Wajib Belajar untuk Bangsa
Totok
Amin Soefijanto ; Direktur
Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI); Deputi Rektor Universitas
Paramadina, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2015
Tuhan bersama orang miskin. Ibnu
Arabi menyatakan: mereka (yang berkuasa) adalah pelayan rakyat, pelindung
rakyat dari kezaliman. Orang miskin dapat dikategorikan orang-orang yang
tertindas, terzalimi. Pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk mengentaskan
mereka dari kemiskinan, bukan uang tunai atau sembako. Sebab itu, tugas wajib
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah menyediakan pendidikan buat
keluarga miskin.
Saat kita menjalani ibadah di
bulan suci Ramadan ini, ada baiknya kita menjenguk saudara-saudara kita yang
belum sempat mengenyam pendidikan dengan baik. Menurut studi Analytical & Capacity Development
Partnership (ACDP) bertajuk ”Overview
of The Education Sector in Indonesia 2012: Achievements and Challenges”,
kita telah berhasil mendorong anak usia sekolah masuk ke sistem pendidikan
lewat program Wajib Belajar.
Secara bertahap, pada 1984 Wajib
Belajar 6 Tahun dan pada 1994 Wajar Belajar 9 Tahun. Semua itu pada era Orde
Baru. Ada tuntutan dan sudah menjadi program pemerintahan Jokowi-JK bahwa
wajib belajar ini ditingkatkan hingga 12 tahun atau lulus sekolah menengah
atas (SMA).
Seberapa penting program wajib
belajar ini buat keluarga miskin? Seiring dengan upaya meningkatkan mutu
pendidikan di semua level, biaya pendidikan juga semakin membumbung tinggi.
Guru mendapat gaji dan tunjangan yang lebih baik lewat sertifikasi. Fasilitas
sekolah diperbaiki dan ada yang dibangun baru. Teknologi mulai diperkenalkan
ke sistem pengajaran.
Kurikulum baru diterapkan dengan
pendekatan riset yang baik. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) hadir
dan aktif hampir di semua provinsi. Proses rekrutmen guru, kepala sekolah,
dan pengelola pendidikan lainnya semakin profesional. Semua ikhtiar itu
memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Akibat itu, ongkos pendidikan semakin
tak terjangkau bagi kalangan miskin.
Untunglah, negara melalui APBN
wajib menyediakan 20% dari anggaran tahunan untuk pendidikan. Beberapa
pemerintahan daerah bahkan mengalokasikan sampai 30%-40% dari anggarannya
untuk sektor pendidikan.
Yang menjadi masalah adalah
alokasi besar-besaran itu belum memberi dampak positif ke peningkatan mutu
pendidikan kita. Penyebabnya: 80%-85% dari anggaran sektor pendidikan itu lari
ke gaji dan tunjangan guru saja. Artinya, dana besar untuk pendidikan hanya
habis untuk pengeluaran rutin dan biaya hidup.
Sedikit sekali untuk pelatihan
guru, pengadaan alat praktikum, pembangunan infrastruktur sekolah, atau
bentuk investasi lainnya yang tak kalah pentingnya untuk perbaikan kegiatan
belajar mengajar di kelas. Cara pemerintah menghabiskan anggaran ini
menyusahkan keluarga miskin karena kemiskinan itu searah dengan angka putus
sekolah.
Menurut data ACDP, kelompok
khawatir 1 (dari 5 khawatir pendapatan: 1 termiskin dan 5 terkaya) justru
yang paling banyak putus sekolah: 64,4% di tingkat sekolah dasar (SD) dan 50%
di tingkat SMP. Artinya, anak keluarga miskin berpeluang besar tidak lulus SD
dan sekolah menengah pertama (SMP).
Informasi ini sangat menyedihkan.
Sungguh ironis sejak 1994 (21 tahun yang lalu!) kita sudah mencanangkan Wajib
Belajar 9 Tahun yang tujuannya meluluskan anak-anak kita terlepas status
ekonominya dari pendidikan setingkat SMP, ternyata masih banyak
saudara-saudara kita yang ”tercecer” di tengah jalan pendidikan formal.
Kalau melihat lebih dalam lagi,
ternyata ada 10% siswa SD tersebut yang bersekolah di madrasah dan mayoritas
dari keluarga miskin dan pesantrennya berstatus swasta (ADB, 2006). Madrasah
justru memiliki keberhasilan yang lebih baik daripada sekolah umum. Kalau
angka putus sekolah di SD mencapai 1,61%, sedangkan madrasah ibtidaiyah hanya
sekitar 0,18% atau hampir sepersepuluhnya saja (OECD, 2015).
Pemerintah perlu meningkatkan
dukungan ke pesantren dan madrasah tersebut. Dana Biaya Operasional Sekolah
(BOS) memang berhasil menaikkan jumlah anak kita yang masuk sekolah, namun
kondisi ekonomi miskin keluarga menjadi ”penghalang” utama untuk mereka
bertahan di sekolah.
Tak heran kalau posisi kita di
dunia dalam Education for All
Development Index (UNESCO, 2012) hanya mencapai peringkat 64 dari 120
negara. Kita masih kalah dibandingkan Malaysia dan Brunei meski lebih baik daripada
Filipina dan Kamboja.
Indonesia bukan negara liberal
yang cenderung menyerahkan pelayanan publik ke mekanisme pasar. Kita negara berdasarkan
Pancasila yang fondasinya keadilan sosial; negara memiliki kewajiban untuk
memastikan setiap warga negaranya mendapatkan layanan pendidikan yang layak.
Biaya tidak boleh menjadi batu sandungan untuk menjadi orang pintar dan
terdidik.
Republik ini yang akan rugi bila
sebagian besar rakyatnya tidak mampu menuntaskan pendidikannya sampai sekolah
lanjutan tingkat atas (SLTA). Semangat pemerintahan baru yang mendorong Wajib
Belajar 12 Tahun patut didukung meski lulusan SLTA masih belum cukup untuk membuat
Indonesia bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan.
Setidaknya, dengan kompetensi
setingkat SMA dan SMK tersebut, kita sudah mulai membangun ”benteng terakhir”
di sisi sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan global dalam 10 tahun
mendatang. Kalaupun semua dana dan upaya dikerahkan untuk membantu rakyat
miskin berpendidikan, kita harus waspada dengan satu penyakit kronis ini:
korupsi.
Masyarakat harus terlibat aktif
dalam mengawasi penggunaan dana BOS, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai
insentif keuangan lainnya. Percuma saja kita membaca data yang manis di
permukaan bila di balik itu hanyalah laporan cantik di atas kertas. Kita
semua harus peduli dengan kegiatan anak kita di sekolah, bantulah guru dan
kepala sekolah dengan sumbangsih pikiran dan tenaga sesuai kemampuan kita,
dan aktiflah dalam kegiatan sekolah.
Negara memang berkewajiban
mendidik anak-anak kita, tetapi orang tua dan masyarakat juga wajib
memastikan semua dana rakyat itu digunakan semestinya. Keadilan sosial
tercapai bila semuanya ikut terlibat bergotong-royong mengatasi masalah
bersama. Hal ini sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara yang ingin
memerdekakan pikiran rakyat kita dari penjajahan asing.
Masalah pendidikan bukan hanya
milik pemerintah. Kalau anggaran dan kebijakan sudah diarahkan untuk mendidik
sebanyak mungkin anak bangsa, giliran kita semua memastikan setiap sen
digunakan secara amanah. Tuhan bersama mereka yang adil dan bekerja keras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar