Komunikasi dan pemberitaan pers kadang membuat kita sebagai pembaca bingung. Kebingungan tersebut bisa bersumber dari suatu kesalahpahaman, menangkap pesan yang disampaikan orang secara keliru. Tetapi bisa juga bersumber dari kesalahan berucap, apa yang keluar dari mulut tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hati. Maksud hati ingin mengucapkan “A”, tapi yang keluar dari mulut ternyata “A-“, atau bahkan mungkin “bukan A”. Kesalahpahaman dan kesalahucapan tersebut bisa membuat sesuatu yang sebenarnya remeh-temeh menjadi sesuatu yang nampak dramatis dan menegangkan.
Berikut adalah contoh kisah Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, ketika membantah dan sekaligus mengakui berita tentang pertemuannya dengan Muhammad Nazaruddin (mantan Bendum partai Demokrat) dan Janedjri M. Ghaffar (Sekjen MK). Bantahan dan pengakuan tersebut disampaikan dalam rangka menanggapi ucapan Mahfud MD, Ketua MK, ketika diwawancarai oleh Metro TV pada 22 Mei 2011 lalu.
Yang dibantah Anas adalah adanya “pertemuan segitiga” antara ia, Muhammad Nazaruddin, dan Janedjri M. Ghaffar. Terlebih apabila pertemuan tersebut dikait-kaitkan dengan isu gratifikasi yang dilakukan oleh Nazaruddin. Anas rupanya kuatir kalau masyarakat salah mencerna pemberitaan tersebut dan menganggap Anas terlibat dalam kasus Nazaruddin. Dalam wawancara live dengan Metro TV tersebut bahkan disebutkan bahwa Nazaruddin pernah mengajak Janedjri makan untuk menemui Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum. Saat itu Mahfud minta supaya Anas bicara jujur dan ikut berbicara mengenai kasus tersebut. "Anda (Anas), Nazar dan Janedjri, pernah makan bertiga kan?" ujar Mahfud. “Kredibiltas Anda dipertaruhkan,” lanjutnya.
Yang diakui Anas adalah bahwa pada 2008 ia pernah makan bersama dengan Janedjri dan Nazaruddin, serta banyak kader Partai Demokrat lainnya, dalam acara pertemuan bersama antara MK dan DPP Partai Demokrat dalam rangka penanaman pemahaman kesadaran berkonstitusi bagi kader-kader Partai Demokrat. “Jadi makannya rame-rame,” tegas Anas. Tidak ada hal-hal khusus yang dibicarakan dalam pertemuan makan bersama tersebut. Menurut Anas, adalah sama sekali tidak tepat mengkaitkan pertemuan yang terjadi pada 2008 tersebut dengan isu gratifikasi Nazaruddin pada 2010.
Sebenarnya yang dimaksud Ketua MK Mahfud adalah supaya Anas menjelaskan kepada publik bahwa ia dan Nazaruddin pernah bertemu dengan Janedjri. Penjelasan Anas diperlukan karena dalam keterangannya kepada pers, Nazaruddin membantah pernah mengadakan pertemuan dengan Janedjri. Kepada wartawan Mahfud menegaskan, “Saya katakan, berikan keterangan bahwa Anas tahu Nazarudin kenal dengan Janed (Janedjri). Anak buah Anda (mengaku) tidak kenal, padahal Anda tahu, mbok Anda bersuara.” Yang agak mengherankan, hingga saat ini saya belum berhasil menemukan berita di internet yang menyatakan bahwa Nazaruddin belum kenal atau belum pernah bertemu dengan Sekjen MK Janedjri M. Ghaffar.
Oleh karena itu, untuk sementara saya menduga bahwa mungkin yang hendak dikatakan Nazaruddin adalah bahwa ”ia memang sudah kenal Janed, tapi belum pernah bertemu dengan Janed dalam kaitannya dengan pemberian uang sebesar 120 ribu dollar Singapura tersebut.” Dengan kata lain, yang ingin ia katakan sebenarnya hanyalah informasi bahwa ia tidak pernah memberikan uang tersebut kepada Janedjri. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Nazaruddin pada 23 Mei 2011 lalu yang meluruskan tudingan Ketua MK Mahfud MD bahwa dirinya tidak kenal Janedjri. "Saya kenal baik sama Janedjri, dia sering ke rumah saya. Beberapa kali ke rumah saya. Jadi Pak Mahfud jangan katakan saya amnesia," demikian ujarnya.
Barangkali hal yang hingga saat ini masih belum jelas, bagi kita, adalah tentang kebenaran pemberian uang dalam dollar Singapura tersebut kepada Janedjri. Walaupun bagi orang-orang tertentu, terutama anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat, hal tersebut mungkin sudah nampak sangat jelas.
Lalu, benarkah kontroversi tentang pemberian uang tersebut merupakan suatu kesalahpahaman, kesalahucapan, atau merupakan sesuatu yang tidak perlu diekspose ke publik karena dikhawatirkan hal tersebut dapat mengakibatkan polemik yang berkepanjangan dan mengganggu proses hukum yang akan dan sedang berjalan? Kelihatannya sebagian besar elite Partai Demokrat memang menghendaki hal tersebut diekspose dan diselesaikan nanti melalui jalur hukum. Sementara kita sudah tidak sabar lagi menunggu.