SAYA lahir dan
dibesarkan di kampung Buli, Kecamatan Maba, Kebupaten Halmahera Timur,
Provinsi Maluku Utara—tempat bermacam-macam perusahaan tambang mendaratkan
eksafator dan buldozer untuk mencukur habis pulau-pulau kecil, gunung dan
tanjung yang ada di sini. Saya tak bisa menarik diri dari keterlibatan
emosional dengan krisis sosial-ekologi di kampung saya. Singkatnya, saya
tidak bisa memposisikan diri sebagai pengamat. Yang hanya bisa saya
lakukan: menceritakan apa yang saya dengar, saya lihat, dan saya rasakan.
Saya tak berurusan
dengan objektivitas dan netralitas, sebagaimana dituntut oleh dunia
akademisi. Posisi saya adalah korban, mungkin juga ‘pelaku’ dari apa yang
biasa disebut ‘pembangunan.’ Seiring dengan berjalannya waktu, semua
persoalan yang tak habis-habisnya melilit kebebasan kami. Saya mulai sangsi
dengan kata pembangunan. Kemerdekaan
yang melilit kami ini hampir tak ada jedah untuk menarik nafas sebagai
tanda lega.
Nasib kami di sini
mirip budak yang dijajah. Setelah ruang hidup kami direnggut, tanah
direbut, air tercemar. Lebih dari itu, sejarah perlahan-lahan digilas
oleh penanda-penanda baru yang tak kami kenal sebelumnya. Tulisan di
bawah ini adalah cerita dari perspektif sebagai korban pembangunan dan
investasi.
Kilas Kisah Halmahera Timur
Sebelum menjadi
Kabupaten otonom, Halmahera Timur adalah bagian dari kabupaten Halmahera
Tengah. Geliat pemekaran pasca-Reformasi menghembuskan angin baru, sehingga
mulailah tokoh-tokoh setempat berkonsolidasi menuntut sebuah kabupaten
otonom. Maka jadilah kabupaten Halmahera Timur dimekarkan pada 2003.
Dengan alasan
kabupaten baru, ruang investasi pun dibuka. Tahun 1997 adalah awal mula
bercokolnya perusahaan tambang (nikel). Setelah sebuah pulau kecil di depan
kampung Buli—pulau Gee—kecamatan Maba, berhasil dikuasai PT. Antam—yang
dikerjakan oleh PT. Minerina Bhakti. Tak butuh waktu lama, berdatangan pula
rupa macam perusahaan tambang: PT. Aneka Tambang, Yudistira Bhumi Bhakti,
Heng-Fung, Haltim Meaning, dll.
Tahun 2007, warga
mulai membentuk kelompok-kelompok kecil, menyusuri hutan, gunung dan
tanjung. Tujuannya satu: mengkapling tanah. Ratusan bahkan miliaran rupiah
dikantongi setelah perusahaan-peruahaan tambang membayar lahan milik warga.
Beralihlah kepemilikan hutan dan kebun ke penguasaan PT. Antam dan
perusahaan-perusahaan tambang. Tak tanggung-tanggung, pemerintah daerah
memberi Kuasa Penambangan (KP) dalam jumlah besar: 51.320 Ha. Dengan area
yang luas itu, gunung yang kokoh di pesisir Buli hingga penghabisan
kecamatan Maba, kini menjadi area tambang. Beberapa pulau-pulau kecil yang
mestinya tidak dialihfungsi kini jadi area tambang. Puluhan kapal-kapal
ekspor berjejer di laut teduh Desa Maba Pura. Bila malam, teluk kecil Maba
Pura ini bak kota mengapung.
Setiap hari,
jumlah kapa-kapal itu meningkat. Setelah pemerintah pusat menetapkan UU
Minerba yang mengharuskan adanya pengelolaan komoditi di dalam negeri.
Sementara itu, pemerintah daerah menetapkan tarif—sumbangan pihak ketiga:
500-700 rupiah per ton (disesuaikan dengan pakasitas kapal ekspor).
Hilangnya Ruang Hidup
Kampanye
pembebasan lahan dan iming-iming ganti rugi lahan memiliki daya tarik yang
sangat kuat, sampai-sampai membuat petani kelapa dan nelayan meninggalkan
mata pencaharian mereka. Desa Maba Pura misalnya, sebelum perusahaan
tambang datang, kampung ini terkenal sebagai lumbung ikan lebih khusus lagi
ikan teri.
Rumah-rumah papan
yang berderet sepanjang pesisir pantai Buli hilang sama sekali.
Pemukiman-pemukiman sementara seperti Pekaulang, Babatim, Loau, Sen dan
Pacigua adalah tempat petani kopra menjalani aktivitas. Di situ pula memoar
masa kecil kita terpatri.
Masuknya
perusahaan-perusahaan tambang ini disertai iming-iming lapangan kerja:
delapan puluh persen orang Halmahera Timur dan 20 persen dari luar
Halmahera Timur. Setelah semua janji-janji kesejahteraan dan jaminan
pekerjaan tak terbukti, barulah seorang warga nyeletuk,
‘Sebenarnya, saat
tambang ke sini, seorang laki-laki pernah membimbing kami menolak
pertambangan dan semua janji-janji perusahaan itu. Hanya saja, kami tidak
terlalu menanggapi serius, karena sibuk mengkapling tanah.’
Mengapa masyarakat
tani dan nelayan tiba-tiba jadi pemuja tambang, sementara terjadi aksi
tolak tambang di beberapa daerah di Halmahera? Sebut saja Kecamatan Gane
Halmahera Utara. Mengapa Kecamatan Maba dan Maba kota, memberi ruang amat
besar, hingga perusahaan tambang lenggak-lenggok dengan leluasa?
