Pelajaran dari Yunani
Denni
P Purbasari ;
Dosen Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM
|
KOMPAS,
10 Juli 2015
Politicians
have become masters in the dark arts of expectation management.
”Economist”, 17 Januari 2015
Ketakutan pasar pada awal tahun lalu terbukti. Pada saat
Alexis Tsipras (40) dari partai sayap kiri Syriza diperkirakan akan memenangi
pemilihan umum di Yunani pada 25 Januari 2015, harga obligasi yang
diterbitkan oleh Pemerintah Yunani pun anjlok.
Pasar sudah membayangkan bahwa masa depan perekonomian
Yunani bakal tidak jelas. Alasannya: selama masa kampanye, Alexis Tsipras
menyerukan agenda anti penghematan fiskal yang populis dan berlawanan dengan
nasihat para kreditornya, yaitu Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB), dan
Dana Moneter Internasional (IMF), yang sering disebut Troika.
Dari utang ke retorika kedaulatan
Yunani adalah awal krisis Eropa tahun 2009. Utang Yunani
saat itu mencapai 120 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu
dan defisit fiskalnya mencapai 13 persen terhadap PDB. Takut utang tidak
dibayar, pasar pun menarik dana-dana mereka keluar dari Yunani. Terjadilah
krisis.
Karena Yunani bagian dari zona euro, Troika pun memberikan
suntikan dana talangan (bail out)
setelah George Papandreu, Perdana Menteri Yunani pada saat itu, setuju
melakukan penghematan fiskal, restrukturisasi utang, dan reformasi struktural
yang menjadi syarat pengucuran dana talangan. Masalahnya, menghemat fiskal
ketika perekonomian sedang krisis, selain berat bagi rakyat, juga tak populer
bagi politisi. Apalagi, apabila penghematan fiskal ini terkesan dipaksakan
oleh institusi asing.
Akan tetapi, itulah kenyataannya. Setiap perekonomian
harus membayar mahal kesalahan yang dibuatnya, sama seperti Indonesia yang
harus menandatangani letter of intent
dengan IMF dulu. Di mana pun, tak ada kreditor mau meminjamkan uang tanpa
syarat—apalagi jika debitornya terbukti salah urus ekonomi. Sebab, kreditor
bukanlah mesiah. Ketika pintu lain tertutup, mereka mau ”menolong” jika yakin
uangnya kembali.
Yunani bukanlah satu-satunya negara di Eropa yang
terjerembap ke dalam krisis. Namun, Yunani paling lambat pulih dibandingkan
dengan Italia, Irlandia, Portugal, dan Spanyol. Penyebabnya adalah sikap
setengah hati Pemerintah (politisi) Yunani dalam melakukan agenda reformasi.
Setelah diberi utang, oleh Yunani, kemudian sering direnegosiasikan atau
bahkan direferendumkan.
Padahal, menunda reformasi tidak baik untuk mempercepat
deleveraging dan pemulihan ekonomi. Akibatnya, meski perbaikan ekonomi
terjadi, resesi masih menyelimuti perekonomian Yunani setelah lima tahun
dilakukan bail out. Kesabaran
masyarakat pun menipis.
Pada saat perekonomian sedang sulit itulah, Tsipras
mengusung agenda anti penghematan fiskal dalam pemilu. Ia menyorongkan
pemotongan pajak, rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), dan kenaikan pensiun.
Tentu saja agenda ini sangat populer—meski too good to be true. Bagi rakyat Yunani, Tsipras ibaratnya
menjanjikan air setelah kemarau panjang.
Selain itu, sikap anti penghematan fiskal yang diambil
Tsipras pun ditangkap orang Yunani sebagai simbol dari perlawanan Yunani dari
cengkeraman Troika. Yunani berdaulat, begitulah kira-kira retorikanya. Sangat
heroik. Tsipras pun terpilih sebagai perdana menteri. Ia menjadi pemimpin
Eropa pertama yang anti penghematan fiskal. Namun, seperti biasa, janji
adalah satu hal, sedangkan merealisasikannya adalah persoalan lain.
Tsipras yang dulunya adalah seorang outsider, kini menjadi seorang insider di pemerintahan. Budget
pemerintah yang dulunya hanyalah sebuah hitung-hitungan di atas kertas, kini
berubah menjadi persoalan nyata tentang ada tidaknya uang tunai di kocek
pemerintah untuk membayar gaji PNS, pensiunan, tagihan rumah sakit, hingga
utang yang telah jatuh tempo.
Demi memenuhi janji kampanyenya, Tsipras bersikeras tidak
mau melakukan penghematan fiskal. Dan, setelah Yunani gagal melunasi utang
kepada IMF senilai €1,6 miliar euro karena tidak mendapatkan bail out
lanjutan dari Troika, dengan cerdik diadakanlah referendum. Rakyat Yunani
diminta memilih, apakah mau mengikuti syarat utang Troika atau tidak. Tentu
saja, rakyat yang sederhana pemikirannya memilih menjawab ”tidak”. Sebab,
bagi mereka, kata ”tidak” berarti kedaulatan; bahwa Yunani mau menentukan
nasibnya sendiri, bukan didikte oleh Troika.
Referendum dan legitimasi politik
Hasil referendum ini pun memperkokoh legitimasi pilihan
ekonomi Tsipras. Perbedaannya, jika dulu sikap anti penghematan fiskal adalah
pilihan Tsipras seorang, pasca referendum menjadi pilihan rakyat. Secara
implisit ini berarti, rakyat Yunani bertanggung jawab juga atas
konsekuensinya—bukan hanya Tsipras.
Masalahnya, ekonomi terlalu rumit bagi rakyat biasa.
Rakyat Yunani barangkali tidak tahu bahwa setelah ini, akan sulit bagi
Pemerintah Yunani untuk mencari utang. Imbal surat utang Pemerintah Yunani
kini sebesar 18 persen—jauh di atas sebelum Tsipras berkuasa. Setelah gagal
bayar utang kepada IMF, Yunani barangkali juga akan gagal bayar utang kepada
ECB -- sebesar 3,5 miliar euro yang jatuh tempo pada 20 Juli 2015. Ini krisis
tahap pertama.
Pada tahap kedua, keengganan Yunani untuk melakukan
pengetatan fiskal memperbesar kemungkinan Yunani akan keluar atau dikeluarkan
dari zona mata uang euro. Jika ini terjadi, Yunani akan memiliki mata uang
sendiri yang nilainya rendah (siapa yang mau memegang mata uang negara yang
sakit?) Orang-orang pun akan berburu euro. Mereka akan mendatangi bank,
menarik uang mereka (bank run).
Investor juga akan menjual obligasi dan saham mereka selagi bisa. Masyarakat
memborong kebutuhan pokok, inflasi akan naik. Untuk mencegah terjadinya bank
run, Pemerintah Yunani menutup bank-bank dan membatasi penarikan uang di
anjungan tunai mandiri (ATM) maksimal -- sebesar 60 euro saja per hari. Pasar
modal juga ditutup.
Tahap ketiga, begitu bank dibuka, barangkali akan terjadi
bank run. National Bank of Greece, Bank Piraeus, Bank Ergasias, dan Bank
Alpha diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas dan memunculkan dampak
sistemik (Economist, 6/7/2015).
Yunani kembali ke ground zero,
seperti ketika dihantam krisis 2009—bahkan lebih buruk karena tak ada lagi
euro. Ketika itu terjadi, popularitas Tsipras akan tergerus dan ia akan
menghadapi kemarahan rakyat yang pertama kali.
Jika sudah demikian, Zeus sekalipun tidak bisa menolong
Yunani. Skenario di atas barangkali terlalu pesimistis. Namun, bisa jadi
terjadi. Sepenggal hikayat Yunani itu membawa pelajaran berharga bagi
Indonesia: jangan main-main dengan utang dan jangan pernah membuka pintu akan
terjadinya krisis lagi. Kita belum tentu bisa lolos dan sabar menghadapinya
seperti pemulihan panjang pasca krisis finansial tahun 1997.
Dalam keputusasaan ekonomi, orang bisa marah dan mesiah
palsu—bahkan diktator pun—bisa dilahirkan. Jika sudah begitu, kita
sesungguhnya memutar jarum jam kembali. Kita kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar