Dalam
Cengkeraman Ilmu Dasar
Rhenald Kasali ;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
18 Maret 2014
SETIAP
bangsa punya pilihan: melahirkan atlet bermedali emas atau perenang yang tak
pernah menyentuh air; melahirkan sarjana yang tahu ke mana langkah dibawa
atau sekadar membawa ijazah. Tak termungkiri, negeri ini butuh lebih banyak
orang yang bisa membuat ketimbang pandai berdebat, bertindak dalam karya ketimbang
hanya protes. Tak banyak yang menyadari universitas hebat bukan hanya diukur
dari jumlah publikasinya, melainkan juga dari jumlah paten dan impak pada
komunitasnya.
Pendidikan
kita masih berkutat di seputar kertas. Kita baru mahir memindahkan pengetahuan
dari buku teks ke lembar demi lembar kertas: makalah, karya ilmiah, skripsi,
atau tesis. Kita belum menanamnya dalam tindakan pada memori otot, myelin.
Seorang
mahasiswa dapat nilai A dalam kelas pemasaran bukan karena dia bisa
menerapkan ilmu itu ke dalam hidupnya, minimal memasarkan dirinya, atau
memasarkan produk orang lain, melainkan karena ia sudah bisa menulis ulang
isi buku ke lembar-lembar kertas ujian.
Pendidikan
tinggi sebenarnya bisa dibagi dalam dua kelompok besar: dasar dan terapan.
Pendidikan dasar itulah yang kita kenal sejak di SD: matematika, kimia,
biologi, fisika, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Terapannya bisa
berkembang menjadi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu komputer, manajemen,
desain, perhotelan, dan seterusnya.
Kedua ilmu
itu sangat dibutuhkan bangsa memajukan peradaban. Namun, investasi untuk
membangun ilmu dasar amat besar, membutuhkan tradisi riset dan sumber daya
manusia bermutu tinggi. Siapa menguasai ilmu dasar ibaratnya mampu menguasai
dunia dengan universitas yang menarik ilmuwan terbaik lintas bangsa.
Negara-negara yang berambisi menguasainya punya kebijakan imigrasi yang khas
dan didukung pusat keuangan dan inovasi progresif.
Dengan
bekal ilmu dasar yang kuat, bangsa besar membentuk ilmu terapan. Amerika Serikat,
Jerman, dan Inggris adalah negara yang dibangun dengan keduanya. Namun,
sebagian negara di Eropa dan Asia memilih jalan lebih realistis: fokus pada
studi ilmu terapan. Swiss fokus dengan ilmu terapan dalam bidang manajemen
perhotelan, kuliner, dan arloji. Thailand dengan ilmu terapan pariwisata dan
pertanian. Jepang dengan elektronika. Singapura dalam industri jasa
keuangannya.
Tentu
terjadi pergulatan besar agar ilmu terapan dapat benar-benar diterapkan. Pada
mulanya ilmu terapan dikembangkan di perguruan tinggi untuk mendapat dana
riset dan menjembatani teori dengan praktik. Akan tetapi, mindset para
ilmuwan tetaplah ilmu dasar yang penekanannya ada pada metodologi dan
statistik untuk mencari kebenaran ilmiah yang buntutnya ialah publikasi ilmiah.
Melalui
pergulatan besar, program studi terapan berhasil keluar dari perangkap ilmu
dasar. Ilmu Komputer keluar dari Fakultas Matematika dan Manajemen menjadi
Sekolah Bisnis. Dari lulusan dengan ”keterampilan kertas”, mereka masuk pada
karya akhir berupa aplikasi, portofolio, mock up, desain, dan laporan
pemecahan masalah.
Metodologi
dipakai, tetapi validitas eksternal (impak dan aplikasi) diutamakan. Hanya
pada program doktoral metodologi riset yang kuat diterapkan. Itu pun banyak
ilmuwan terapan yang meminjam ilmu dasar atau ilmu terapan lain sehingga
terbentuk program multidisiplin seperti arsitektur yang dijodohkan dengan
antropologi atau arkeologi, akuntansi dengan ilmu keuangan.
Anak-anak kita
Kemerdekaan
yang diraih program studi ilmu terapan di perguruan tinggi melahirkan
revolusi pada tingkat pendidikan dasar. Bila mengunjungi pendidikan anak-anak
usia dini, TK dan SD di mancanegara, Anda akan melihat kontras dengan di
sini. Alih-alih baca-tulis-hitung dan menghafal, mereka mengajarkan executive functioning, yang melatih
anak-anak mengelola proses kognisi (memori kerja, reasoning, kreativitas-adaptasi, pengambilan keputusan, dan
perencanaan-eksekusi).
Sekarang
jelas mengapa kita mengeluh sarjana tak siap pakai: pendidikan didominasi
kultur ilmu dasar yang serba kertas dan mengabaikan aplikasi. Perhatikan,
Indonesia masih menjadi negara yang mewajibkan lulusan sekolah bisnis (MM)
menulis tesis yang pengujinya getol memeriksa validitas internal dan
metodologi yang sempit. Kegetolan ini juga terjadi pada banyak penguji
program studi perhotelan atau terapan lain yang merasa kurang ilmiah kalau
tidak ada pengolahan data secara saintifik.
Saya
ingin menegaskan: hal itu hanya terjadi pada negara yang ilmu terapannya
masih terbelenggu mindset ilmu
dasar. Keluhannya sama: tak siap pakai, kalah dalam persaingan global.
Pertanyaannya
hanya satu, kita biarkan terus seperti ini atau dengan legawa kita mulai
pembaruan agar para sarjana ilmu terapan mampu menerapkan ilmunya? Itu
terpulang pada kesadaran kita, bukan kesombongan atau ego ilmiah. ●
|