Saya berusaha
memungut cerita seputar sejarah tambang di kampung, persisnya di Buli
kecamatan Maba, yang kini sedang dibangun pabrik Ferro-Nikel oleh PT.
Antam. Saya seperti yakin betul bahwa alam pikiran masyarakat telah
terjangkiti racun tanah merah dengan mantera kemajuan yang mereka baca.
Tahun 1990-an
adalah mula PT. Geomin—ujung tombak PT. Antam melakukan aktivitas
pengeboran tanah. Tak hanya itu, mereka juga membangun interaksi dengan
masyarakat layaknya keluarga besar.
Kedekatan emosional tersebut dibangun
oleh tokoh-tokoh masyarakat di kampung. Pemuda-pemuda kampung yang polos
dan tak tahu apa-apa diiming-imingi pekerjaan. Para pimpinan mereka
menjalin asmara dengan gadis-gadis kampung, mensponsori pesta muda-mudi,
menjadi donatur ragam acara seremonial, bahkan menyekolahkan orang-orang
lokal yang dipandang berbakat membaca tanah dan hasil alam (nikel) yang
melekat didalamnya. orang kampung dihipnotis dengan desa jadi kota,
jembatan layang, mall tempat hiburan malam dll–begitu yang selalu kami
dengar.
Krisis Sosial-Ekologi
Barulah sekarang
saya menyadari janji-janji itu adalah ilusi. Akhir cerita, kami justru
terpisah dari ruang-ruang kehidupan semula: ada jarak antara kami dengan
tanah dan air. Hutan dan kebun jadi area tambang, sedangkan perairan biru
berganti warna menjadi kuning kecoklat-coklatan akibat aktivitas
pertambangan yang jauh dari asas keselamatan manusia dan alam.
Nelayan ikan teri
yang masih tersisa tak henti-hentinya mengeluh. Mereka bertahan di atas
sisa hasil sekedarnya. Sebelum tambang beroperasi, mereka mendapat
rata-rata 2-3 ton ikan teri per bulan, dan kini hanya 200-300 kilogram.
Namun begitu,
kerusakan lingkungan yang nyata tak juga menyentil masyarakat sebagai
penghuni tanah dan air Halmahera Timur. Khususnya di Buli dan Maba (pusat
percepatan krisis di Halmahera). Warga telah dihipnotis melalui kata
pembangunan. Statusnya berubah dari warga negara pemilik sah tanah dan air,
menjadi pengikut Antam, pemuja modal.
Sekali lagi, ruang
hidup dan sejarah tercerabut dari tangannya sendiri. Warga harus bertahan
hidup di tengah komitmen pemerintah yang sangat minim atas pemberdayaan
sektor riil. Sementara itu, logika pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah
pusat membuat PT. Antam dan perusahaan tambang habis-habisan memeras
tenaga, keahlian, dan waktu para pekerja tambang. PT. Antam menjalankan
logika birokrasi ketat mirip kerja rodi. Tak jarang, buruh tambang ini
bertukar kunci di atas mobil, waktu makan hanya belasan menit, usai Idul
Adha dan Idul Fitri karyawan dijemput bus tambang, shalat tarawih digeser
ke jam dua belas malam, hari Minggu diubah jadi lembur-full, dan karyawan akhirnya memilih kerja daripada
ibadah. Itulah tuturan buruh tambang di sini, di Halmahera Timur.
Di sini relasi
kuasa juga bermain begitu rupa. Tanjung Epa, berganti nama jadi Pos
Bandung. Bila Anda sesekali mengunjungi area tambang itu, akan menemukan
nama-nama seperti ‘Pos Bandung’, Pos Jakarta’ juga Pos Chicago—dalam area
tambang ada kota besar. Saya pun membatin: mengapa tak dinamai Bus-bus,
Bukumatiti, Kukuba—tempat orang Haltim bergulat dengan tanah pohon kelapa.
Bukankah nama adalah identitas. Bukankah dari nama sungai, tanjung, teluk,
dan pulau itu ada cerita leluhur di sana? Ada sejarah di sana?
Apa jadinya jika
nama ‘Baharuddin’ dipanggil Susilo, apa yang hadir dalam benak Anda? Kami
dijebak untuk hidup dengan imajinasi ‘yang lain’ dari tanah dan air juga
sejarah yang tercermin dalam nama dan simbol pemberian orang tua kami.
Undangan Terbuka
Bagi para
psikoanalis yang mahir membaca bawah-sadar, arkeolog yang pandai
merekonstruksi sejarah, ekonom yang mengerti tata kelolah sumber produksi
dan distribusi, sosiolog yang menelaah sebab-sebab perubahan
sosial, awak media yang gemar memburu berita, pun siapa saja,
datanglah ke sini, ke Halmahera Timur, Buli dan Maba, agar kami dapat
keluar dari mimpi-mimpi pembangunan, dan kembali kepada sejarah dan ruang
hidup kami. Sebab, kami adalah warga negara yang berdaulat atas tanah dan
air di bawah pemerintah daerah yang benar-benar otonom. Kami dapat mengurus
dirinya sendiri berbekal identitas sejarah dan kulturnya sendiri. Kami
merasa dikeberi oleh Pemerintah Pusat karena harus menerima megaproyek
MP3EI itu.
Selamat datang di
Haltim, negeri dengan investasi triliunan rupiah yang krisis air bersih,
listrik, jaringan komunikasi, dan kebudayaan! ●
|