadapkan dengan entitas "masyarakat
ekonomi lemah", berarti sudah pasti orang Tionghoa kaya dong? Seperti
itu logikanya, bukan? Orang Tionghoa sudah pasti kaya, sehingga ketika mereka
mendapatkan akses kepemilikan tanah, sama artinya mereka menekan orang-orang
miskin. Begitu?
Saya paham, memang banyak
warga keturunan Tionghoa sukses dalam perjuangan ekonominya. Mereka
kaya-kaya. Namun asal muasalnya tidak terletak pada etnisitas mereka. Mereka
kaya karena bekal mentalitas perantau yang berjibaku melakukan apa saja untuk
memenangkan hidup. Mereka kaya karena di masa Orba tidak boleh menjadi ABRI
maupun pegawai negeri, sehingga mayoritas di antara mereka menempuh
satu-satunya jalan yakni berdagang. Tidak ada tentara dan polisi yang kaya
raya kecuali korupsi, dan tidak ada pegawai negeri yang makmur sejahtera
kecuali punya sabetan rupa-rupa.
Sementara, pedagang yang
kaya ya banyak. Kalau mau kaya ya jadilah pedagang. Jangan jadi karyawan, apalagi
jadi penulis.
Saya juga paham, pada awal
masa Orba banyak keluarga Tionghoa difasilitasi negara untuk membangun
kerajaan bisnis mereka. Mereka memang sengaja dibesarkan Orba, sehingga
kemudian para konglomerat Indonesia didominasi oleh keturunan Tionghoa.
Langkah itu ditempuh rezim Suharto karena blue print yang cerdik. "Meski
kelompok minoritas kuat secara ekonomi, mereka tetap tidak akan melawan
kekuasaan karena jumlahnya sedikit. Tapi kalau yang dibesarkan Soeharto
adalah kelompok mayoritas, misalnya umat Islam, ada kemungkinan suatu saat
mereka akan melawan. Dan, itu ancaman." Begitu lebih kurang yang
disampaikan Prof. Vedi Hadiz dalam sebuah kuliahnya. Cari saja di Youtube
kalau nggak percaya.
Nah, meski memang ada
keluarga-keluarga Tionghoa yang dibesarkan Orba, apa iya keberuntungan mereka
itu otomatis jatuh kepada semua orang Tionghoa di Indonesia? Keluarga Salim
mungkin masih eksis dan perkasa, tapi apa ada efeknya ke bapak berkulit
kuning bermata sipit yang jualan bolang-baling di sudut Jalan Bantul, yang
tiap kali saya lewat selalu saya lirik warungnya yang sepi itu? Keluarga
Hartono mungkin masih menikmati kejayaan mereka, tapi toh sahabat saya Cik
Prima Sulistya nggak lantas bisa hidup ongkang-ongkang, masih dibelain
mengedit naskah tiap hari dan cari proyek penulisan di sana dan sini.
Selebihnya, meski saya
punya banyak teman beretnis Tionghoa, justru orang-orang paling tajir yang
saya kenal di Jogja, yang aset ekonominya berjibun dan tanahnya ada di
mana-mana, justru mereka yang so called "pribumi". Apa artinya?
Artinya, melarang warga
keturunan Tionghoa untuk memiliki tanah di DIY dengan alasan "melindungi
warga masyarakat ekonomi lemah" itu tidak tinemu nalar. Tidak komplet
landasan logis dan faktualnya.
Kalau mau logis dalam
melindungi orang miskin dalam perkara tanah, ya pemilahannya jangan pakai pri
vs non-pri to, Mas. Tapi orang kaya vs orang miskin. Yang harus dibangkitkan
bukan sentimen primordial, apalagi sikap-sikap rasis, melainkan kesadaran
kelas. Hitung aset-asetnya, lihat seberapa besar kekuasaan lahannya, dan
selanjutnya jalankan Reforma Agraria. Kan gitu. Logis, to?
"Lho, Bro, larangan
itu kan berawal dari Instruksi Wakil Kepala Daerah pada tahun 1975. Warga
non-pribumi tidak boleh punya tanah, karena pertimbangan bahwa mereka
berkhianat dan mendukung Belanda pada waktu Agresi Militer!"
Ah, ini lagi. Lha 'mereka'
yang berkhianat itu siapa? Kalau kakeknya nenek saya alias simbah canggah
saya menjilat Belanda sehingga kemudian diangkat jadi pemuka desa dalam
struktur pemerintahan kolonial, apa sampeyan mau menyebut saya sebagai
anti-republik? Kalau teman saya di Perth punya kakek buyut yang turun dari
sebuah kapal Inggris lalu membantai orang-orang Aborigin, apakah saya harus
menyebut kawan saya itu sebagai pelanggar HAM? Siapa yang bisa memilih
orangtua? Siapa yang bisa memilih terlahir sebagai orang Jawa, orang Bali,
atau orang Dayak? Siapa yang bisa menentukan nasib untuk terlahir dalam
keluarga Kraton, atau dari keluarga jelata? Anda bisa? Hebat dong.
Kadang saya merenung-renung,
bisa jadi alam pikiran semacam itu tetap masuk akal juga pada masanya. Tapi,
hmm, semua tentu ada masa berlakunya.
Dulu, tentara Diponegoro
meyakini kekalahan mereka sebagai kutukan akibat hubungan Sang Pangeran
dengan seorang perempuan Cina. Tapi dengan kejelian dalam mencermati sejarah,
dengan memahami komposisi kekuatan militer berikut strategi yang dijalankan
kedua belah pihak, siapa yang sekarang mau percaya kepada tulah gadis Cina?
Dulu, di Amerika Serikat
bagian selatan pada masa Jim Crow, orang pun meyakini bahwa struktur otak
manusia berkulit hitam memang menakdirkan mereka untuk selalu patuh dan cocok
disuruh-suruh. Jadi orang kulit hitam memang harus menjadi budak. Namun
kemudian sains dan naluri kemanusiaan menemukan bahwa itu semua hoax belaka.
Dulu, banyak orang Jawa
meyakini bahwa orang Eropa memang ditakdirkan berkuasa, dan kaum pribumi
ditakdirkan sebagai kawula. Namun belakangan muncul gagasan kebangsaan,
gagasan kesetaraan, dan perjuangan harkat kemanusiaan yang menolak penjajahan.
Akhirnya keyakinan lama itu runtuh porak poranda.
Sebagaimana teknologi,
barangkali beberapa sistem logika pun mengalami masa kadaluarsa. Namun tidak
semua orang mau mengakuinya. ●
|