Skripturalis
Demokrasi
dalam
Fundamentalisme Pasar Pemikiran
|
Grup ronda malam Minggu di kampung saya bukan grup
sembarangan. Isinya bapak-bapak vokal semua, para pengamat politik nirlaba.
Meski pekerjaan hariannya rata-rata petani, juga buruh di pabrik tekstil
dekat kampung kami, kualitas analisis mereka seringkali lebih canggih
dibanding rombongan narasumber ILC.
Tak terkecuali malam Minggu kemarin, ketika saya datang
agak awal. Pak Nardi membuka percakapan sembari mencomot pisang goreng di
piring.
"Aku tuh kok bingung ya, sama aktivis-aktivis yang
pintarnya selangit itu. Kok bisa mereka malah menolak pembubaran ormas yang
jelas-jelas tidak sejalur dengan Pancasila? Lha sebenarnya kita ini mau
diajak ke mana sih?"
"Masalahnya kan nggak sesederhana itu, Pak," Pak
Memet menimpali dengan logatnya yang masih kentara sebagai warga pendatang.
"Ketika mereka mengkritik Perppu Ormas, bukan berarti mereka mendukung
ormas anti-Pancasila. Tapi karena Perppu itu sendiri mengandung banyak pasal
karet, sehingga rentan disalahgunakan."
"Oh soal itu sih aku agak paham, Pak. Dan sedikit
banyak aku setuju juga. Tapi problem di situ lebih pada soal cara, sementara
yang kumaksud adalah hal yang lebih mendasar lagi."
Wajah Pak Memet tampak menunggu kelanjutan kalimat Pak
Nardi. Yang ditunggu pun tidak membuang waktu.
"Gini lho. Jelas-jelas ada organisasi yang tidak
berorientasi menuju terus hidupnya negara kita. Mereka ingin kita bergabung
dengan khilafah tingkat dunia, di mana artinya negara kita tak lagi ada.
Mosok yang begituan mau diizinkan tetap berdiri? Minta izinnya ke negara yang
ingin mereka lenyapkan, pula. Dan para aktivis membela! Masuk akal
tidak?"
"Lho yang diperjuangkan para aktivis itu bukan
lenyapnya NKRI-lah, Pak. Tapi kebebasan berserikat, berkumpul, dan
menyampaikan pendapat. Termasuk kebebasan berkeyakinan. Soal khilafah itu kan
keyakinan juga to? Itu murni keyakinan mereka lho, kelompok khilafahers itu.
Sementara jaminan atas semua kebebasan tadi merupakan amanat UUD 45! Gimana
sih sampeyan ini...." Pak Memet tampak di atas angin.
"Waini. Ini. Jadi pertanyaanku bisa dikerucutkan
lagi. Begini. Sebenarnya seberapa jauh sih kebebasan berkeyakinan itu?
Sebebas-bebasnya?"
"Yo enggaaak. Bebas yang bertanggung jawab, kalau
kata Penataran P4 dulu. Bebas, tapi tidak menyakiti orang lain. Bebas, tapi
bisa dijalani berdampingan bersama-sama. Makanya, meski berkeyakinan itu
bebas, ISIS nggak bisa hidup di Indonesia. Sebab mereka melakukan kekerasan
bahkan membunuhi orang lain yang tidak bersepakat dengan mereka. Itu
contohnya."
"Waduh, jangan ambil contoh yang serem-serem dululah.
Misalnya ini saja. Ada sekelompok orang meyakini bahwa bumi ini tidak bulat,
tetapi datar. Dasar yang mereka pegang adalah ayat-ayat suci. Meski tafsir
atas ayat tersebut bermacam-macam, mereka tetap percaya bahwa yang benar
adalah tafsir bumi datar. Nah, apa keyakinan mereka wajib kita hormati?"
"Nggg... ya dihormatilah. Itu kan keyakinan.
Syaratnya mereka tidak memaksa orang lain untuk ikut mereka."
"Oke. Tidak memaksa. Tapi apa boleh mereka
menyebarkan paham itu secara baik-baik? Misalnya mereka masuk ke kampung
kita. Lalu mengajarkan ke orang-orang bahwa bumi ini datar menurut kitab
suci. Selanjutnya mereka bilang, kalau anak-anak kita percaya dengan
pelajaran sekolah yang menyatakan bumi ini bulat, berarti anak-anak sekaligus
orangtua masing-masing akan berdosa dan masuk neraka. Begitu boleh?"
"Wo ya jangaaan. Kalau sudah sejauh itu ya nggak
boleh tooo!"
"Lho kenapa nggak boleh? Kan nggak maksa? Nggak pakai
kekerasan, nggak pakai teror, nggak pakai ancaman. Cuma mengajarkan secara
baik-baik. Kalau akhirnya warga kampung ikut percaya, prosesnya jelas bukan
dari pemaksaan. Katanya tadi bebas berkeyakinan, bebas berserikat, bebas
menyampaikan pendapat. Hayo gimana?"
"Hahaha! Hmmm... gimana ya. Bingung juga...."
"Nah, kan? Berarti kita nggak konsisten kan? Jadi mau
pilih yang mana? Menghormati keyakinan dan kebebasan berpendapat asal tanpa
kekerasan, atau memperjuangkan kemaslahatan yang lebih besar, dalam hal ini
berupa kebenaran ilmiah yang diakui sistem pendidikan?"
Pak Memet masih tampak bingung mendengar cecaran Pak
Nardi. Lalu ia mulai menyeruput kopinya yang mulai mendingin.
"Nah, begitu pula dengan keyakinan dan kebebasan
bersuara para pembela khilafah kan? Itu membawa kemaslahatan bagi hidup
bermasyarakat dan berbangsa apa tidak?" dengan lincah Pak Nardi tampak
langsung mengambil kesimpulan sepihak. "Tapi tunggu dulu. Sebenarnya
prinsip kebebasan yang kita ikuti ini konsep idealnya mengacu ke mana
to?"
Tak ada yang menjawab. Lalu Pak Memet mencolek Ganang,
pentolan Karang Taruna yang sedang main gaple bersama beberapa eksponen ronda
malam Minggu lainnya. Sambil masih menunggu giliran membanting kartu, Ganang
menyahut sambil lalu. "Yooo itu kan bagian dari prinsip dasar demokrasi
dan HAM to, Pakde...."
Pak Nardi manggut-manggut. Pak Memet mulai menyalakan
rokoknya.
"Oh! Atau kalau mau cari yang lebih detail ya kita
bisa menyebut konsep masyarakat terbuka ala Karl Popper to, Nang. Itu, di
bukunya The Open Society and Its Enemies itu lho," akhirnya saya angkat
suara juga. Begitu muncul kesempatan untuk pamer kutipan dari tokoh-tokoh
intelektual dunia, saya wajib tampil. Mau gagasan seremeh apa pun, sebaiknya
nebeng kepada nama-nama besar. Itulah prinsip kerja saya dalam meneguhkan
modal sosial sebagai elite pengetahuan tingkat RT.
Kali ini Ganang mengangkat kepala, mengabaikan kartu gaple
di tangannya, menatap ke arah saya. Sebagai senior Ganang se-fakultas, saya
pun merasa dituntut untuk menuntaskan bunga rampai kutipan saya. Maka saya
meneruskan,
"Jadi dalam nilai ideal Karl Popper, open society
berjalan berlandaskan rasionalisme kritis. Ruang publik sangat diandalkan, di
mana terjamin kebebasan setiap individu untuk menyampaikan pemikiran dan
keyakinan. Maka setiap individu harus menyadari bahwa mereka semua setara,
alias tidak ada individu yang lebih berharga dalam masyarakat ketimbang yang
lain. Dari situlah muncul prinsip-prinsip semacam 'orang lain berhak didengar
dan mempertahankan argumen', lalu 'aku mungkin salah dan kamu mungkin benar',
juga 'semua pengetahuan bisa salah'."
Wajah-wajah mulai tampak kekenyangan mendengar paparan
saya, meski mendoan dan tahu isi di piring-piring masih banyak yang tersisa.
"Jadi gagasan apa pun," saya melanjutkan,
"sepanjang ia tidak melakukan pelanggaran hak atas orang lain dengan
tindak-tindak kriminal dan sejenisnya, bebas saja bersaing. Bebas
berdialektika. Nanti pada akhirnya akan terseleksi mana ide yang paling tahan
banting. Begitu, Denmas."
"Sik, sik, Mas Iqbal," Ganang mengangkat
tangannya, menyetop saya. Sepertinya ia sudah tak peduli lagi dengan
permainan gaplenya. "Gini, Mas. Kalau memang semua bebas berkompetisi
dengan super-ideal begitu, emangnya syarat-syarat masyarakat terbuka ala
Popper ada di masyarakat kita?"
"Lho, sisi mana yang nggak ada?" Saya sedikit
menegakkan punggung. Berani-beraninya Ganang mau mengkritik penerapan pikiran
Karl Popper.
"Satu, Mas. Apa orang-orang yang ingin melenyapkan NKRI
itu mau mengakui bahwa gagasan mereka tidak lebih berharga dibanding gagasan
orang lain? Yo jelas enggaklah. Tawaran-tawaran ide selain ide mereka sendiri
kan dibilang sistem thaghut lah, sistem setan lah. Dari situ saja sudah tidak
memungkinkan berjalannya konsep masyarakat terbukanya Popper."
