Mempertaruhkan Aspirasi Rakyat
Tommi
A Legowo ; Pendiri
dan Peneliti Senior FORMAPPI
|
KOMPAS,
09 Juli 2015
Sidang Paripurna DPR, Selasa
(23/6), memutuskan melanjutkan pembahasan
usulan program pembangunan daerah pemilihan atau UP2DP yang dikenal
juga sebagai dana aspirasi anggota DPR. Keputusan ini relatif cepat di tengah
kuatnya penolakan masyarakat dan tiga fraksi parpol di DPR: PDI Perjuangan,
Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Laporan Tim Penyusunan Mekanisme UP2DP
ataupun Rancangan Peraturan DPR tentang Mekanisme UP2DP tak memberikan
penjelasan meyakinkan bahwa ini solusi dari persoalan "... memperjuangkan
aspirasi rakyat..." sebagaimana tersurat dalam bagian sumpah anggota
DPR. Tetap jadi pertanyaan, apakah
UP2DP ini benar-benar wujud dari sumpah itu atau sebenarnya anggota DPR tengah mempertaruhkan aspirasi rakyat untuk
penuhi kepentingan diri sendiri?
Politik
personal
Tampaknya ada pendangkalan sumpah
hingga sebatas program pembangunan
dapil anggota DPR yang nilainya Rp 20 miliar. Jika diakumulasi, jumlah dana
aspirasi ini sekitar Rp 11,5 triliun.
Itu proporsinya 0,5 persen dari total APBN sekitar Rp 2.000 triliun
per tahun. Meski kecil, ini dapat merusak keseluruhan APBN yang tujuan pokoknya memenuhi aspirasi
rakyat. UP2DP itu akan menjebak anggota DPR dalam politik personal setiap
saat selama tahun anggaran berjalan.
Bayangkan, mula-mula dia harus
bekerja merumuskan aspirasi menjadi usulan program pembangunan dapil. Dalam
perencanaan anggaran, dia harus berjuang memastikan usulan programnya
terakomodasi dalam rancangan dana alokasi khusus (DAK) pembangunan daerah.
Pasti akan menyita waktu dan tenaga anggota agar usulan programnya
mendapatkan slot dalam DAK yang substansinya telah diisi penuh program
pembangunan hasil persepakatan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam implementasi program,
anggota DPR akan tersita waktunya untuk melakukan kontrol atas kesuksesan
program itu. Jika gagal, dia bukan hanya kehilangan kepercayaan konstituen,
melainkan juga bisa harus berhadapan dengan penegak hukum. UP2DP merupakan
program earmarked yang dengan
gampang diketahui siapa pemiliknya. Ini memang perintah UUMD3 17/2014, khususnya Pasal 80
J.
Pada tahap akhir, anggota DPR harus menyusun laporan pertanggungjawaban
program. Dia akan menghabiskan waktu berkutat menyiasati indikator-indikator
keberhasilan program pembangunan. Gagal melakukan ini berisiko kehilangan
jabatan. Kegagalan bisa menghilangkan kepercayaan parpol induknya, yang
mempunyai stok kader untuk menggantikan
anggota DPR yang dipecat. Siklus itu akan berulang setiap tahun selama
masa bakti anggota DPR. Selama itu pula perhatian anggota DPR akan disita
untuk mengamankan program pembangunan bernilai Rp 11,5 triliun dan karena itu
mengabaikan program pembangunan nasional bernilai Rp 1.988,5 triliun. Ini
juga bisa berarti DPR membiarkan pemerintah bekerja sendirian tanpa
pengawasan.
Politik personal itu akan
membebani anggota DPR dengan persaingan di lapangan yang mudah menjadi kotor
di antara sesama anggota satu parpol dan/atau beda parpol. Seperti diketahui,
dapil dalam format perwakilan berimbang (PR) mempunyai wakil plural. Di
Indonesia untuk tingkat nasional, satu dapil diwakili 3-10 anggota DPR. Meski
tak bersifat zero-sum, dapat
dipastikan setiap anggota DPR tak ingin programnya kalah berhasil dari
program sekutu dan seterunya di dapil. Ini rangsangan menggunakan cara-cara
kotor memenangkan persaingan; apalagi hingga kini tak terlihat tanda-tanda
koordinasi/kerja sama antar-anggota DPR dalam satu dapil dan untuk UP2DP ini.
Politik personal membawa juga
potensi kuat konflik kepentingan antara anggota DPR dan parpol induknya. Jika
berhasil, politik personal membesarkan nama anggota DPR lebih daripada nama
parpol induk. Dan, ini adalah gerbong pendukung yang menambah nilai tawar
anggota DPR untuk ditukar dengan jabatan politik di parpolnya atau
bahkan untuk kepentingan menyeberang
ke parpol lain. Karena itu, parpol induk belum tentu memberikan dukungan
penuh untuk keberhasilan UP2DP anggota DPR. Bahkan, mungkin sekali, parpol
akan jadi penghalang bagi munculnya nama-nama besar kadernya sebagai hasil
dari program ini.
Harus dicatat, prinsip perwakilan berimbang
mendudukkan parpol sebagai perwakilan rakyat atas dasar status kepesertaan
pemilu. Kursi DPR adalah milik parpol, dan anggota DPR adalah utusannya.
Parpol dapat mengganti utusan itu dengan kader lain setiap saat dengan alasan
apa pun juga. Mencegah kemurkaan parpol, anggota DPR akan dituntut memberikan
"pelayanan terbaik" kepada induk semangnya itu. Sumber daya pun bisa terkuras memenuhi
tuntutan ini.
Kemungkinan hasil dari persaingan
kotor dan hambatan itu adalah tak semua program UP2DP akan sukses. Perkiraan
optimistis, 40 persen akan mewujud dalam output program; sisanya 60 persen
bakal menguap tanpa bekas. Pengalaman Filipina dapat dijadikan rujukan. Dalam
laporan The Philippine Center for
Investigative Journalism (Gamala,
Januari 2014) tentang realisasi program aspirasi dalam skema Priority Development Assistance Fund
(PDAF) dikutip pernyataan Sen Lacson bahwa "less than 50 percent actually went to the programs of work. And
more than 50 percent went to the many deep pockets of corruption."
Lebih jauh, persentase dana lebih kecil yang terselamatkan kembali ke kas
negara hanya dari pajak proyek pembangunan PDAF ini. Lebih buruk lagi, observasi Solita Collas-Monsod (Juli 2013)
menyatakan skema program semacam ini "...
may not even help the local constituents; it stops in the legislators'
pockets and those of their private-sector coconspirators, with the active
help or benign neglect of the government agencies and the Commission on
Audit."
Reduksi
makna
Waktu dan sumber daya untuk
mengelola politik personal itu jelas akan mengalihkan konsentrasi anggota
Dewan, dan parpol-parpol di DPR, dari penyelenggaraan peran perwakilan rakyat
yang secara konstitutif harus mereka emban kepada perhatian terhadap program
pembangunan dapilnya yang cenderung pragmatis. Peran perwakilan rakyat punya
makna dan cakupan luas dalam sistem presidensial: mencegah kesewenangan kekuasaan pemerintah
oleh Presiden serta memastikan penyelenggaraan kekuasaan itu ditujukan untuk
melayani dan memenuhi kebutuhan/aspirasi rakyat untuk mencapai kemakmuran dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pengejawantahan peran ini tercakup dalam
tiga fungsi pokok DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jika ketiga
fungsi ini dijalankan secara berintegritas, anggota DPR pada substansinya
memperjuangkan aspirasi rakyat.
Fakta empirik berkata lain.
Kinerja DPR dalam tiga fungsi ini jeblok. Tak terlihat indikasi-indikasi
integritas kinerja DPR. Bahkan, DPR
baru hasil Pemilu 2014 yang secara genetik berkarakter produktif, militan,
dan kompeten tak memantulkan kecenderungan peningkatan kualitas kinerja dalam
tiga fungsi utama itu. Penilaian FORMAPPI (Desember 2014-Mei 2015) atas
kinerja DPR pada tiga masa persidangan tahun sidang pertama 2014-2015
menunjukkan capaian: legislasi di bawah 30 persen; anggaran memihak pemenuhan
kepentingan sendiri (dana pembangunan rumah aspirasi Rp 1 triliun, dana
aspirasi Rp 11,5 triliun); pengawasan relatif nihil jika diacukan pada
tiadanya tindak lanjut temuan-temuan BPK oleh DPR; dan, serap aspirasi tidak terdata kalaupun tidak ada sama
sekali. Alih-alih melakukan upaya peningkatan kinerja, DPR malahan
mencari-cari fungsi baru yang bukan bagian utama mandat perwakilan rakyat,
yaitu fungsi diplomatik.
DPR kurang mampu dan berusaha
sepenuhnya menjalankan peran representasinya. Hasil kerjanya memperjuangkan
aspirasi rakyat tak kelihatan, kalaupun bukan tak ada. Meski dapat
mencegah kesewenang-wenangan eksekutif
dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, DPR mengalami kesulitan menjelaskan
keberhasilannya ini kepada konstituen. Sebab, DPR kurang meluangkan waktu dan forum yang
intens untuk berkomunikasi dengan konstituen. Dengan alasan keterbatasan
dukungan fasilitas, bertemu dengan konstituen yang beragam dan menjangkau dapil
yang luas adalah pekerjaan yang melelahkan; apalagi tak ada insentif langsung
didapat dari forum itu, makin memperkuat keengganan anggota berlama-lama
tinggal di dapil. Dari alokasi waktu 30 hari kerja reses untuk temu
konstituen di dapil, anggota DPR biasanya hanya mengambil 10 hari. Jika ini
sebanding lurus dengan cakupan komunikasi dan serapan aspirasi konstituen,
maka capaiannya hanya 30 persen. Anggota DPR tampak kurang berkehendak
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada, dan kurang berniat menyerap secara
mendalam aspirasi dari, semua ragam kelompok konstituen di dapil.
Dalam kondisi itu, UP2DP diyakini
anggota DPR akan jadi bukti di hadapan konstituen bahwa dia memenuhi aspirasi masyarakat
setempat. Namun, tampaknya bukan
kepedulian anggota DPR jika UP2DP itu hanya memenuhi 30 persen aspirasi, atau
bahkan kurang. Yang penting ada pujian
dan dukungan semakin kuat masyarakat setempat. Jika ini kasusnya, UP2DP
benar-benar reduksi kalau bukan pengingkaran makna peran representasi rakyat
jadi pemenuhan kepentingan diri anggota DPR. Ini bukti anggota DPR menyangkal
sendiri sumpahnya memperjuangkan aspirasi rakyat. Ini jelas pertaruhan
aspirasi rakyat yang sangat mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar