Paranoia
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 29
Februari 2016
Odi ergo sum. Aku membenci, maka
aku ada.
Di sebuah rumah yang terletak di gang yang
mesum di Paris, 24 Maret 1897, seorang lelaki berumur 67 tahun tampak
menulis. Kita tak tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur Sang Pencerita dalam
novel Umberto Eco Il cimitero di Praga (Pekuburan Praha) ini, memang tak
seorang pun di awal kisah ini yang "sudah dinamai".
Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya.
Dua hari sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia tahu ia "Kapten
Simonini". Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain: ia adalah Pastor
Dalla Piccola, "atau orang yang dianggap bernama itu".
Ia tahu: ia "hilang ingatan". Kata
ini, anehnya, justru membuatnya teringat percakapan di Chez Magny sekian
tahun yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan dengan sejumlah dokter, dan
terutama dengan seorang dokter muda dari Austria, Sigmund Froïde. Mereka
berbicara tentang kepribadian ganda dan hubungannya dengan jiwa yang
mengalami trauma. Trauma ini bisa dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi
pengalaman masa lalu. Tapi Simonini tak ingin mengisahkan kembali masa
lalunya di depan orang lain. Ia menulis.
Harus segera saya susulkan, ini bukan novel
tentang kelainan jiwa. Il cimitero di Praga membawakan sesuatu yang lebih
gelap. Kerancuan "siapa aku" dalam hidup tokohnya berkait dengan
cerita di baliknya: ia adalah identitas yang berubah-ubah, selama
bertahun-tahun. Ia seorang penipu—atau lebih tepat: ia seorang juru palsu
yang terus-menerus menyamar.
Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk
apa saja, dalam perkara warisan ataupun politik. Ia siap membuat kebohongan
asalkan dibayar mahal. Pernah ia jadi agen rahasia ganda yang memperdaya
kedua pihak yang bermusuhan. Untuk mempertahankan para penguasa, ia menyusup
ke pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam melipatgandakan fitnah. Simonini
mengikuti pesan: untuk menuduh seseorang, ia tak perlu cari bukti.
"Lebih mudah dan lebih murah menciptakannya."
Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague Cemetery) memang
dimaksudkan jadi sebuah cerita tentang seorang manusia yang culas, sinis,
tanpa moral. Saya membacanya dengan sedikit lelah tapi kagum: Eco begitu
asyik menggambarkan detail kehidupan Eropa abad ke-19, mirip keriangan hati
seorang turis yang baru mengunjungi sebuah negeri eksotis. Ada liku-liku kota
dan racikan kuliner, ada skandal politik dan roman picisan. Hasilnya: sebuah
novel semi-dokumenter. Kecuali Simonini, semua tokohnya, termasuk Freud yang
dieja jadi Froïde, muncul dari sejarah.
Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam
novel yang datar ini jadi terasa kian gelap. Motif yang menggerakkannya
kebencian. Eco mempertajamnya dengan menjadikan kebencian itu bagian utama
watak Simonini. Si Italia blasteran ini membenci siapa saja—orang Italia,
Jerman, Prancis, muslim ("Saracen"), padri Jesuit, pengikut
Freemasons, Martin Luther, dan tentu saja orang Yahudi. "Aku bermimpi
tentang orang Yahudi tiap malam selama bertahun-tahun," tulisnya. Dalam
dokumen palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua orang Yahudi di
Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu kota Cek itu, sebagai tempat utusan
12 suku Bani Israel menyusun "Protokol Para Sesepuh Zion", sebuah
agenda "menaklukkan dunia".
Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang
sedikit melebih-lebihkan. Tapi di balik kata-kata Simonini tergambar
purbasangka yang terpendam lama dalam masyarakat Eropa—purbasangka yang jadi
sumbu api kekerasan di abad ke-19, Naziisme dan Holocaust di abad ke-20, sikap
anti-Islam dan kaum imigran di abad ke-21.
Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal.
Novel terakhirnya ini mungkin warisannya yang tepat waktu: sebuah cerita
tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau busuk hari ini. Seperti dahulu,
kebencian, juga kebencian sosial, tetap jadi unsur utama pengukuhan
identitas, pembentukan "aku". Jika saya membenci seseorang, kata
Simonini, ada sesuatu yang hadir dalam diri saya. Diri saya tak kosong lagi.
Odi ergo sum.
Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang
lain adalah oknum-oknum yang menjijikkan yang mengancam, sebuah benteng
ditegakkan, menara pengawas dan bedil disiapkan. Paranoia tumbuh jadi
pedoman. Dengan mata setengah terpicing karena membidik, para pembenci
melihat: di luar gerbang hanya ada persekongkolan jahat yang mengepung.
Dari sini berkecamuklah "theori
konspirasi", campuran khayal dengan dusta. Di dunia, juga di Indonesia,
kini ia laku keras. Dusta bisa memikat, dan kepalsuan bisa mengubah sejarah,
ketika orang haus akan satu kebenaran yang menjelaskan 1.000 peristiwa.
Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap
punya teka-teki yang penuh kebetulan? Sebuah enigma yang ganjil, namun
mempesona? ●
|