"Trus?"
"Dua, dengan titik pijak demikian, apa mungkin mereka
berprinsip bahwa semua bisa salah? Sistem yang mereka yakini itu sudah mereka
tempatkan sebagai kebenaran final. Tak ada tawar-menawar lagi. Nah, bagaimana
bisa kompetisi gagasan dalam surga dunia bernama open society itu dijalankan
dengan membabi buta?"
"Lhooo ya jelas bisalah, Nang! Itu kan pertarungan
fair play, yang sudah dijalankan juga di negara-negara maju. Masak kamu nggak
tahu? Kalau belum tahu, sini aku kasih tahu." Saya mulai agak panas. Ini
saatnya menunjukkan kehebatan negara-negara Barat.
"Oh, ya? Contohnya mana tuh, Mas negara-negara hebat
yang sampeyan acu? Fair play beneran?"
"Australia, misalnya. Atau Prancis. Di kedua negara
itu, mau menjual ide apa saja bebas. Mau khilafah, mau komunis, mau bikin
agama penyembah alien, semua bebas. Asal tidak melanggar batas-batas hukum
semisal kekerasan, ya nggak apa-apa. Tapi begitu ada acara main pukul, polisi
langsung bertindak. Fair play kan?"
"Terus yang begitu itu mau diterapkan mentah-mentah
di Indonesia?"
"Lho kenapa tidak? Di mana masalahnya? Negara-negara
maju bisa melakukannya. Kita semestinya ikut mereka kalau ingin maju."
"Hahaha! Oalah, Mas Iqbaaal. Sampeyan itu kok
tekstual banget to, Mas." Ganang mulai pasang wajah mencibir.
"Gagasan demokrasi ini kan kita impor dari Barat. Di saat kita mulai
menjalankannya, sejarah kita tidak berangkat dari garis start yang sama
dengan mereka."
"Maksud loh?"
"Gini. Mungkin sejauh ini mereka menjalankan fair
play dalam kompetisi gagasan di tengah masyarakat mereka. Tapi ingat,
masyarakat Prancis sendiri sudah jauh lebih terdidik. Mereka siap dengan
pertarungan bebas gagasan-gagasan. Prancis itu kampung kelahiran Renaissance
lho. Sementara masyarakat Indonesia, ah, seberapa melek pengetahuan sih?
Literasi buku saja belum tuntas, eh sudah langsung dihajar dengan bacaan
internet yang riuh rendah penuh sampah. Fondasi kita beda dengan Prancis,
Mas! Dengan logika macam apa kita mengharapkan masyarakat kita bisa
menyeleksi pemikiran di tengah pertarungan bebas yang sebenarnya nggak
benar-benar bebas itu?"
"Wah kamu ternyata fasis sekali. Fascist in
disguise."
"Weeee jangan buru-buru ngambek to, Mas. Katanya tadi
dalam prinsip Popper semua pengetahuan bisa salah. Lah artinya demokrasi yang
tekstual begitu bisa salah juga kan? Teori-teori Karl Popper sendiri juga
bisa salah kan? Atau sampeyan mau membela demokrasi liberal dalam posisi
sebagai kebenaran final transendental, yang rumus-rumusnya haram untuk
diutak-utik lagi hingga kedatangan Imam Mahdi?"
"Nyinyir kamu...."
"Makanya, mbok ya sebagai seniorku tuh jangan terlalu
text book gitu. Itu namanya sampeyan skripturalis demokrasi. Mengkritik keras
tafsir-tafsir tekstual atas agama, eh giliran menafsir demokrasi kok
tekstualnya minta ampun. Belum lagi prinsip kebebasan dalam kompetisi gagasan
mengandaikan negeri kita berjalan dari latar dan situasi yang sama dengan
negara-negara maju pujaan hatimu. Apa itu namanya bukan fundamentalisme
pasar? Fundamentalisme pasar pemikiran! Hoahaha!"
Suara tawa Ganang itu mendenging-denging di telinga saya.
Terus mendenging, sampai kemudian saya tersadar bahwa semua percakapan itu
cuma muncul dari pikiran-pikiran galau saya.
Dan ternyata... saya masih di Perth, pada ujung musim
dingin yang menggigit. Padahal yang ada di musim dingin ini hanyalah paket
flu dan masuk angin. Bukan pisang goreng, bakwan, atau ronda malam Minggu.
Ealah, sepertinya saya cuma rindu pulang ke Bantul.... ●
|
( Sumber : Iqbal Aji Daryono, DETIKNEWS 25 Juli 2017 )